-- MT Zen*
KETAHANAN nasional adalah kemampuan suatu bangsa untuk dapat kembali sebagaimana keadaan semula dalam waktu relatif singkat setelah mengalami gangguan berat.
Itu adalah deskripsi yang amat umum. Karena itu, masih memerlukan penjelasan lebih rinci. Padanan dalam bahasa Inggris untuk kata ketahanan nasional adalah resilience: the ability to recover from (or to resist being affected by some shocks, insult, or disturbance). Meski demikian, pengertian resilience berbeda implikasinya bagi tiap kegiatan.
Pertanda malapetaka
Ketika semua unsur yang disebutkan itu menjadi amat rapuh, masyarakat kehilangan kepercayaan sosial dan harapan, pemerintah kehilangan wibawa. Derap langkah ketiga lembaga tinggi negara tidak lagi sinkron.
Tiap lembaga seolah mempunyai agenda masing-masing. KPK berseteru dengan Kejaksaan, BI bersilat dengan DPR, Mahkamah Agung dijuluki sarang mafia, DPR sering bertindak sebagai eksekutif, para menteri sering melontarkan keterangan yang membingungkan, seperti Menteri Perdagangan di tengah pasar mengatakan, mengoplos beras boleh-boleh saja. Jadi, mengoplos bensin atau solar, obat-obatan juga boleh? Mana yang benar? Apa yang dapat dan harus dijadikan pegangan atau patokan? Masyarakat yang sehat harus tahu apa yang salah dan benar, membedakan antara buruk dan baik.
Akhir tahun ini Indonesia akan menghadapi krisis besar, khususnya dalam hal listrik, pangan, dan infrastruktur. Beberapa pekan lalu CNN menyiarkan berita, Thailand kebanjiran pesanan beras dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia. Infrastruktur Indonesia pun menghadapi keadaan amat suram, jalur pantura, penyeberangan Merak-Bakauheni, dan lainnya.
Dilihat dan direnungkan
Hujan yang sedang-sedang saja lebatnya selama dua hari sudah cukup untuk melumpuhkan DKI Jakarta dan Bandara Soekarno- Hatta selama tiga hari. Para penumpang telantar selama tiga hari tanpa informasi yang jelas. Semua ini terjadi pada awal tahun Visit Indonesia Year 2008.
Bahkan, Presiden Yudhoyono pun harus ”diselamatkan” ke kendaraan lain, bukan di hutan Kalimantan atau Papua, tetapi di tengah kota di Jalan Thamrin yang letaknya hanya sejengkal dari istana negara. Lihat, betapa tidak berdayanya Indonesia. Hal seperti ini tidak bisa disembunyikan dari rakyat yang sudah dapat berpikir sehat dan kritis. Tidak perlu perang. Dihujankan saja selama seminggu, Indonesia pasti sudah menyerah.
Harga kedelai di-”pelintir” sedikit oleh para pedagang luar, pengusaha dalam negeri sudah ”kelimpungan”. Keluarlah berbagai keterangan tentang program dan proyek penanaman kedelai di sana-sini.
Tidak bisa dibohongi
Menghadapi masalah beras, kedelai, dan lainnya, rakyat tahu, Departemen Pertanian tak berdaya. Kini masalah kedelai seolah sudah hilang, apakah masalah sebenarnya sudah terurai? Tentu tidak.
Seusai heboh kedelai, menyusul harga minyak goreng, minyak tanah, telor, daging, dan lainnya. Semua melonjak bukan hanya 5-10 persen, tetapi hingga 20-30 persen. Para ibu panik. Namun, siapa yang peduli?
Sudah tiga pekan ini sebagian dari Jawa Timur terendam banjir karena luapan Bengawan Solo. Siapa yang peduli? Menyebut saja tidak lagi. Idem dito dengan masalah lumpur Lapindo. Ribuan orang terpaksa mengungsi berbulan-bulan, bahkan ada yang lebih dari setahun, demo demi demo dilakukan untuk menuntut haknya. Siapa peduli?
Di antara begitu banyak demo, sudah ada yang menuntut diturunkannya harga sembako. Masih ingatkan kita, pada tahun 1965 para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menuntut agar harga beras diturunkan dan PKI dibubarkan? Namun, di kalangan atas sana tetap adem ayem, seperti tidak terjadi apa-apa.
Tak ada yang istimewa
Mari kita menyimak buku-buku sejarah. Kita perlu mempelajari makna sejarah. Pesan Revolusi Perancis, Rusia, China, Kuba, Iran, dan lainnya.
Bagi yang melihat dan peka terhadap penderitaan rakyat, semua pertanda itu sudah cukup. Tiada hari tanpa unjuk rasa yang lebih sering berakhir dengan kericuhan dan perusakan. Baik demo yang memprotes hasil pilkada, ketidakadilan petinggi setempat, maupun sepak bola, semua berakhir dengan kebiadaban.
Semua gejala itu menandakan, rakyat sudah tidak lagi senang dan percaya kepada penguasa. Semua mengarah ke event kekacauan yang meminta biaya sosial amat tinggi. Lihat apa yang terjadi di Kenya; kekacauan besar; negara terbelah menjadi 10-15 banana republics dan bangsa Indonesia bakal terhapus dari peta dunia. Atau, tidak terjadi apa-apa, tetapi pelan dan pasti, RI perlahan-lahan bakal tenggelam ke dalam kemiskinan dan kenistaan. Skenario kedua ini paling menakutkan. Suatu revolusi, meski meminta darah dan jiwa, mungkin akan membawa solusi yang baik. Skenario kedua itu tidak membawa perbaikan akibat kemiskinan yang amat sangat.
Suara kaum cerdik pandai
Di tiap negara selalu ada tiga pilar yang mencirikan arah perkembangan negara itu, yakni politisi, wirausahawan, dan kaum intelektual. Yang terakhir ini selalu berfungsi untuk menyuarakan nurani rakyat. Lihat peran kaum encyclopaedists menjelang Revolusi Perancis, the Fabian Society di Inggris, dan pejuang Indonesia sebelum Revolusi Indonesia. Menjelang runtuhnya Orde Lama, muncul kelompok perjuangan baru.
Masyarakat harus menyadari, pada kelompok intelektual itu terpendam kekuatan yang amat dahsyat. Pada saat krisis, suatu kultur yang sehat secara moral selalu dapat memobilisasi semua tata nilai, harga diri, dan semangat juangnya untuk dapat mempertahankan cita-cita moralitas yang mereka junjung. Yang diperjuangkan mati-matian bukan sekadar masalah ekonomi, masalah HAM, demokrasi, dan lainnya, tetapi masalah penyelamatan bangsa dari proses penghancuran diri secara menyeluruh.
Pada saat ini kaum intelektual, masyarakat kampus, dan profesional harus membuat satu front untuk menyuarakan nurani rakyat, memberi alternatif solusi. Agar tidak sia-sia bekerja, berbagai kelompok itu tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi membuat suatu gerakan yang tidak hanya bergerak satu kali, tetapi gerakan berlanjut, menyertakan semua kelompok yang peduli kepada nasib bangsa.
* MT Zen, Guru Besar ITB
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Maret 2008
No comments:
Post a Comment