ALAM merupakan sumber inspirasi bagi setiap seniman. Menurut ungkapan yang sering muncul di kalangan para seniman, "seniman belajar dari alam". Sebab, mengamati alam sama saja melakukan kegiatan observasi yang tiada pernah berhenti.
Tiga seniman, penyair WS Rendra membacakan puisi, pelukis Susilowati Natakoesoemah melukis, dan gitaris Jubing Kristianto memetik senar gitarnya, dalam "Collaborathree" pada pembukaan pameran lukisan tunggal Susilowati di Hotel Four Seasons, Jakarta, Jumat (14/3). (SP/Ferry Kodrat)
Akan tetapi, kalau melihat apa yang terpanjang hampir di seluruh dinding lobi Hotel Four Seasons, Jakarta, sejak tanggal 5 Maret hingga 22 April, hampir seluruh lukisan beraliran abstrak karya pelukis perempuan, Susilowati Natakoesoemah, menggambarkan kemarahan dan kesedihan alam.
Dalam pameran lukisan tunggal pertamanya yang mengambil tema "Nature On Colour" tersebut, Susi, demikian Susilowati Natakoesoemah biasa disapa, memberikan sebuah kesan unik di acara pembukaannya yang dilakukan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Prof Dr Meutia Hatta Swasono, Jumat (14/3) malam.
Acara tersebut terbilang unik karena menampilkan aksi kolaborasi tiga seniman di bidang yang berbeda atau yang disebut dengan "Collaborathree". Di atas panggung, selain Susi yang memperlihatkan kemampuannya melukis dengan akrilik di atas kanvas, juga terdapat gitaris kondang yang pernah menjuarai kompetisi gitar Yamaha, Jubing Kristanto. Tidak kalah apik, penampilan sang legenda, "Si Burung Merak" Rendra yang membawakan dua puisi yaitu Jangan Takut Ibu yang diciptakan tahun 2003 dan Doa Orang Lapar yang diciptakannya di Hamburg, Jerman, tahun 1978.
Meskipun "Collaborathree" tersebut dilakukan secara spontanitas, mereka mampu memberikan nilai estetika yang membuat para pengunjung hanyut ke dalam kebanggaan. Di awal acara, Rendra mengaku bahwa dirinya lupa menyiapkan puisi mengenai alam karena begitu banyaknya pesanan, tetapi syair-syair dari dua puisi yang dibawakan Rendra tetap menyentuh. Apalagi, aksi Rendra tersebut diperkuat oleh suara damai dari petikan senar gitar Jubing dan permainan tangan Susi yang memainkan kuasnya di atas kanvas.
Sementara Jubing sendiri yang menjadikan alam sebagai sumber inspirasinya dalam berkarya, terbukti dengan lahirnya dua lagu musik instrumental gitar klasik Morning Rain dan Waiting For Sunset, menjelaskan, antara dunia seni yang satu dengan lainnya pada dasarnya bisa bersatu untuk memberikan keindahan.
"Terbukti, dari kolaborasi meskipun dilakukan secara spontan ini, menghasilkan suatu karya yang dinamis dari hasil interaksi tersebut," ujar dia.
54 Lukisan
Dalam mempersiapkan pameran tunggal ini, Susi melakukannya dalam waktu setahun. Selama 12 bulan itulah, dia mampu menghasilkan 54 lukisan abstrak yang seluruhnya berkaitan dengan alam.
Ketika memasuki lobi utama Hotel Four Seasons, di sisi kirinya, sudah terpampang lukisan sebesar 200 x 150 cm dengan tema Crying Sun. Lukisan yang terdiri dari beberapa unsur warna seperti hitam, biru, merah, kuning, dan putih tersebut memberikan isyarat bahwa matahari pun bisa menangis karena dia tidak rela dirinya memberikan panas yang berlebihan kepada umat manusia di dunia ini. Panas berlebihan yang disinari sang mentari itu terjadi karena ulah manusia itu sendiri. Tema ini sangat pantas dalam kondisi cuaca yang tidak menentu saat ini atau yang dikenal dengan Pemanasan Global.
Sementara pada dinding sebelah kanannya, dari sederetan lukisan yang terpajang, terdapat lukisan dengan tema "A Thousands Of Tree". Lukisan dengan ukuran 120x150 cm ini menggambarkan pohon berwarna merah, yang diapit oleh dua lukisan pohon kering.
Warna merah itu bukan menggambarkan bahwa pohon tersebut sedang terbakar, tetapi sebagai kemarahannya atas tindakan manusia yang melakukan pengerusakan hutan dengan berbagai ekosistemnya. [F-4]
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 17 Maret 2008
No comments:
Post a Comment