AKHIR-AKHIR ini, kita sepertinya dilanda satu wabah baru, yakni wabah Ayat-Ayat Cinta. Sebab, tidak hanya remaja yang rela antre untuk mendapatkan tiket pertunjukan. Ibu rumah tangga, eksekutif muda, selebriti, hingga tokoh politik dan keagamaan sekaliber Din Syamsudin pun rela terkena virus ini.
Bahkan untuk di Lampung, sejak dua pekan penayangan di Bioskop Kartini 21, jumlah penonton yang mengantre tiket tidak pernah surut. Mereka rela mengantre sejak pukul 10.00 atau 11.00 untuk mendapatkan tiket pertunjukan yang ditayangkan lima kali dalam sehari. Bisa dipastikan hingga pukul 12.00, seluruh tiket pertunjukan sampai pukul 21.00 sudah ludes terjual.
Kondisi yang lebih parah malahan terjadi di beberapa kota besar, seperti di Jakarta dan Yogyakarta. Menurut seorang rekan yang tinggal di Jakarta, dia sangat sakit hati karena tiket pertunjukan Ayat-Ayat Cinta sudah habis terjual hingga tiga hari setelahnya. Padahal di beberapa bioskop, film ini tidak hanya ditayangkan di satu studio.
Di Jakarta paling tidak tercatat ada 12 Bioskop di Jakarta hingga daerah Bintaro, Tangerang, yang memutar film ini dalam dua studio sekaligus. Sementara itu, di daerah Bekasi dari tiga bioskop yang ada, dua bioskop menyediakan tiga studio untuk memutar film ini. Hal serupa terjadi di kawasan Depok, Bogor, Bandung, dan Yogyakarta. Mereka mesti mendapatkan tiket untuk pemutaran dua atau tiga hari kemudian.
Fenomena ini tentu saja belum pernah terlihat dalam sejarah perfilman Indonesia. Film-film Indonesia yang mampu meraup box office seperti Eifel I'm in Love, Ada Apa dengan Cinta, Jelangkung, Naga Bonar Jadi 2, Get Married, dan Quickie Express pun tidak mampu membuat orang rela mengantre sedemikian panjang di bioskop.
Bahkan, film Hollywood sebangsa Harry Potter pun yang juga dinanti banyak penggemar, kondisinya tidaklah seperti yang terjadi pada film garapan Hanung ini. Sebab, jumlah pengantre yang ingin menyaksikan film ini, tidaklah seantusias dan sepanjang antrean film ini. Mungkin film Titanic atau Ghost yang juga sempat menjadi box office pada pemutaran dahulu di Indonesia, tapi dari jumlah animonya tidaklah sebesar ini.
Dan ini tentu saja tidak lepas dari kesuksesan novel karya Habiburrahman El Shirazy yang berjudul sama, yang meraih sukses sejak diluncurkan pada 2004. Malahan buku novel ini berhasil menjadi best seller hingga beberapa kali dicetak ulang dan akhirnya menginspirasi keluarnya novel sejenis.
Setting yang ditampilkan Habiburahman dalam novelnya memang tidaklah biasa. Kisah bernuansa religius ini benar-benar memberikan satu keteduhan tersendiri terutama bagi umat Islam yang sudah sangat merindukan cerita Islami yang dibuat dengan kekinian, tapi tidak berusaha menggurui. Dengan demikian, nilai-nilai Islami yang ditawarkan tidak hanya sebatas simbol semata, tapi lebih pada esensinya.
Ini juga yang menjadi satu alasan bagi Hanung Bramantyo, ketika dalam setiap wawancara yang dilakukan, dia selalu mengatakan film ini dibuat karena janjinya kepada ibundanya untuk melahirkan film Islami. Hanung juga mengemukakan dia ingin orang Islam yang ada di Indonesia mendapatkan tontonan yang baik dan penuh makna serta mengubah image yang ada selama ini dalam memandang sebuah film.
Sebab, banyak umat yang mengatakan menonton film di bioskop lebih banyak mudarat dan maksiatnya. Namun, ternyata film juga bisa sangat efektif menjadi satu media dakwah. Pesan inilah yang amat terasa dalam film berdurasi 95 menit ini.
Sebuah Film Penggugah
Tentu saja untuk memindahkan satu novel dalam sebuah bahasa visual tidaklah mudah. Sebab, novel memberikan ruang untuk imajinasi bagi pembacanya sehingga bahasa yang dibuat menjadi sangat penting dalam menuturkan setiap adegan secara runut. Sementara itu, dalam film, adegan yang dibuat tidak perlu terlalu runut, hanya bisa menggunakan simbol-simbol.
Dan Salman Aristo & Ginatri S. Noer sebagai penulis skenario yang mencoba menceritakan kembali ratusan halaman novel Karya Habiburrahman El Shirazy dalam 96 menit durasi, bisa dikatakan sangat sukses memberikan satu penggambaran utuh kisah Fachri yang diperankan dengan apiknya oleh Fedi Nuril yang harus berkonflik dengan empat perempuan, yakni Aisha (Rianti Cartwright), Noura (Zaskia Adya Mecca), Nurul (Melanie Putria), dan Maria (Carrisa Putri).
Filmnya dibuka dengan adegan Fahri yang tengah kebingungan karena file-file komputernya hilang. Akhirnya, dia meminta bantuan tetangganya, Maria. Dan ini menjadi satu awalan yang sangat tidak terduga dan berbeda dari yang ada pada novelnya. Bisa dikatakan awalan ini sangat cerdas, terutama ketika dipertemukan dengan sebuah budaya Islami saat perempuan tidak diperbolehkan berada di ruangan laki-laki.
Beberapa simbol dan kejadian yang dihadirkan di kondisi ini sudah memberikan satu pembelajaran yang sangat bermakna, di antaranya kekikukan Maria yang berada di flat laki-laki sangat terlihat jelas.
Kemudian cerita berlanjut saat Fachri ingin pergi talaqqi ke tempat Ustaz Usman. Di sini setiap adegan dibuat rigid seperti di novel, yakni dengan runtutan saat Maria kemudian meminta tolong untuk membelikan disket dan menghadiahkan ashir mangga. Lalu saat langkah Fachri terhenti sebentar melihat Noura yang sedang disiksa Bahadur di depan orang banyak tanpa ada yang berani menghalangi, hingga akhirnya dia pun tiba di tempat Ustaz Usman.
Pun saat perjalanan pulang dari talaqqi yang membawa Fahri berkenalan secara tidak sengaja dengan Aisha. Saat itu, dia hendak menghalangi seorang Mesir yang membentak Aisha karena memberi tempat pada orang Amerika, meski untuk itu dia mendapat pukulan.
Selanjutnya, peraih piala Citra 2004 lewat Brownies dan 2007 lewat Get Married ini menghadirkan bebagai bahasa gambar yang sudah tidak diragukan lagi karena detail yang dihasilkan sangat terasa. Meskipun satu yang amat terasa adalah manakala penggambaran Mesir yang begitu agung dengan kemegahannya, tidak terasa atmosfernya.
Bahkan, perguruan tinggi Al Azhar sangat tidak terasa dalam film ini. Sebab, terlihat masih banyak wajah Melayu-nya. Pun dengan keanggunan Sungai Nil yang tidak tergambarkan dengan jelas karena yang ditampilkan hanya jembatan dan air di bawahnya. Ini yang sangat terasa kelemahan Hanung.
Namun, kelebihannya memang sangat banyak, terutama berkaitan dengan pemilihan karakter. Bisa dikatakan hampir semua karakter utama Fachri, Maria, Aisha, Nurul, dan Noura memang sangat tepat dimainkan aktor dan aktrisnya.
Ancungan jempol patut diberikan kepada Carrisa Putri, yang memerankan sosok Maria. Selain itu juga, Fedi Nuril yang memerankan Fachri mampu tampil dengan sangat manusiawi dan bermain apik. Sebab, sosok Fachri yang terdapat pada novel memang lebih terkesan sangat naif dan seperti malaikat. Namun, Fachri tetaplah manusia biasa, mahasiswa S-2 di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir yang juga orang kampung nan lugu.
Meskipun demikian, satu yang pasti, film ini benar-benar berbeda dengan film yang ada di pasaran. Film yang memberikan banyak kemanfaatan dan kefaedahan karena pesan yang diberikan sarat nuansa agamais. Mungkin inilah saatnya film Indonesia atau sinetron yang ada di televisi kita yang sangat tidak mendidik berbenah diri. Saatnya memberikan satu karya yang mengisnpirasi dan bemanfaat bagi masyarakat. n TEGUH PRASETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2008
No comments:
Post a Comment