-- Beni Setia
SEORANG teman yang gemar mengumpulkan dan mendalami bacaan tentang sufisme mengirim sebuah SMS selepas tengah malam. Pendek isinya: "Di alam kubur Rabi'ah al-Adawiyah didatangi dua malaikat, ditanya ‘Man Rabbik?—siapa Tuhanmu?’. Rabi'ah menangis dan balik berkata, ‘Masya Allah ... tanya Tuhan, siapakah Rabi'ah.’"
Saya tersenyum. Teringat akan dua anekdot lain.
Pertama, seorang penjaja buah di bus, yang berpindah dari satu bus ke bus lain di jalan antara A—B, terlelap kecapekan di bangku bus kosong dalam bus yang melaju nyaris tak berpenumpang. Kondisi tidak nyaman yang membuat sopir muring-muring dan melaju tanpa kendali, salah mengukur tikungan dan tercebur masuk jurang setelah menabrak pagar jembatan. Si penjaja buah itu menjadi korban meninggal, tanpa sadar bila ia itu mengalami kecelakaan, dikuburkan, dan terjaga ketika didatangi dua malaikat.
“Man Rabbik?” hardiknya. Si penjaja itu tersentak, gelagapan mencari dagangan, serta spontan berteriak “Seribu tiga...!”
Dengan kata lain, seseorang terjaga dan tertidur dengan obsesi serta asumsinya sendiri, sekaligus tetap tranced dalam obsesi dan asumsi itu ketika mendadak ia terjaga lagi setelah tidur panjang. Maka jawaban khas Rabi'ah al-Adawiyah itu amat terkait dengan pilihan, cara hidup, serta obsesi sufistik yang kental dipraktekkannya. Identik dengan problem sosial, impian riil yang terkait dengan kenyataan sehari-hari, dan aksi pragmatik dalam berjuang menjajakan dagangan dan mencari laba yang khas dari si penjaja buah-buahan. Jadi tidak heran kalau ada lelucon, penjaja minyak tanah yang meneriakkan “Minyak!”, ketika ia sekarat dan ditantang dengan acuan keimanan oleh keluarganya. Ide mencari kematian beriman jadi kematian tragis kapitalistik.
***
ITU berkesejajaran dengan isu atheistisasi dengan pola dialektika materialisme ala PKI di paruh awal dekade 1960. Ketika seorang guru doktriner memimpin doa pada Tuhan dengan pamrih akan ada potlot begitu si anak didik minta potlot. Satu hal yang sia-sia karena Tuhan tak pernah bertindak secara riil pragmatik, dan karennya akan kalah ketika semua murid diminta sungguh-sungguh meminta potlot pada si guru, yang dengan segera membagikan potlot yang memang telah disediakan. Tuhan yang selalu transenden nun di entah akan kalah oleh tindakan praktis yang telah disiapkan dan direncanakan. Sekaligus: apa yang bisa dilakukan manusia ketika bertemu dengan masalah yang ada di luar rencana dan perhitungannya?
Itu kisah kedua yang muncul ketika menerima SMS sufistik tadi. Satu kisah yang menggigilkan si pengirim karena itu menunjukkan tingkatan majenun dari orang yang begitu khusyuk dan total mengamalkan amalan sufistik. Dan karenanya menjadi idola dan teladan, sebuah pola yang ingin ditirunya agar ia juga sampai pada tahapan lebur antara hamba—al-Chalik, hingga yang tertusuk padamu jadi luka padaku, dan sekaligus apa yang Aku ketahui adalah apa yang kamu ketahui. Satu tingkatan yang jauh amat tinggi ketimbang hanya ada di tahan aku hanya tahu yang duniawi dan terperangkap dalam labirin keduniawian—atau terperangkap oleh asumsi Tuhan itu hanya dirasakan ada dan karena itu tak akan bisa bertindak praktis dalam memenuhi harapan dan doa arang kebanyakan yang bergelut di tataran fisik dan praktis hal keduniawian.
Sekaligus juga semacam sengatan bagi level kesadaran kepapaan: diri hanyalah seorang abid—hamba ciptaan yang melulu hanya sahaya yang diwajibkan beribadat. Jadi alih-alih dari komplain si bersangkutan yang diharuskan mengajukan semacam proposal tentang kualitas dan mihrab keimanan pada Tuhan (Yang Maha Esa), tapi coba cek dahulu rekomendasi Tuhan (Yang Maha Esa) tentang kualitas dan mihrab keimanan si bersangkutan. Karena seorang ciptaan tetap hanya seorang ciptaan, yang meski amat diistimewakan dan disukai Tuhan, tapi cinta dan suka itu tak menyebabkan mereka jadi dua subyek yang sebanding.
***
POSISI mereka tetap ada di level peta hubungan kreasi antara Pencipta dengan ciptaan. Ada gradasi kualitas dan kehendak. Sesuatu yang menyebabkan seseorang harus tetap rendah hati dan tahu diri sebagai seorang ciptaan, hamba, serta sahaya—yang mengada di dunia ini dengan beban takdir sebagaimana digariskan oleh Tuhan. Tapi bisakah kita mengatakah hal yang formalistik itu pada orang yang tranceddalam kondisi majenun suifistik? Sesuatu yang membuat saya tidak tahu harus bagaimana menjawab SMS pagi buta itu—dan karenanya hanya bisa menghindar dengan membuat lelucon kisah seribu tiga si penjaja buah yang mati dalam kondisi tertidur rohaninya.
Sekaligus sadar: banyak kondisi rohani yang tertidur yang berbeda di antara satu orang dan orang lain—meski si bersangkutan merasa terjaga seperti guru yang sedang melakukan atheistisasi dialektika materialisme. Memang!
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment