Saturday, March 08, 2008

Bahasa: Yang Magis dan yang Harum dari Kemenyan

-- Sariah*

JUDUL yang saya pilih secara selayang pandang sama sekali tidak berhubungan dengan hal kebahasaan. Akan tetapi, ada sisi menarik yang perlu saya paparkan dalam kesempatan ini karena kemenyan termasuk kosakata budaya yang dikenal masyarakat kita.

Bahasa, menurut Duranti (1971: 1) merupakan bagian terpenting dari kebudayaan dan dipandang sebagai alat sosial, modus berpikir, dan praktik budaya. Bahasa memiliki dua fungsi utama. Pertama, memadukan sistem pengetahuan dan kepercayaan sebagai dasar tingkah laku budaya. Kedua, menjadi sarana transmisi dan juga transformasi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, bahasa dan budaya saling terkait erat dan lekat dan hubungan keduanya bersifat dinamis dan saling memengaruhi.

Di samping itu, menurut Sapir-Whorf, bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal. Dengan kata lain, bahasa ikut menentukan modus budaya. Selain itu, kepercayaan dan nilai budaya sering bersifat lokal dan terungkap secara khas pada bahasa setempat.

Kemajuan teknologi komputer, misalnya, mengakibatkan peminjaman kosakata Inggris (tetapi tidak dikembalikan) secara besar-besaran dalam bahasa Indonesia, terutama pada ragam lisan, seperti CPU, monitor, printer, print out, disket, file, games, di-enter, di-block, di-delete.

Sebaliknya, penelitian antropologi yang memasuki ranah kepercayaan lokal ditemukan sejumlah objek budaya yang bersifat lokal pula, seperti penelitian Clifford Geertz (1961: xi) tentang budaya Jawa. Dalam penelitiannya tersebut ditemukan sejumlah kosakata bahasa Jawa disertai terjemahan Inggrisnya. Antara lain, memedi (frightning spirits), lelembut (possessing spirits), thuyul (familiar spirits), dan petungan (the javanese numerological system). Temuan seperti itu menunjukkan bahwa kosakata yang ada dalam bahasa A tidak ditemukan padanannya dalam bahasa B. Dengan demikian, bahasa merupakan cermin budaya dari masyarakatnya.

Apakah kosakata kemenyan merupakan ekspresi bahasa budaya, sulit juga untuk menjawabnya. Akan tetapi, jika kita telusuri perjalanan sejarah para leluhur kita sebelum masuk pengaruh Islam dan Kristen di nusantara, mereka mengikuti kepercayaan animisme dan dinamisme, yaitu bahwa setiap benda punya roh dan setiap benda punya kekuatan.

Untuk berkomunikasi dengan dunia gaib itu, mereka menggunakan kemenyan sebagai media, yaitu dengan membakar kemenyan yang menghasilkan asap harum. Asap harum tersebut merupakan representasi doa dengan menggunakan redaksi sesuai dengan maksudnya. Dari sedikit ilustrasi tersebut terungkap bahwa kemenyan sudah sangat akrab dengan tradisi para leluhur kita.

Tentunya, kemenyan sudah menjadi bahasa untuk menyampaikan doa-doa para leluhur dan sampai detik ini sebagian masyarakat Indonesia masih menggunakannya. Meskipun kemenyan dikenal oleh masyarakat di belahan dunia yang lain, sebuah konsep universal mungkin sekali diungkapkan secara verbal dengan cara yang berbeda. Kemungkinan yang lain, sebuah konsep memang bersifat lokal dan dengan demikian ungkapan verbalnya bersifat khas dalam budaya dan bahasa setempat, seperti konsep lelembut, memedi, tuyul tidak dikenal dalam budaya Barat.

Ritual kemenyan memang tidak hanya dilakukan masyarakat nusantara, tetapi juga dilakukan masyarakat lain di dunia Timur. Bahasa Inggris, misalnya, mengenal kata kemenyan dengan istilah incense meskipun kemenyan tidak digunakan untuk ritual dalam tradisi mereka. Peradaban Barat memang dibangun dari rasionalitas sehingga ritual yang menggunakan kemenyan tidak dikenal dalam kebudayaan Barat. Namun, ada satu negara, Skotlandia, yang masyarakatnya percaya pada hal-hal yang mistik dan mereka menggunakan kemenyan sebagai media penyampaian doa.

Barat dibangun dengan rasionalitas sehingga tidak mengenal ritual kemenyan. Pendekatan yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu selalu berdasarkan akal, sedangkan dunia Timur cenderung menggunakan rasa. Dengan demikian, bentuk-bentuk ritual yang tidak nalar tidak berkembang di dunia Barat, termasuk di dalamnya ritual dengan menggunakan kemenyan. Jika demikian, sungguh tepat pernyataan Iqbal, seorang penyair India, yang mengatakan bahwa di Barat akal sumber kehidupan, di Timur cinta basis kehidupan. Keduanya dapat dipadukan sehingga menghasilkan kekuatan yang positif. Melalui cinta, akal mengenal realitas dan akal memberi ketenangan pada cinta yang bekerja.

Kemenyan (Styrac benzoin) yang termasuk famili Stryraccaceae dari ordo Ebeneles terdapat juga di Garut, tetapi tidak sebanyak di Tapanuli. Mungkin iklim dan tanah di Tapanuli sangat cocok untuk jenis tanaman ini. Sebenarnya, getah kemenyan tidak hanya digunakan untuk kepentingan ritual, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk industri farmasi, kosmetik, rokok, dan obat-obatan. Ekspor kemenyan ke Jepang dimanfaatkan untuk campuran pembuatan cat. Kemenyan banyak digunakan masyarakat Batak untuk kegiatan ritual penyembahan alam sebelum masuknya agama Kristen.

Selama ribuan tahun, kemenyan banyak digunakan dalam tradisi penghormatan kepada Sang Pencipta. Asap pembakaran yang membubung tinggi menjadi representasi doa yang juga naik kepada Sang Pencipta. Dalam tradisi Katolik, misalnya, kemenyan digunakan dalam misa khusus, menjadi bagian dari serbuk ratus yang dibakar dalam arang membara yang menghasilkan asap harum.

Di tanah Jawa dan juga di banyak kebudayaan dunia, harum asap kemenyan dipercaya mampu mendatangkan roh, tetapi juga mampu mengusir roh. Bau harumnya menimbulkan sensasi magis. Kemenyan juga menjadi serbuk campuran rokok yang di Jawa Tengah terkenal dengan nama rokok klembak menyan. Rokok ini banyak diisap oleh masyarakat perdesaan dan berusia lanjut di Jawa Tengah.

Kemenyan sebagai bahasa budaya terungkap juga dalam peribahasa. Peribahasa Sunda, misalnya, menggunakan kosakata kemenyan, dalam bentuk "Kagunturan madu kaurugan menyan bodas" yang artinya "keberuntungan yang berlimpah atau rezeki nomplok." Penggunaan kosakata kemenyan dalam peribahasa Sunda menunjukkan bahwa bahasa Sunda mengenal konsep kata menyan dalam budaya mereka. Jika dicermati peribahasa "Kagunturan madu kaurugan menyan bodas", tampak bahwa penggunaan kata menyan memiliki makna yang tinggi.

Kemenyan yang dalam bahasa Sunda disebut menyan memiliki nilai berharga dalam budaya Sunda. Apalagi, menyan bodas yang menurut para sesepuh harganya lebih mahal karena lebih berkualitas jika dibandingkan dengan menyan hitam. Menyan bodas atau menyan putih punya aroma yang lebih harum dan lembut. Peribahasa yang menggunakan kemenyan juga terungkap dalam bahasa Indonesia (dalam bahasa Melayu). Misalnya, "Apa gunanya kemenyan sebesar tungku kalau tidak dibakar" yang artinya "tidak ada gunanya ilmu pengetahuan yang disimpan saja kalau tidak diajarkan kepada orang lain atau tidak dipraktikkan". Lainnya, "Gaharu dibakar kemenyan berbau" yang bermakna "memperlihatkan kelebihannya supaya dipercaya orang".

Ternyata peribahasa yang menggunakan kemenyan dalam bahasa Indonesia juga mengandung konsep yang luhur. Budaya Sunda dan umumnya budaya nusantara memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kemenyan, berarti kemenyan memang mengandung makna spritual yang luhur dan agung.***

* Sariah, Peminat bahasa

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 8 Maret 2008

No comments: