Sunday, March 16, 2008

Esai: Kampus Pengarang

-- Arswendo Atmowiloto*

DUA hari lalu,di kampus Universitas Trisakti Jakarta, Ayu Utami,penulis kolom ”Kodok Ngorek” di harian ini, ditanya dari mana mendapat ide menuliskan novel Larung?

Dua minggu sebelumnya, di kampus Universitas Airlangga Surabaya , juga di kampus Universitas Gajah Mada Yogya,Ayu harus menjawabi pertanyaan soal karang-mengarang, juga kenapa ia memilih tidak menikah dalam hidupnya.

Sebelumnya, Andrea Hirata berada di kampus Universitas Diponegoro Semarang menjawab pertanyaan bagaimana rasanya menjadi penulis novel sukses, yakni bukunya Laskar Pelangi mengalami cetak ulang ke-24 dan kini tengah difilmkan. Andrea kini menuju ke Universitas Brawijaya, Malang, untuk kegiatan kurang lebih sama. Kami bertiga ”menyatroni” lima kampus sebagai awal kegiatan Mengarang itu Gampang untuk mengenalkan dunia tulis-menulis dan mengajak para mahasiswa serta dosen untuk melirik dan mencoba mengarang atau menulis.

Suatu kegiatan yang bisa dilakukan tanpa mengganggu kegiatan dan atau cita-cita yang sekarang dijalani. Kami bertiga harus bersiap untuk menjawab pertanyaan yang kadang bikin gagap; bukan hanya mengenai proses kreatif, melainkan mengenai hal yang pribadi atau berkomentar mengenai pornografi atau buku Da Vinci Code, sampai permintaan apakah tidak sebaiknya dibuatkan acara semacam workshop.

Sedikitnya ada 15 pertanyaan yang harus kami jawab— termasuk pertanyaan yang menarik dan mendapatkan hadiah. Sejauh saya rasakan, acara yang diprakarsai dan didukung oleh Sampoerna untuk Indonesia ini menarik karena bisa menjadi arena kegiatan. Sejumlah mahasiswa yang menjadi panitia juga memberi ”suguhan”, atraksi—biasanya pertunjukan musik, sampai menampilkan pembicara setempat.

Apa yang muncul ke permukaan dalam dialog—entah kenapa selalu dalam bentuk talks show yang mulai memasyarakat, bukan hanya materi dari para pembicara. Justru sebaliknya, dengan permasalahan lebih membumi. Di Semarang misalnya, ada siswa kelas 3 SMP yang sudah berhasil membuat komik—diterbitkan di luar negeri,tapi kurang mendapat ”restu” dari ortu.

Di banyak tempat,kesulitan menuliskan skripsi jadi hambatan sehingga tertahan-tahan tak bisa selesai.Beberapa malah mengajukan ide; bagaimana mengolaborasikan kata dengan musik atau gambar atau musisi yang kesulitan menuliskan lirik. Atau berapa penghasilan seorang pengarang dan apa tidak enaknya menjadi pengarang—termasuk masuk penjara?

Dengan kata lain, selain masalahmasalah teknis menulis, selain bagaimana menyikapi proses kreatif dari mencari ilham sampai mengirimkan, ada hal-hal yang berbeda yang menjadi terbuka. Pengalaman seorang ibu guru sekolah dasar yang mengajarkan sastra dan tidak mendapatkan apresiasi sungguh mengharukan.

Kenyataan bahwa sejak anak-anak lebih terbiasa untuk bermain games, tak ada kelimpahan bacaan di rumah,sampai dengan kebiasaan mengobrol lebih menonjol dan bukan membaca, menonton televisi sebagai kegiatan monoton yang masih memesona. Pengalaman di lapangan menunjukkan adanya dinamika yang mirip kotak Pandora.

Begitu dibuka satu, bermunculan gagasan-gagasan, persoalan lain yang bisa berbeda dan bisa sama dengan persoalan kepengarangan itu sendiri.Bahkan,beberapa peserta dari luar kota mengeluhkan kenapa kegiatan semacam ini hanya berada di kampus-kampus kota provinsi saja. Saya tak bisa menjawab sepenuhnya.

Saya hanya bisa mengatakan kurang lebih bahwa kampus merupakan tempat yang kaya sumber tenaga manusia, juga sekaligus sumber untuk ide cerita. Setidaknya lebih beragam dibandingkan yang pernah saya coba pada komunitas di kampung atau di sekolah lanjutan. Lokasi tempat lain yang sungguh menantang adalah pesantren, yang lebih kaya dengan tradisi yang ada,dengan disiplin yang lebih terarah dan terasah, dan komunitas internal sangat kental.

Komunitas terbatas ini selama ini menjadi ”akademi” yang menjadi pendorong, pengkritik, komentator awal, sehingga lahirlah seorang pengarang atau penulis.Ini bukan hanya dilalui Rendra dan Andrea Hirata saja—yang karyanya dikirimkan oleh komunitas yang paling dekat dengannya.

Pada akhirnya memang bukan menjadikan kampus pengarang— kalaupun terjadi tak ada salahnya juga atau pesantren pengarang, atau desa pengarang—melainkan bagaimana melihat bahwa kepenulisan bisa menjadi suatu alternatif, suatu pilihan, suatu kegiatan, atau suatu profesi. Bahwa menjadi pengarang bukan hanya mengandalkan bakat, melainkan juga bisa dipelajari atau bahkan dipraktikkan.

Mengarang bukanlah pekerjaan atau kegiatan angker yang hanya dimiliki orang-orang tertentu,melainkan terbuka untuk yang berminat.Tak berbeda dengan belajar berenang atau naik sepeda atau mencium pacar.

Secara teori agak rumit, langkahlangkah terkesan susah, tetapi kalau langsung dicoba, semua teori itu mengalir dengan sendirinya. Lalu, jangan lupa, sekali kita bisa naik sepeda,atau berenang,atau mencium pacar, sekali kita bisa melakukannya, kita tak akan lupa.Demikian juga halnya dengan mengarang.(*)

* Arswendo Atmowiloto, Budayawan

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 16 Maret 2008

No comments: