Monday, March 17, 2008

Nh Dini 72 Tahun: Novelis Spesialis Cerita Kenangan

-- B Rahmanto*

SATU-SATUNYA perempuan pengarang Indonesia yang masih sangat produktif sampai berusia 72 tahun (Jumat, 29 Februari 2008), siapa lagi jika bukan Nh Dini (Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin).

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Setahun yang lalu, dalam peluncuran cerita kenangan La Grande Borne di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, tidaklah berlebihan apabila Prof Eko Budihardjo, Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah sekaligus mantan rektor Undip, khusus membacakan sebuah puisi yang dipersembahkan kepada Nh Dini dan merasa tertantang dan menantang para dosen sastra, karena jumlah bukunya masih sangat jauh di bawah angka karya-karya Nh Dini. Dini telah menerbitkan 33 buku (31 di antaranya karangan asli) dalam bentuk kumpulan cerpen, novel, biografi, cerita kenangan, dan novel terjemahan.

Dari novel-novelnya ada sebelas cerita kenangan yang menarik untuk dibaca ulang oleh para mahasiswa Fakultas Sastra yang ingin meneliti mata air (meminjam istilah almarhum Prof Th Sri Rahayu Prihatmi) karya-karyanya. Di samping itu, di tengah-tengah berondongan sinetron Indonesia yang penuh teriakan, umpatan, dan horor yang dijejal-jejalkan di ruang keluarga kita oleh stasiun televisi swasta, membaca kembali cerita kenangannya serasa mengail di atas sampan dengan semilir angin dan gelombang. Sembari menanti datangnya ikan yang terpancing, kita disuguhi deskripsi panorama alam dengan sangat detail, sosio-budaya keluarga Jawa yang kental, berikut kisahan sepihak tokoh-tokoh perempuan tentang masa lalu yang mengalir hadir sangat lancar, nyaris tanpa riak, dan tahu-tahu kita sudah berhenti, serta diharap melakukan pelayaran kembali pada cerita kenangan berikutnya. Atau, dengarkan kesaksian Prof Teeuw (1989: 193-194), Dini menulis dengan suara yang sangat tertahan, sangat lancar dan ringan, serta enak dibaca. Tokoh-tokoh wanitanya sederhana dan lembut, memiliki harga diri yang kuat, penyegan, sopan, lembut, tanggap terhadap kebaikan dan kelembutan, tetapi terguncang, dan jijik terhadap kekerasan, serta berpihak pada segala yang benar dan layak menurut ukuran-ukuran Jawa.

Secara kronologis, cerita kenangan ini dapat diklasifikasikan menjadi masa kecil (Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979); masa remaja (Sekayu (1981), Kuncup Berseri (1982), Kemayoran (2000); dan dewasa (Jepun Negerinya Hiroko (2001), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003), Dari Fontenay ke Magallianes (2005), La Grande Borne (2007), serta untuk sementara diakhiri dalam Argenteuil (2008). Betapa tebalnya jika cerita kenangan ini disatukan, paling tidak akan mencapai 3.500 halaman.

Dini mengawali kisah masa kecilnya di sebuah rumah yang teduh, sebagai putri bungsu keluarga Jawa, pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Sejak kecil sifat tokoh ’aku’ ini suka berterus terang, berani, bahkan tatkala saudara-saudaranya berebut sisa makanan dari kakek Kiai Wiryobesari yang konon mengandung tuah, dengan entengnya ’aku’ kecil ini menganggapnya sebagai sesuatu yang memuakkan (Sebuah Lorong di Kotaku, hal 52 dan 59). Pada masa penjajahan Jepang, Dini kecil mengalami peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan dan mengerikan. Ia kaget dengan munculnya lima serdadu Jepang yang tidak sopan, dengan suara gaduh membabat bilah bambu dan tanaman yang menjadi pagar rumahnya (Padang Ilalang di Belakang Rumah). Jatuhnya penguasa Jepang dan disusul mendaratnya tentara Sekutu memunculkan peristiwa-peristiwa yang menyedihkan: kekurangan makanan, musim yang kering, keadaan yang memprihatinkan, dan fitnah yang diderita ayahnya yang menyebabkannya masuk tahanan dan menderita sakit (Langit dan Bumi Sahabat Kami).

