Judul : Renjana
Penulis : Fanny Chotimah dkk.
Penerbit : Pengajian Senin dan Jagat Abjad Solo
Cetak : 2011
Tebal : 100 halaman
"Maka nostalgia adalah ingatan yang memperindah ingatan. Sebab itu kita tak perlu mencemoohnya: ia bagian yang memperkaya hidup kita sekarang" (Goenawan Mohamad, 2011).
KUTIPAN ini menjadi awalan bagi pembaca untuk mengetahui dan mengapresiasi bahwa buku berjudul Renjana ini menjadi nostalgia bagi penulis. Ikhtiar para penulis yang tergabung dalam sebuah Pengajian Senin dalam mengabadikan tulisan mulai mengalami titik terang. Tulisan-tulisan telah terbukukan. Dan, buku ini akan menyapa pada pembaca atau bagi penulis sendiri.
Barangkali buku ini yang akan mengantarkan kepada pembaca untuk bernostalgia dengan para penulis juga. Sebab, tulisan-tulisan yang terbukukan, sebagian besar telah termuat di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional. Akhirnya, buku menjadi sebuah nostalgia terhadap kata. Nostalgia kata memberi gairah pada pembaca untuk memasuki ruang tanpa batas dan mengimajinasikan dalam tataran tertentu.
Nostalgia pembaca terhadap tulisan itu termulai dari esai milik Fanny Chotimah. Esai berjudul Sejarah Surat, Sejarah Diri merupakan esai yang paling prestisius bagi pembaca. Sebab, selain pernah termuat di media cetak nasional, esai ini memberi gerak reflektif pada pembaca untuk lebih tahu dan sadar tentang arti pentingnya surat.
Bagi Fanny Chotimah, surat bukan hanya persoalan sebagai lembaran kertas penyampai pesan. Surat mampu memberi ruang bagi kita untuk menilik sejarah diri bangsa, peradaban, dan sejarah pada diri kita. Surat bagian terkecil dari tindak manusia, yang sebenarnya juga untuk memartabatkan diri sekaligus keeksistensian manusia itu sendiri. Kemahfuman terhadap surat inilah, pembaca dan penulis merasai bahwa surat menjadi bagian hidup kita yang tak boleh terabaikan.
***
Pembaca bernostalgia kata terhadap esai dari Sartika Dian Nuraini yang berjudul Penghormatan Buku. Dari esai ini, bila pembaca tahu dan pernah membaca dalam salah satu media cetak di Lampung, akan teringat dengan esai yang berjudul Hormat pada Buku. Namun, perbedaan terhadap judul esai itu tentu tak akan menghilangkan isi dari esai itu sendiri.
Seperti kita ketahui, bahwa buku menjadi suatu kitab yang berharga untuk kemajuan dan kecerahan peradaban. Namun, dari pernyataan yang telah menjadi repetisi bagi kita semua itu, ternyata pembaca akan terperanjat atau akan merasai bahwa buku tak sekadar menjadi simbolitas yang begitu formal dan agak wagu. Maka, esai Sartika yang termaktub dalam buku ini ingin menambahi atau memperluas pengetahuan bagi pembaca.
Secara eksplisit, ia mengungkapkan bahwa buku menjadi bagian sakralitas dalam kehidupan kita. Kesakralan itu tentu juga diimplementasikan bagaimana pembaca mau memperlakukan buku seperti kitab suci atau tubuh manusia sendiri. Lebih lanjut, Sartika memberi suatu pertanyaan yang mungkin menantang dan menjadi gerak reflektif diri pada pembaca. Begini bunyinya: “Akankah buku-buku yang turut membesarkan kita, mengajari kita segala hal, dan menjadi teman kita dalam segala hal, telah membuat kita peduli kepadanya?”
Pertanyaan tersebut membuktikan bahwa buku kumpulan esai ini selain menjadi nostalgia, juga menjadi sebuah pemantik bagi pembaca untuk melakukan refleksi diri. Ini pula yang membuat pembaca untuk mengidentifikasi bahwa sebagian besar dari esai para penulis ini selalu diakhiri dengan pertanyaan reflektif. Esai-esai yang selalu terbingkai oleh tanda tanya inilah, yang membuktikan bahwa “…tanya bukanlah semata aktivitas yang didasari ketidaktahuan, melainkan juga berangkat atas kemengertian demi tersingkapnya lebih dalam kemengertian tersebut. Singkatnya, tanya sama dengan belajar. Semacam kehausan untuk mengetahui secara lebih, lebih, dan lebih lagi,” kata Mohammad Afifuddin (2009). Inilah yang menjadikan bukti manusia akan lebih "berada" dan "mengada".
***
Serpihan nostalgia dari kelima penulis (Fanny Chotimah, Asni Furaida, Mohamad Fauzi Sukri, Puitri Hati Ningsih, dan Sartika Dian Nuraini) di buku ini memberi suatu kegenitan dan kelucuan tersendiri. Ini terbukti dari mereka yang menyertakan esai biografi diri terkait dengan kegiatan menulis.
Pembaca akan mengetahui bagaimana M. Fauzi Sukri dalam esai pribadinya membanggakan diri sebagai "Fauzi bodoh" tapi... sering terlalu bersemangat mengungkapkan pikirannya". Lalu, ada Puitri Hati Ningsih yang mengeluhkan bahwa dalam kegiatan dalam Pengajian Senin— menjadi hari di mana kegiatan duniawi berhenti, tidak on line, tidak pacaran bagi yang punya pacar, tidak makan enak karena di taman itu tidak ada makanan enak, kecuali satai yang tak bersambal, teh yang rasanya gagal, yang selalu dipesan karena saya tidak minum Coca Cola seperti Kabut" (nama sebutan untuk Bandung Mawardi). Inilah, beberapa serpihan nostalgia yang bisa jadi rujukan bagi pembaca untuk merasai segala tindak yang dilakukan para penulis itu dalam kegiatan Pengajian Senin, pengajian menulis.
Akhirnya, nostalgia kata dari penulis, salah satunya yang disuguhkan Asni Furaida justru memperkuat pembaca untuk memberi konklusi bahwa buku ini mengikat makna. Suguhan kata dari Asni merujuk pada kata-kata Socrates dalam Phaedrus yang berbunyi, “Begitu sebuah kata ditulis, kata itu menggulung semua, mendatangi siapa saja yang memahaminya, dan siapa yang sama sekali tidak memahaminya.”
Budiawan Dwi Santoso, pengelola Komunitas Tanda Tanya
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 August 2011
No comments:
Post a Comment