-- M Bambang Pranowo*
BETAPA indah jika film Ayat-ayat Cinta mengusung budaya Jawa di Timur Tengah sana. Sayang,aspek kultural tersebut terlupakan dalam film laris ini.
Film yang diadopsi dari novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazi itu, mengangkat tentang kehidupan ”cinta dan poligami” seorang mahasiswa asal Indonesia yang tengah menuntut ilmu agama di Universitas Al-Azhar, Kairo,Mesir.Hampir semua penonton menyatakan,bahwa film ini amat baik dan menyentuh.
Namun, bagi saya sebagai orang Jawa, film ini kurang memberi identitas kebudayaan para pelakunya. Fakhri Abdullah, tokoh sentral film Ayat-ayat Cinta yang dalam novel ini berasal dai Jawa Tengah, misalnya, tak sekalipun menunjukkan ”identitas busana Jawa”nya di Kairo.Acara mantenan yang sakral, yang biasanya menjadi arena pertunjukan identitas budaya sang penganten, tidak muncul dalam film itu. Sutradara Hanung Bramantyo yang orang Jawa, tampaknya kurang aware dengan aspek-aspek Jawa dalam film tersebut.
Kenapa Budaya Jawa?
Seandainya dalam film Ayat-ayat cinta muncul identitas Jawa, niscaya akan ada nuansa positif dari kebudayaan Jawa dalam konteks Islam. Betapa tidak! Fakhri, yang konon adalah pemuda yang amat relijius dan berasal dari Jawa, akan sangat membantu dalam mensosialisasikan budaya Jawa dalam konteks Islam di Timur Tengah. Mengapa demikian?
Selama ini,budaya Jawa terpingirkan dalam khasanah Islam dan budaya Timur Tengah. Bahkan dalam berbagai film dan sinetron, citra budaya Jawa amat buruk di tengah kehidupan yang berbau agama Islam. Dalam konteks ini, misalnya, Forum Religiositas (Forel) di Yogyakarta, beberapa waktu lalu, pernah mengadakan diskusi yang menggugat proses dejawanisasi dalam film nasional.
Menurut Forel,Budaya Jawa sekarang tengah mengalami kemunduran yang luar biasa karena diracuni Islam dan budaya Timur Tengah.Padahal kemunduran budaya Jawa berakibat pula pada mundurnya negara Indonesia. Ini terjadi karena sebagian besar orang Indonesia adalah berasal dari Jawa.
Menurut Forel, mundurnya budaya Jawa penyebabnya, antara lain, adalah akibat politisasi uang dan agama. Saat ini, menurut Forel, negaranegara Timut Tengah (Timteng) sedang berjuang sekuat tenaga untuk memperluas pengaruhnya, dengan cara apa pun. Dewasa ini, misalnya, pintu budaya dibuka seluas-luasnya sehingga interaksi antara budaya Jawa dengan budaya luar Jawa berlangsung sangat intens.
Keterbukaan ini, tulis Forel, telah dimanfaatkan oleh negara-negara petro dolar untuk merusak kebudayaan Indonesia umumnya dan kebudayaan Jawa khususnya. Fenomena tersebut,misalnya, bisa dilihat di acara-acara TV di Indonesia. Forel memberikan contoh sebagai berikut.
Dalam sinetron, hal-hal yang berbau mistik, dukun, santet, dan yang negatif sering dikonotasikan dengan manusia yang mengenakan pakaian adat Jawa seperti surjan,batik,blangkon, kebaya,dan keris.
Sedangkan halhal yang berkenaan dengan kebaikan dan kesucian, sering dikonotasikan dengan pakaian keagamaan dari Timur Tengah seperti surban, tasbeh, dan jilbab. Kesimpulan dari kisahkisah sinetron mistik tersebut umumnya: kebudayaan yang Jawa itu banyak berhubungan dengan setan dan harus kalah dengan kebudayaan Timur Tengah.
Jawa dan Islam
Apa yang dinyatakan Forel, bisa jadi benar, tapi juga bisa salah. Bila melihat tayangan-tayangan sinetron mistis atau sinetron religi,fenomena yang dikemukakan Forel,mungkin saja benar.
Tapi persoalannya, kenapa para pihak (pembuat) sinetron tersebut mau menggambarkan budaya Jawa dengan cara seperti itu, dan kenapa pula,kisah di sinetron itu itu be rujung pada kemenangan Islam, kenapa kisah-kisah dalam sinetron itu tidak mengambil atribut agama Kristen untuk ”mengalahkan” simbol-simbol kebudayaan Jawa.
Dalam kaitan ini, mungkin kita perlu melihat Jawa dan Islam, dalam bingkai kebudayaan tersendiri. Sebagian orang mengatakan bahwa Jawa bukan sekadar entitas budaya, tapi juga agama. Istilah Agama Kejawen yang diperkenalkan antropolog Clifford Geertz, misalnya, bukan sesuatu yang imajinatif atau mengada-ada, tapi memang benarbenar ada.Ajaran-ajaran dan filsafat Jawa yang amat luas, dalam pandangan Geertz, tampaknya sudah cukup untuk menjadikannya sebuah agama.
Meski Agama Kejawen ini tidak pernah diakui sebagai agama formal oleh negara,bahkan oleh orang Jawa sendiri,tapi pada kenyataannya, banyak sekali ajaran dan tingkah laku orang Jawa yang benar-benar mengikuti ajaran-ajaran Kejawen. Lantas, kenapa budaya Jawa sampai sekarang masih sering diidentikkan dengan mistisisme yang terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam? Jawabnya, karena proses islamisasi di Jawa tidak sampai tuntas.
Masuknya penjajah Barat seperti Portugis dan Belanda ke Jawa, telah mengganggu proses islamisasi di kerajaan-kerajaan Jawa. Penjajahan Belanda di Pulau Jawa, misalnya, tak hanya menghambat proses islamisasi di masyarakat Jawa, tapi juga dengan sengaja ”menghalangi” proses islamisasi tersebut. Belanda tidak hanya memecah belah kerajaan Jawa, tapi juga amat memusuhi kalangan Islam, khususnya kaum santri yang nota bene merupakan penyebar agama Islam di Jawa.
Untuk membendung pengaruh kaum santri ini, misalnya, Belanda juga sengaja menghidupkan feodalisme di kalangan masyarakat Jawa. Belanda membagi masyarakat Jawa dengan kelompok-kelompok tertentu berdasarkan garis keturunan feodalisme. Hal-hal seperti itulah yang bisa menjelaskan, kenapa proses Islamisasi di Jawa tidak tuntas.Akibatnya, meski orang Jawa mengaku Islam, mereka tetap kuat memegang tradisitradisi dan budaya Jawanya.
Namun demikian orang Jawa tetap merasa Islam meski mereka belum melaksanakan syariat-syariat Islam.Hal itu misalnya, bisa dilihat dari tembang-tembang Jawa yang isinya pekat dengan nuansa Islam. Dalam Serat Kidungan Kawedar karya Raden Wiryapanitra, misalnya, bisa ditemukan kisah para nabi dan malaikat yang bernuansa Islam, meski di sana sini telah diolah dalam mitologi Jawa.Begitu pula dlam Serat Centhini dan Serat Dewaruci.
Di seratserat tersebut, nuansa Islam sangat terasa meski bentuknya telah dimodifikasi dalam tembang-tembang Jawa yang penuh simbol dan perumpamaan. Dari perspektif itulah, betapa indahnya jika film Ayat-ayat Cinta mengusung budaya Jawa di Timur Tengah sana. Misalnya, dengan menunjukkan identitas Jawa dari Fakhri ketika melangsungkan pernikahan dengan Aisya.
Perpaduan Islam yang kental di Timur Tengah dan Islam yang cair di Jawa akan memperkaya aspek Islam kultural dalam film tersebut. Sayang, aspek kultural tersebut terlupakan dalam film laris yang banyak ditonton umat Islam ini. Padahal, aspek kultural Islam perlu dibentuk untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Islam itu universal dan kompatibel dengan kebudayaan apa pun,termasuk Jawa.(*)
* M Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 23 Maret 2008
No comments:
Post a Comment