Sementara itu, setelah remaja, ia tak suka diatur oleh lawan jenisnya. Ini tampak ketika salah seorang temannya ”menasihati” agar dia tidak naik sepeda laki- laki, tidak mengenakan celana panjang seperti laki-laki, tidak memotong rambut, dan sebagainya (Sekayu, hal 87). Di sekolah pun ia termasuk gadis yang menjunjung harga dirinya sebagai perempuan, peka perasaannya, dan bahkan berani ’menantang’ gurunya yang melecehkan muridnya (Kuncup Berseri). Meninggalnya sang ayah justru menantang Dini menjadi remaja yang kreatif. Karya kreatifnya bukan hanya terbatas mengisi siaran sandiwara secara rutin di RRI Semarang, remaja ini mengawali debutnya sebagai penulis cerpen Pendurhaka yang diterbitkan di majalah sastra Kisah, dan yang kelak diterbitkan dalam kumpulan cerpen Dua Dunia. Masa remajanya diakhiri dengan kelulusannya dari SMA, bekerja sebagai pramugari GIA, dan dipinang Yves Coffin, seorang diplomat Perancis (Kemayoran).

Beberapa tahun sebelum menikah ia banyak berkorespondensi dengan HB Jassin Dalam Surat-Surat 1943-1983 (1984: 139) terdapat surat Jassin tertanggal 31 Agustus 1957 yang mengomentari karya-karya awalnya, dan problem dirinya, ”Saya mengerti Saudara masih terikat segala macam ikatan, tapi kalau terus mengikat diri, kapan akan dewasa sebagai pribadi? Kedewasaan pribadi seorang pengarang sangat diperlukan. Saudara kelihatannya takut akan pengalaman. Akhirnya hanya sampai pada fantasi, rasa- merasa, duga-dugaan, bayang- bayangan yang sentimental, tidak berpijak di atas tanah. Begitu juga sifat-sifat karangan Saudara. Sangat kurang pengalaman, fantasi yang banyak, perasaan dijadikan dasar, terasa sedikit sentimental….”

Apa yang dikatakan Jassin masih bermunculan dalam cerita kenangan sejak Jepun Negerinya Hiroko sampai Dari Fontenay ke Magallianes. Pernikahannya dengan Yves Coffin, Konsul Perancis di Kobe, Jepang, ternyata menjadi titik awal kerunyaman yang terus-menerus dipaparkan dalam cerita kenangan berikutnya. Harga dirinya sebagai perempuan diuji saat ia mengidam makan apel berkulit merah sebagai sarapan paginya. Suaminya berujar ketus, ”Kalau begini terus-terusan aku akan menjadi miskin, karena setiap hari kau harus kubelikan satu buah impor yang mewah!” (hal 30). Ia juga terganggu dengkur suaminya, dan kebiasaan Yves mendengarkan musik dengan sangat keras (hal 93). Kalau pembantu rumah tangganya berbuat kesalahan, suaminya langsung membentak dan berteriak memarahinya dengan suara yang keras. Akibatnya, begitu banyak pembantu yang datang dan pergi (hal 116).

Kecemburuan menyeruak pada saat piknik, suami dan kedua tamunya itu asyik memotret, tidak memerhatikan anak dan istrinya. Kesabaran tokoh aku meledak saat ia dan bayinya harus duduk di jok belakang, bukan di depan bersama suaminya (hal 209).

Kesebalan terus berlanjut saat menghadiri penyerahan piagam di Fukuoka. Resepsi dimulai pukul enam sore, mereka berdua memasuki ruang yang telah penuh tamu pukul tujuh kurang lima menit. Ia gemetar, hampir menangis tatkala dengan entengnya sang suami berbisik kepada tuan rumah, ”Maafkan kami. Istri saya mendapatkan kesulitan membikin sanggul. Maklum, di sini tidak ada salon yang dapat membantunya ...” (hal 229). Di samping itu, novel Namaku Hiroko ternyata ditulis secara kucing-kucingan. Dikerjakan saat suaminya berada di kantor. Suaminya akan marah-marah kalau melihat istrinya sedang menyelesaikan novelnya (hal 326).

Dalam cerita kenangan berikutnya Dari Parangakik ke Kampuchea, Dini semakin intens mengisahkan bagaimana perilaku seorang suami dari Barat terhadap istrinya yang berasal dari Timur. Sikap suaminya yang jauh berubah membuatnya semakin tertekan. Apalagi ketika ia harus menyesuaikan diri dalam keadaan yang serba kekurangan di Perancis. Keluh kesah dan problematika pernikahannya terakumulasi dalam Dari Fontenay ke Magallianes. Ia banyak melukiskan perasaannya tentang peristiwa liburan, tinggal bersama dengan satu keluarga sahabat Perancis dalam satu rumah, berbagai makanan yang disajikan berikut rasanya, kehamilan keduanya yang tak terduga dan tak diharapkan, dan ... perselingkuhan yang menggetarkan dengan Bagus sang kapten (hal 115-117). Dalam La Grande Borne, Dini nyaris sudah pisah ranjang dengan suaminya. Hubungan suami istri yang sudah membusuk dari dalam ini, ditambah penyakit yang nyaris merenggut nyawanya, dan sesekali masih melanjutkan hubungannya dengan Bagus, Dini seolah menemukan pencerahan kembali pada spiritualisme Timur, dengan menjalani lelaku seperti yang dikenal dalam adat Jawa. Dan perselingkuhan yang menggetarkan ini pun menjadi terpupus di ujung, saat Dini menyatakan pengin berpisah dengan suaminya, Bagus keburu meninggal karena kecelakaan (Argenteuil, hal 35).

Masih banyak yang dapat dibaca dan dipetik manfaatnya tentang bagaimana si tokoh ’aku’ mengurus perceraiannya, mulai menata kehidupannya sendiri, dan hidup terpisah dari anak bungsunya, Pierre Louis Padang, yang ketika itu baru berumur 8 tahun, dan anak sulungnya yang bernama Marie-Claire Lintang yang mengikuti ayahnya. Dini akhirnya berpisah dengan suaminya, Yves Coffin, pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta. Dan, bagaimana kisah-kisah Dini setelah ia kembali jadi warga negara Indonesia, kita tunggu saja kelahirannya dalam tahun-tahun mendatang.

Betapapun banyak kritikus yang menyoal bahwa Nh Dini sebagai pengarang yang terus- menerus menyuarakan kemarahannya kepada kaum laki-laki (Budi Darma), ’kebawelan yang panjang’ (Putu Wijaya), atau karya-karya Dini hanya terfokus pada masalah pribadi tokoh-tokohnya, dan sulit untuk melakukan perubahan yang mendasar pada situasi yang ada (Tineke Hellwig, 1994); Nh Dini adalah satu dari sedikit perempuan pengarang yang penting di negeri ini. Karya-karyanya sangat representatif bagi banyak persoalan perempuan yang dikungkung oleh tradisi kebudayaan lelaki. Selamat ulang tahun yang ke-72 Eyang-Ibu Dini. Semoga panjang umur.

* B Rahmanto, Dosen Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma

Sumber: Kompas, Senin, 17 Maret 2008

1 comment:

Siswiyanti Sugi said...

Bagaimana kabar terakhir beliau? saya ingin mengunjungi beliau dan berdiskusi tentang spiritualitas yang sangat kental dipaparkan dalam buku - bukunya.