SUTAN Takdir Alisjahbana dikenal sebagai seorang pemikir tegas kebudayaan Indonesia. Pria yang lahir pada 11 Februari 1908 di Natal Sumatra Utara ini kerap mencari cara perubahan agar budaya Indonesia lebih maju. Bahkan bisa dikatakan dia sebagai ahli waris pencerahan Barat yang hidup di Indonesia. Takdir menilai kebangkitan kebudayaan bisa dimulai dengan memasukkan nilai-nilai budaya Barat sebagai motor penggerak.
Takdir adalah keturunan putera bungsu Raja Pagaruyung, yang saat merantau ditemani para pengikutnya yang kemudian mendirikan kerajaan kecil Linggabaya di Natal. Dua puluh tahun setelah Takdir lahir, di Jakarta terjadi Sumpah Pemuda. Kala itu, hati Takdir tergerak dan tersentuh oleh ikrar Sumpah Pemuda. Dia menganggap isi Sumpah Pemuda merupakan bisikan hati nurani banyak kaum muda di Tanah Air. Karena itulah, pada tahun 1928 dia menerbitkan dan memimpin majalah Semangat Muda sebagai wujud pengabdiannya pada semangat ikrar sakral tersebut.
Sama halnya dengan pemuda lain, Takdir menginginkan bangsa Indonesia merdeka, makmur, berpendidikan tinggi, dan memiliki kebebasan untuk berekspresi dan beragama. Dia berharap Indonesia bisa menempati tempat yang setara dengan negara-negara maju di dunia. Indonesia harus bisa menjadi bangsa yang bisa mengambil alih ilmu dan teknologi negara-negara Barat untuk kemajuan bangsa.
Menurut pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta F Budi Hardiman dalam seminar "Menyibak Kembali Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana" di Jakarta pekan lalu, Takdir adalah seorang pemikir kebudayaan yang tegas dan tidak ada duanya. Baginya, Takdir bisa dijadikan panutan atas keberaniannya mencampur budaya Barat dengan budaya Indonesia.
Budi mengatakan, pemikiran Takdir mengenai bangsa baru yang memiliki budaya baru jelas terbukti di era modernisasi sekarang. Tidak jarang, bahkan budaya Barat justru lebih banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Namun tetap, masuknya budaya Barat tidak untuk menindas budaya ketimuran Indonesia.
Takdir melalui pemikirannya menjelaskan bahwa dua alat utama mengubah kebudayaan adalah pendidikan dan hukum. Untuk itu, dia mencetuskan "Polemik Kebudayaan" pada Kongres Pendidikan di Solo tahun 1993. Takdir merasa harus ada visi yang jelas untuk mencapai modernisasi, teknologi, dan pengetahuan. Visi tersebut berasal dari negara Barat di zaman Renaissance.
Renaissance atau lahir kembali diartikan sebagai mempelajari kembali ilmu pengetahuan yang dihasilkan bangsa Yunani, Romawi, dan Arab. Renaissance juga menerima kembali sikap menguji dan menganalisis masalah secara rasional.
Menurut Takdir, untuk dapat mengikuti, menikmati, dan menguasai hasil-hasil Renaissance dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi, maka bangsa Indonesia harus menerima sebagian dari nilai-nilai kebudayaan Renaissance.
Pemikir Telaten
Satu di antara enam putri Takdir yang juga menjadi Ketua Yayasan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) Tamalia Alisjahbana mengatakan, ayahnya merupakan pemikir kebudayaan yang telaten. Dia bahkan sempat stres ketika mencari cara agar budaya Barat bisa masuk dan diterima budaya Indonesia.
"Ayah dulu sampai mengumpulkan dana sendiri agar bisa bersekolah ke Belanda. Dia menganggap pendidikan adalah kunci sukses masa depan, sehingga dia bisa menggabungkan berbagai kebudayaan positif untuk kemajuan Indonesia," kata Tamalia.
Namun, perubahan kebudayaan memiliki konsekuensi yang harus diterima, yakni hal-hal baru kemungkinan besar menggeser pemikiran atau pandangan lama.
Bangsa Indonesia bukanlah negara yang anti pada budaya asing. Terbukti, penyerapan nilai-nilai budaya Tiongkok, India, dan Arab justru membawa hasil yang gemilang di bidang kesenian, agama, dan ilmu pengetahuan.
Bahkan dalam bukunya yang berjudul Bumantara, Takdir menjelaskan bangsa Indonesia tidak perlu takut menerima pengaruh dari budaya lain. Nenek moyang kita terdahulu pun sudah menerima pengaruh budaya lain dan menciptakan bangsa Indonesia dengan berbagai bakat istimewa. [EAS/N-4]
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 24 Maret 2008
No comments:
Post a Comment