Monday, March 31, 2008

Sastra: Ketika Rindu Berlabuh di Negeri Pantun

SEPERTI apa rupa Negeri Pantun? Datanglah ke Tanjungpinang, sebuah pulau menawan yang kini menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Begitulah jawaban sederhana yang bisa diungkapkan. Meskipun daerah-daerah Melayu umumnya mengenal tradisi pantun, di kota yang terkenal sebagai Kota Gurindam itu kini bersiap-siap dengan julukan baru sebagai Negeri Pantun.

Deklarasi julukan baru tersebut akan dilakukan pada malam puncak Festival Pantun Serumpun yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25-29 April 2008.

Aktivis-aktivis dari Yayasan Panggung Melayu yang menyelenggarakan festival pantun tingkat Asia Tenggara itu kini sudah terlihat antusias mempromosikan Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun.

Selain menyebarkan brosur Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun, mereka juga sudah menyiarkan julukan Negeri Pantun itu ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

"Kami bangga sekali jika Tanjungpinang bisa memperoleh julukan baru sebagai Negeri Pantun," kata Ketua Yayasan Panggung Melayu Asrizal Nur.

Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan tidak kalah gesitnya. Dalam percakapan kepada Media Indonesia, ia mengatakan akan berjuang total untuk mengegolkan julukan baru Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun.

"Silakan Anda cek sendiri bagaimana pantun di Tanjungpinang benar-benar sudah menjadi keseharian. Dalam komunikasi apa pun, masyarakat Tanjungpinang hampir tidak bisa dilepaskan dari pantun," kata Suryatati.

Pendidikan pantun di Tanjungpinang umumnya dilakukan sejak dini. Sekadar menyebutkan di SDN 01 Tanjungpinang Timur. Terlihat di sana bagaimana siswa-siswi SD itu tengah belajar berpantun dengan penuh khidmat.

"Bulan purnama burung merpati, si burung pipit ditembak preman. Nama saya Novi Asti, berlesung pipit murah senyuman," ungkap Novi bocah SDN 01 Tanjungpinang itu seraya memperkenalkan diri.

Muchtar, guru pantun yang mengajarkan Novi dan kawan-kawannya sore itu, terlihat bahagia melihat murid-muridnya yang masih lugu sudah pandai berpantun.

Pakar pantun Kepulauan Riau, Tusiran Suseno, menjelaskan pantun adalah warisan bangsa Melayu yang paling asli. Karena itu, tidak berlebihan jika ingin mengetahui watak orang Melayu, sebaiknya terlebih dahulu mengetahui dunia pantun.

"Pantun adalah alat komunikasi yang penting untuk menyatakan perasaan orang-orang Melayu," kata Tusiran sambil mengisahkan bangsa Melayu terdahulu biasanya mencipta pantun secara spontan, namun tetap menyimpan nilai-nilai keindahan dan karakter tersendiri.

Secara umum pantun dipahami masyarakat sebagai sajak empat baris yang terdiri dari dua sampiran (pembayang) dan dua isi (pemikiran). Namun, pantun terus berkembang seiring dengan zaman baik pada konsep maupun dari tujuan pantun itu sendiri.

Karena itu, wajarlah jika lahir sejumlah genre dalam pantun. Ada pantun pertemuan, perpisahan, pernikahan, pendidikan, sindiran, dan lingkungan.

Tanjungpinang yang kini dikenal sebagai Kota Gurindam memang tak lepas dari inspirasi Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang terkenal itu. Gurindam itu pun kini sudah dibuatkan tugunya yang berada di tepian laut Tanjungpinang. Namun dengan julukan Negeri Pantun, masyarakat akan semakin bangga sebagai bangsa Melayu. Setidaknya karena mereka sendiri dalam kesehariannya memang berpantun.

Lagi pula tidak salah memberi julukan Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun, setidaknya sebelum negara lain mengklaim pantun adalah warisan budaya mereka. Seperti yang terjadi dalam kasus seni reog dan angklung yang diaku-akui oleh Malaysia. (Chavchay Syaifullah/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Senin, 31 Maret 2008

No comments: