Judul: Keep Your Hand Moving: Panduan Menulis, Mengedit, dan Memolesnya
Penulis: Anwar Holid
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2010
Tebal: 131 halaman
TELAH banyak terbit buku-buku kiat-kiat menulis yang bercampur dengan motivasi kepenulisan. Sejumlah sastrawan ternama malah pernah menulisnya dan rata-rata mendapat sambutan positif ketika diterbitkan.
Mulai dari Arswendo Atmowiloto, Mohammad Diponegoro, Sides Sudyarto DS, AS Laksana, dan Eka Budianta. Kalau yang bukan sastrawan bisa disebut Andreas Harefa, Bambang Trim, Gundar Banjarnahor, sampai Edy Zaqeus. Tentunya daftar ini masih panjang, belum ditambah beberapa judul buku terjemahan yang marak menghiasi rak-rak toko buku.
Buku-buku jenis ini terbilang sukses karena masuk kategori buku how to dan self help (motivasi diri) yang mudah dicerna. Lucunya karena buku jenis ini terbilang “gampang dijual” dalam dunia penerbitan buku Indonesia, banyak terbit buku-buku sejenis dengan nama pengarang yang karya-karya tulisnya tidak termuat di media massa.
Buku ini dibuka pada bab Pengantar: Berbagi Ilmu Penulisan yang berkisar soal pengalaman penulis yang sering diminta menjadi fasilitator berbagai lokakarya penulisan.
Penulis sering menyaksikan peserta yang mengeluh betapa sulitnya memulai menulis meskipun banyak ide, atau ada juga peserta yang banyak membaca buku tapi tidak bisa menulis. Rata-rata peserta yakin bahwa sebagian besar karya tulis seolah lahir dari keadaan “terpaksa”, kalau bukan memang sudah dirancang seperti itu.
Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Sejumlah buku atau karya tulis lainnya justru lahir dari mulut pengarangnya, bukan dari ide yang langsung dituliskan begitu saja, satu hal yang sering dibayangkan kebanyakan orang.
Beberapa contoh khotbah Jalaluddin Rakhmat banyak yang kemudian didokumentasikan lalu diterbitkan menjadi buku, pun khotbah A A Gymnastiar. Menurut Roy Peter Clark dalam bukunya Writing Tools, menulis seperti halnya ilmu lain yang bisa dipelajari. Clark mengungkapkan gagasannya antara lain “kamu hanya butuh alat, bukan aturan”.
Jadi dalam buku ini penulis seolah mengungkapkan bahwa kegiatan menulis tidak harus “menunggu wahyu” atau si penulis harus menjadi seorang begawan dulu. Yang penting mau belajar, tak penting bagus atau jelek nantinya. Umur pun tidak menjadi masalah berapa pun harus memulai.
Salah satu keunggulan buku ini, sang penulis justru mampu mengungkap spirit menulis sebenarnya yang bisa lahir dari dalam, bukan dengan melulu mengungkapkan sejumlah teori ataupun kaidah penulisan baru ke tingkat menumbuhkan motivasi seperti lazimnya buku-buku sejenis.
Aturan mungkin perlu sebagai landasan, tapi jangan biarkan aturan itu malah membuat kita ragu-ragu. Satu hal yang sering terjadi pada akibatnya kebanyakan aturan membuat seseorang sialnya malah jadi mandek lantaran “takut” pada pelbagai teori yang membelenggunya.
Satu hal yang menarik, dalam buku ini penulis mengungkapkan beberapa alasan mengapa sebuah karya tulis ditolak di media massa (hlm 46). Salah satunya kebanyakan karya yang ditolak hasilnya seolah mrucut begitu saja dari benak penulisnya, sehingga alurnya menjadi tak beraturan akibat penulisnya tergesa-gesa untuk segera mengirimkannya kepada redaktur.
Selain itu banyak hal yang sadar maupun tidak disadari para penulis adalah terlalu banyak menggunakan istilah asing yang hasilnya terlihat hanya untuk “mempercantik”, bukan menjelaskan. Akibatnya tulisan jadi kurang fokus, argumen yang ditawarkan lemah alih-alih malah membingungkan pembaca.
Di bab lain yang rupanya penting dan perlu diketahui para penulis pemula maupun yang sudah tenar sekalipun adalah motivasi menulis harus jujur (hlm 9). Menulis karena uang, seperti yang pernah diungkapkan jurnalis senior Farid Gaban kepada penulis, tidaklah salah karena hal tersebut harus sesuai dengan kecenderungan masing-masing.
Tapi yang terpenting menurut Anwar, menjadi penulis merupakan tujuan ultima yang rela dibayar dengan segala cara, dan itu bisa jadi tak berhubungan dengan kaya, terkenal, atau bahkan karyanya dibaca banyak orang (hlm14).
Hal lain yang menarik, satu hal yang jarang diungkapkan dalam buku-buku panduan menulis yang pernah terbit, dalam buku ini juga tercantum tip untuk editor yang menghadapi tipe penulis sombong, tipe penulis yang terlalu yakin pada keunggulan naskah yang ditulisnya jika enggan disebut “gila” terhadap naskahnya sendiri.
Untuk menghadapi tipe penulis macam begini, penulis mengungkapkan kiatnya agar sang editor harus jujur dan kuat berargumen. Bila perlu pujilah keunggulan naskah tersebut, apalagi jika sudah dibaca pembaca ahli atau orang terkemuka di bidangnya, selain mampu menunjukkan kelemahan, misalnya argumen kabur atau salah logika (hlm 102).
Selain itu dalam buku ini penulis juga mengungkapkan “permata-permata” naskah yang yang semula ditolak penerbit dengan menyebut berbagai contoh buku yang justru menjadi best seller setelah diterbitkan sendiri oleh penulisnya atau diterbitkan penerbit lain, sehingga pembaca yang notabene ingin jadi penulis tetap yakin akan kekuatan yang ada dari naskahnya, tapi karena belum dilirik, belum bisa terbit.
Sekadar contoh, buku sukses Harry Potter atau kalau di Indonesia buku Laskar Pelangi yang konon semula ditawarkan kepada beberapa penerbit banyak ditolak. Korps editor boleh tinggi, tapi jangan memandang profesi ini terlalu agung. Sewajarnya kadang editor bisa salah spekulasi (hlm 103).
Dengan mencontohkan buku Love Medicine karya Louise Erdrich yang semula dianggap aneh nyatanya begitu terbit malah berhasil meraih penghargaan Books Critics Circle Award.
Satu hal penting dari buku ini juga mencantumkan kiat-kiat sehingga pembaca mampu mengedit tulisannya sendiri berbekal dari saran bahwa “ambil masukan dari kritik yang paling pahit Anda terima” (hlm 76).
Dengan adanya kiat ini, buku ini mampu menguak tabir kepenulisan yang kerap kali muncul karena kebanyakan penulis hanya menerima saran yang umumnya mengandung pujian, bukan kritik pedas yang semula membuat sakit hati.
Walau buku mungil ini rata-rata punya banyak keunggulan yang belum dicapai buku-buku sejenis, bukan berarti tidak ada kekurangan. Dalam buku ini penulis tidak mengemukakan tipe penulis yang “bukan pembaca”.
Memang, tipe penulis macam ini (rata-rata penulis puisi, cerpen, dan novel) memang sebenarnya membaca juga, tapi sejatinya ia menulis sebagai katarsis (sebagai penyembuhan diri dari luka batin). Akibatnya walau hasil tulisannya bisa dimaklumi sebagai penyembuhan diri, rata-rata kurang memiliki daya persuasi yang memikat pembaca lantaran terlampau personal.
Mungkin jika digali lebih dalam perlu ada bab khusus menyoroti tema ini, karena tipe penulis macam ini memang ada, bahkan ada pula yang menjadi selebritas tatkala bukunya terbit, walau harus diakui buku yang lahir dari penulis yang kurang membaca ini mampu menjadi perbincangan bukan dari kekuatan naskahnya, melainkan dari sosok penulisnya yang kebetulan punya banyak relasi dengan orang-orang terkenal (prominence).
Padahal sejatinya ada “hukum” yang dilakukan penulis jenis tulisan apa pun, baik fiksi maupun nonfiksi, sastra maupun nonsastra, yaitu sebelum menulis banyak membaca buku-buku penting sebagai referensi sesuai bidang yang ditekuni.
Tema lain yang belum tergarap adalah menyoroti tipe penulis yang justru akibat “terlalu banyak membaca” sehingga hasil tulisannya kurang mencerminkan pikiran penulisnya sendiri.
Hal ini juga perlu ditinjau lebih lanjut karena tipe penulis macam ini juga cukup banyak, sehingga hasil karyanya tampak seperti “pamer bacaan” sehingga seperti halnya penulis yang kurang membaca tidak mampu memikat pembaca yang semula hendak disergapnya, kalangan intelektual misalnya pembaca filsafat, peminat kebudayaan, atau pembaca sastra.
Terlepas dari segala kekurangannya buku ini penting untuk dibaca, baik oleh penulis pemula bahkan yang sudah jadi untuk mempertanyakan kembali untuk apa menulis itu: untuk cari nama supaya terkenal, ingin berbagi ide atau sekadar rekreasi diri?
Dengan tak lupa mencantumkan berbagai contoh juga teori yang tak terkesan menggurui, buku ini mampu memunculkan motivasi sesungguhnya yang punya nilai lebih dari sekadar mempelajari teori atau kiat, yaitu menulis dengan hati.
Donny Anggoro, wartawan. Ia bergiat di komunitas Meja Budaya.
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 20 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment