Wednesday, August 10, 2011

Balada “Penyair Karosta” di Negeri Korup

-- Sihar Ramses Simatupang

BULAN April, 38 tahun silam, di Ketanggungan Wetan NJ VI No 165 Yogyakarta, para aktor Bengkel Teater sedang berkumpul, mengelilingi seorang seniman muda. Si seniman kelahiran Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935, itu pun berbaring menerawang. Kawan-kawannya berkumpul di sekelilingnya, berusaha menulis apa yang dia dikte dan ucapkan.

Uniknya, setiap pemain mendapatkan dialognya dari cara diktean si seniman itu. Dialog satu bersambung dengan dialog lain. Tiap orang menulis tiap tokohnya. Dialog didikte untuk setiap aktor. Nantinya, seluruh naskah itu akan dikumpulkan, lalu disusun secara bersamaan.

Inilah peristiwa unik menjelang pementasan “Mastodon dan Burung Kondor” pada Desember 1973 di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Edi Haryono, salah satu aktor di Bengkel Teater yang juga karib Rendra, mengisahkan cerita tersebut kepada SH, baru-baru ini.

“Inilah penulisan yang berbeda dari naskah Mas Willy (panggilan akrab Rendra-ed) yang lain. Waktu itu rumah itu tak ada halaman, jadi kami memakai halaman rumah tetangga,” ungkap Edi.

Namun pementasan gagal karena larangan pihak rektorat Universitas Gajah Mada. Edi berkisah, naskah “Mastodon dan Burung Kondor” memang bisa dibaca dalam konteks situasi sosial politik Indonesia tahun 1970-an, di mana partai politik dikerdilkan dan militer mengawasi segala tempat.

Rendra dalam naskah tersebut memunculkan seorang tokoh bernama Jose Karosta. Ia adalah tokoh yang mengingatkan pada sosok Ernesto Che Guevara di Amerika Latin.

Di tahun 1973, popularitas Che Guevara, sosok yang mendampingi Fidel Castro dalam penggulingan diktator Kuba Fulgencio Batista, memang tengah menanjak dan menjadi idola para pemuda dunia yang menginginkan perubahan. Di naskah Mastodon, Rendra menempatkan kepenyairannya lewat tokoh Jose Carosta, peran penyair di tengah berbagai struktur sosial masyarakat.

Politik dan Kebudayaan

“Mastodon dan Burung Kondor” mengungkapkan secara implisit suasana hiruk-pikuk politik di sebuah negeri. Karena itu, inisiatif istri Rendra, Ken Zuraida, lewat Ken Zuraida Project untuk mengangkat kembali “Mastodon dan Burung Kondor” ke panggung, tetap aktual.

Intelektual muda Anies Baswedan menyebut, pementasan kembali naskah ini menunjukkan bahwa pikiran dan keteladanan Rendra masih diperlukan sebagai inspirasi untuk bangsa ini.

Bagi aktivis politik Malari, Hariman Siregar, Rendra adalah penyair yang tak kalah dengan penyair dunia lainnya karena dia menolak kapitalisme dan materialisme.

Dia tak suka partai politik semata-mata karena dia tak suka pada formalitas politik. Karyanya di tahun 1970-an adalah karya yang memprotes keadaan negara. “Bagi Mas Willy, nation tak akan jadi nation kalau tak bisa menerima perbedaan,” ungkap Hariman.

Sementara bagi budayawan Putu Wijaya, Rendra adalah salah satu keajaiban di dalam hidupnya. Dia mencatat tiga kelebihan pada seorang Rendra, yaitu keberanian untuk melawan, pantang menyerah, mementingkan tradisi, melihat segalanya dari sudut pandang yang lain dan berbeda, juga kegagahan di dalam kemiskinan.

Selain itu, papar Putu, energi seorang Rendra justru terletak pada kebudayaannya. Sebagai seniman, memang sebaiknya tak jauh dari tubuh dan jiwa bangsa dan negerinya sendiri.

Rendra, dengan karyanya, tak jauh dari jiwa dan tubuhnya. Bila Putu kerap berbicara sebagai orang Indonesia dengan jati diri urban Balinya, Rendra identik dengan kultural Jawanya sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara.

Jalan Bisu

Sabtu (6/8) lalu, orang-orang berkumpul di areal Bengkel Teater di Citayam. Esok harinya, mereka mengayun langkah kaki Citayam-Cikini, untuk mengenang jalan jauh yang dilakukan Rendra ketika dia masih berada di Yogyakarta, termasuk Ritual Jalan Bisu, dengan rute Cipayung, Depok, ke Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini untuk mengenang mendiang pada 7-8 Agustus 2011.

Beberapa aktor seperti Awan Sarwani, Totenk Mahdasi Tatang, Maryam Supraba, dan Cahyo Harimurti pun ikut mendukung pentas yang disutradarai Ken Zuraida tersebut.

Dulu, semasa Rendra dan Bengkel Teater aktif di Jogja, “Jalan Bisu” mulai diperkenalkan kepada masyarakat sebagai ungkapan protes atas situasi yang membekap kesegaran hidup bersama. Para anggota Bengkel Teater berjalan kaki dari Ketanggungan ke Jalan Malioboro, dan berkumpul di Alun-alun Utara.

Cara protes seperti ini memang ditujukan pada yang berkuasa, namun dengan membisu, yang terjadi justru instropeksi, dialog dengan diri sendiri, dan menahan diri tidak menyiram bensin pada orang-orang sekitar yang memendam bara ketidakpuasan dan kekecewaan.

Rendra tak hanya hadir dalam karya biografi penyair Yogyakarta, karya Panembahan Reso-nya yang berbincang tentang Jawa atau Mataram. Tetapi, dia juga mengomentari kekuatan kebudayaan di setiap wilayah Nusantara sebagai bagian dari sistem sosial dan politik kebangsaan.

Di awal 2000-an, kepada SH–bersama wartawan senior Peter Rohi–Rendra pernah mengulas sejarah Kerajaan Makassar, dan penentangan wilayah ini terhadap kolonial. Dia menyebut nama Raja Kajao Lali'do, dengan sistem pemerintahannya yang ideal, untuk bahan referensi dalam sistem sosial dan politik di Nusantara.

Pendeknya, Rendra ingin berkata bahwa setiap daerah patut digali kekuatan dan pikiran kebudayaannya untuk kehidupan keindonesiaan di masa kini dan mendatang. Melihat Indonesia dari cara pandang setiap provinsi, juga melihat Indonesia dari cara pandang setiap daerah. (CR-16)


Sumber: Sinar Harapan, Rabu, 10 Agustus 2011



No comments: