-- Safrina Noorman*
BANYAK yang bisa dipelajari dari silang pendapat Kurniasih dan Topik Mulyana di harian "PR". Satu hal yang penting adalah perbedaan itu telah, secara produktif, melahirkan tulisan-tulisan dan kegiatan lain seperti diskusi "Sastra dalam Budaya Massa" ini. Mungkin ini salah satu bukti bahwa perbedaan, pada hakikatnya, menyimpan hikmah, hal yang disinggung Adlin ("PR", 1 Maret 2008).
Menyadari dan menerima adanya perbedaan merupakan salah satu syarat untuk menjadi manusia yang mampu berpikir kritis atau disebut juga higher order thinking skills. Keterampilan ini, dalam satu atau dua dekade ini terutama dalam dunia pendidikan, merupakan salah satu buzz words yang mutakhir. Ini terjadi karena dunia yang bertambah terbuka dan terasa kemajemukannya sehingga masyarakat menjadi harus lebih kritis terhadap segala sesuatu yang ia baca, termasuk sastra, karya, kritik maupun polemik.
Polemik Kurniasih dan Topik Mulyana dapat menyadarkan pembaca lainnya tentang dinamika dunia sastra dan perbedaan di antara kubu-kubunya (jika bisa disebut demikian). Pembacaan yang kritis atas polemik ini akan melihat kerumitan dan kemenarikan dunia sastra Indonesia dan mungkin belajar dari beragam pelabelan, penghakiman ataupun pembelaan diri yang bermunculan dalam keempat teks tersebut. Polemik ini, sungguh, mampu memperkaya. Akan tetapi, harus berpihak pada siapakah pembaca? Atau apakah pembaca harus dan perlu berpihak? Tulisan ini akan lebih berperhatian pada upaya penyikapan pembaca terhadap teks, khususnya teks sastra, dalam budaya massa masa kini.
Keberpihakan pembaca merupakan aspek penting ketika kita membincangkan budaya massa karena pembacalah subjek utama dalam lingkup budaya massa. Pembaca dan proses membaca kerap terlewatkan ataupun tak dipertanyakan (taken for granted). Oleh karena itu, dalam konteks sastra dalam budaya massa, sudah diperlukan perhatian lebih pada pembaca dan proses membaca.
Pembaca sastra dalam budaya massa haruslah pembaca kritis atau pembaca yang mampu mengaktifkan higher order thinking skills mereka. Keterampilan berpikir dalam tataran ini menuntut pembaca untuk menjadi pembaca yang memiliki dan menguasai banyak informasi (informed), peka terhadap konteks, mampu menahan diri untuk tidak cepat-cepat menilai apalagi menghakimi (suspending judgment), dan, yang tersulit, pembaca yang mampu berefleksi dan mengkritisi dirinya sendiri sehingga ia berhati-hati dalam memberikan penilaian. Hal-hal ini menjadi penopang terbentuknya pembaca-pembaca kritis yang tidak mudah menelan apa-apa yang ditawarkan penulis akan tetapi cukup terbuka dan berlapang dada untuk mengubah bahkan mengganti pendapatnya.
Sikap seperti inilah antara lain yang membantu terciptanya proses membaca dengan bersikap (reading with an attitude). Pembaca seperti ini akan siap membaca sastra dalam budaya apapun, budaya massa, elit, tinggi ataupun rendah. Ia pun tak mudah bereaksi atas teks-teks kontroversial yang kemunculannya akan menjadi lebih sering seiring dengan semakin terbukanya dunia dan semakin derasnya informasi yang lalu lalang. Pembaca kritis dapat menentukan posisinya dalam pengotak-kotakan yang dikonstruksi dalam masyarakatnya. Ia mampu meleburkan kotak ataupun pagar yang dibangun dan memaknai teks yang ia baca secara produktif dan adil (fair).
Pakar teori kritis Nealon dan Giroux dalam buku mereka The Theory Toolbox (2004), misalnya, mengatakan bahwa memaknai berarti menghasilkan teks baru yang lahir dari proses transaksi pembaca dengan teks. Proses transaksi yang dimaksud adalah proses membaca yang mempertanyakan atau menginterogasi teks. Makna tidak ada dalam kuasa penulis, tidak pula pada kuasa pembaca. Jika pemaknaan sekadar perpindahan dari kuasa penulis atau apa-kata-penulis ke kuasa pembaca atau apa-kata-pembaca maka tidak ada pembentukan makna. Pembentukan makna ada pada pemeriksaan atau pada sikap mempertanyakan makna yang ada.
Membaca atau memaknai tidak semata urusan pembentukan atau pengukuhan makna, ia adalah proses negosiasi dalam dan untuk berbagai konteks. Artinya pemaknaan atas novel Siti Nurbaya sebagai cerita tentang "kawin paksa" seperti sering diutarakan lulusan SMA dapat dipertanyakan jika lalu novel ini diletakkan pada konteks yang lain, misalnya konteks poskolonial. Novel Siti Nurbaya seperti dianalisis Keith Foulcher dalam Clearing A Space (2002) adalah novel tentang subjek-subjek kolonial yang bermimikri dan bersikap ambivalen.
Pembacaan Foulcher atas Siti Nurbaya merupakan contoh pembacaan kritis dan teoretis terhadap teks yang dianggap kanon. Dengan membingkai pembacaannya dengan dua proposisi teoretis dari Homi Bhabha, Foulcher menawarkan makna alternatif bagi Siti Nurbaya. Contoh ini menunjukkan bagaimana potensi makna dapat dikeluarkan dari berbagai jenis teks dengan memakai teori-teori yang berlainan. Teori harus dianggap sebagai alat semata. Ia hanyalah hasil olah pikir manusia yang tentunya mengandung kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, pembacaan kritis tidak perlu mengotak-kotak teori sehingga teori tertentu dianggap "bagai panggang jauh dari api" bagi teks tertentu. Teori, sekali lagi, hanyalah salah satu alat untuk membaca dengan kritis. Pengguna teori harus mampu menentukan subjektivitasnya atau posisinya sebagai subjek pembaca.
Pembacaan di atas juga membuktikan bahwa sastra populer dapat saja dibaca dengan grand theories. Malah kalau kita baca jurnal-jurnal terbaru dari internet melalui Project MUSE atau online.sage.co, misalnya, kita akan bertemu dengan banyak analisis atas sastra populer karena sastra populer ditengarai merupakan cermin dari hasrat masyarakat masa kini. Sastra populer dalam budaya massa merupakan arena pergulatan berbagai kepentingan karena kepopulerannya mengundang banyak pihak untuk turut terlibat. Dalam perspektif ini, akan tampak betapa sastra populer untuk anak dan remaja merupakan lahan potensial karena anak dan remaja --terutama dari kelas menengah-- adalah pangsa pasar yang menjanjikan.
Pada saat yang sama karya sastra dari genre ini dianggap sebagai sarana dengan potensi sebagai penyampai kehendak generasi yang datang lebih awal sehingga mencerminkan nilai-nilai yang ingin dilestarikan dalam masyarakat tempatnya hadir. Ini menyiratkan potensi pemaknaan alternatif atas teks yang mungkin selama ini tidak begitu mendapat banyak perhatian sebagai lahan untuk dikritisi secara serius.
Dalam kaitannya dengan budaya massa, maka pembaca anak dan remajalah yang kerap luput dari perhatian padahal pada merekalah segala yang kita miliki ini akan kita wariskan di antaranya melalui karya sastra. Selain itu, mereka pula sebetulnya yang menjadi sasaran atau pangsa pasar utama dalam budaya massa. Oleh karena itu, selayaknyalah kita berperhatian lebih pada apa-apa yang tersampaikan pada mereka.
Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan saya dalam hal ini. Satu, kenyataan bahwa dunia ini tidak bisa saya sucihamakan dari bacaan-bacaan yang saya anggap buruk untuk mereka. Dua, kenyataan bahwa pembaca, bahkan, anak-anak ataupun remaja merupakan pemakna-pemakna independen yang dapat memberikan penilaian sendiri atas teks yang dibacanya. Ketiga, asumsi bahwa untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis perlu adanya pajangan pada teks dari aneka genre dan tema.
Saat ini, teks yang dapat dibaca secara sukarela oleh anak dan remaja begitu melimpah dan tak terbatas. Mereka bisa mendapatkannya dari mana saja sehingga menjadi tugas kita untuk memagari mereka dengan keterampilan untuk membantu mereka dalam memilih dan menilai teks yang mereka baca. Malah jika dikaitkan dengan aspek ketiga maka ada kebutuhan untuk mengenalkan pembaca muda ini dengan aneka tema dalam masyarakat yang dapat membantu mereka dalam bersikap. Di negara maju, penulis untuk cerita anak dan remaja secara sadar dan bersengaja menulis cerita dengan isu mutakhir yang mungkin kontroversial dalam rangka peningkatan ketrampilan berpikir kritis ini. Isu-isu posmodern yang meliputi kelas sosial, gender, ras, dan umur dijadikan landasan bagi banyak novel yang ditulis secara khusus untuk remaja dan digunakan sebagai bahan ajar di kelas.
Sebagai contoh misalnya novel The Chocolate War karya Robert Cormier yang mengangkat kekerasan di sekolah memiliki kemiripan tema dengan kekerasan di STPDN misalnya. Atau Nothing but the Truth karya Avi yang memberikan gambaran tentang posisi truth atau kejujuran dalam jalinan berbagai kuasa yang kemudian memerangkap seorang remaja di dalamnya. Kemudian ada pula novel-novel yang mengangkat isu tubuh sebagai tema karena tubuh merupakan masalah besar dalam masyarakat Amerika, dan anak dan remaja merupakan korban terselubung dari sikap masyarakat terhadap tubuh. Novel populer seperti Life in the Fat Lane karya Cherie Bennett, misalnya, merupakan salah satu dari banyak novel yang secara khusus mengangkat pencitraan tubuh (body image) untuk remaja perempuan. Masalah ras dan etnisitas juga secara bersengaja diangkat sebagai tema dari banyak bacaan anak dan remaja karena kehidupan dalam budaya majemuk merupakan keniscayaan sehingga anak dan remaja perlu distimulasi untuk turut memikirkannya agar hidup menjadi lebih harmonis.
Memanjakan pembaca, terutama pembelajar dalam proses pendidikan, pada teks yang beragam dalam hal genre dan tema merupakan salah satu cara untuk meningkatkan ketrampilan bersikap kritis. Pendidik, termasuk di antaranya penulis dan pembaca yang berpengetahuan dan berpengalaman lebih, punya kesempatan dan mungkin kewajiban moral untuk menghadirkan keragaman rekaan ini untuk membentuk subjek pembaca yang mampu membangun makna yang produktif dari teks yang dibacanya sehingga ia menjadi lebih peka pada konteks, berhati-hati dalam menghakimi, reflektif dan kritis pada diri sendiri dan mampu dan dalam masyarakat sanggup menjadi subjek berwawasan yang mampu mengambil sikap dengan tepat dan percaya diri.
* Safrina Noorman, Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 22 Maret 2008
No comments:
Post a Comment