-- Junaidi
APAKAH ada dikotomi sastra berdasarkan jenis kelamin? Mengapa lahir pula istilah feminisme, sastra perempuan, atau penyair perempuan? Anehnya tidak ada istilah maskulinisme, sastra laki-laki, atau penyair laki-laki yang berkembang. Lahirnya istilah perempuan dalam dunia sastra, baik dalam kritik sastra mapun penciptaan karya sastra disebabkan mitos inferioritas perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Adanya polarisasi laki-laki dan perempuan merupakan realitas penciptaan yang harus diterima. Kisah Adam dan Hawa merupakan bukti utama adanya dua dikotomi jenis kelamin manusia, yakni Adam simbol dari laki-laki yang perkasa, kuat, pemimpin, imam sedangkan Hawa mewakili identitas perempuan sebagai makhluk lemah, pengikut, dan makmum. Laki-laki memainkan peran dominasi sedangkan perempuan memainkan peran subordinasi. Bahkan ada yang mitos yang menyatakan bahwa Hawa itu diciptakan dari tulang rusuk Adam. Ini tentu saja semakin memberikan legitimasi lemahnya perempuan dibandingkan laki-laki. Pendek kata, perempuan itu bagian dari laki-laki sehingga mitos inferioritas perempuan terus berkembang dan bahkan dianggap sebagai ideologi dalam memahami hubungan laki-laki dan perempuan.
Berbicara tentang sastra perempuan atau penyair perempuan, sebaiknya diawali dengan memahami istilah emansipasi dan gender sebab aliran atau pandangan sastra perempuan didasari oleh konsep itu. Kata emansipasi berasal dari bahasa Latin emancipatio, bermakna “persamaan hak dalam berbagai kehidupan”. Sedangkan gender diartikan sebagai lawan dari kata seks. Gender bersifat psikologis kultural, sebagai pembeda antara masculine-feminine sedangkan seks bersifat boilogis (Ratna, 2007:219). Selanjutnya kata feminis berasal dari kata femme yang bermakna perempuan atau woman. Dalam bidang kebudayaan dibedakan istilah male dan female untuk menunjukkan perbedaan yang bersifat biologis atau hekekat penciptaan dan masculine dan feminine yang bersifat psikologis dan kultural (Ratna, 2009:184). Ini bermakna bahwa secara biologis memang ada perbedaan fisikal antara laki-laki dan perempuan. Tetapi yang lebih difokuskan kaum feminisme bukanlah perbedaan fisikal tetapi perbedaan yang bersifat kultural dengan mengatakan bahwa seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan tetapi menjadi perempuan. Ini bermakna bahwa lingkungan sosial atau masyarakat yang menjadikan seseorang sebagai seorang perempuan.
Salah satu media yang dapat digunakan perempuan untuk memperjuangkan gagasan emansipasi, persamaan hak, dan kebebasan adalah karya sastra. Karya sastra yang ditulis kaum perempuan diarahkan untuk mengangkat suara perempuan sehingga perempuan tidak lagi menjadi subordinasi laki-laki. Perempuan pun berhak membuat cerita dan sejarahnya sendiri. Sehingga tidak hanya ada his-story tetapi juga ada her-story. Perempuan berhak memaknai dunia mereka sendiri dengan cara-cara mereka sendiri. Segala tafsir dunia yang dimonopoli laki-laki ingin didekonstruksi oleh perempuan. Laki-laki dianggap telah membuat kesalahan besar dengan menafsir sesuatu dengan cara mereka sendiri sehingga posisi perempuan terus inferior dalam pandangan laki-laki. Lebih parahnya lagi, perempuan dipaksa untuk menerima keadaan bahwa perempuan itu memang lemah. Sehingga pada akhirnya ada inferior complex dalam diri perempuan sendiri. Perempuan menerima mereka sebagai kaum lemah sehingga mereka menyatakan bahwa laki-laki berhak mengatur mereka dan mereka harus tunduk kepada laki-laki. Pembedaan sastra perempuan terus dikembangkan dan memunculkan ungkapan penolakan terhadap dominasi tafsir oleh laki-laki, seperti androcentric (berpusat pada laki-laki), phallocentric (kelamin laki-laki, berpusat pada laki-laki), androtext (ditulis oleh laki-laki), gynotext (ditulis oleh perempuan) dan gynocritic (kritik sastra oleh perempuan).
Semangat kebebasan dan persamaan hak itulah yang menjadi dasar perjuangan feminisme dalam dunia sastra, terutama dalam kebudayaan Barat. Dalam dunia sastra rivalitas antara laki-laki dengan perempuan dapat dilihat dari segi penulis, penokohan, pembaca, dan gagasan utama yang terdapat dalam karya sastra. Dalam karya sastra lama Indonesia sering ditemukan tokoh utama yang mewakili dominasi laki-laki seperti Rama, Arjuna, Sutasoma, Hang Tuah, Rajapala dan Jayapran (Ratna, 2009: 193). Di Indonesia, gagasan feminisme sudah terlihat sejak zaman Balai Pustaka, yakni dengan hadirnya novel-novel yang mengangkat masalah kawin paksa seperti Siti Nurbaya dan Layar Terkembang. Kuatnya ideologi maskulinitas memang terlihat dalam dunia penulisan di Indonesia. Jumlah penulis perempuan tidak sebanyak penulis laki-laki. Beberapa penulis perempuan yang terkenal diantaranya Sariamin, Hamidah, Maria Amin, Nursyamsu, Waluyati, Ida Nasution, S Rukiah, Sitti Nuraini, Suwarsih Djojopuspito, Nh Dini, Titie Said, Tifis Aryati, Marianne Kattopo, Maria A Sarjono, Yati M Wiharja, Oka Rusmiani, Ayu Utami, Dewi Lestari (Dee), dll (Ratna, 2009: 193).
Selain dilihat dari segi penulisnya, emansipasi perempuan juga dilihat dari tokoh perempuan yang diangkat dalam cerita seperti tokoh Hamidah dalam novel Kehilangan Mestika karya Hamidah dan Yusnani dalam novel Pengaruh Keadaan karya Selasih. Ternyata tokoh fiksi perempuan tidak hanya diangkat oleh penulis perempuan tetapi juga dianggat oleh penulis laki-laki seperti Siti Nurbaya dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Tuti dalam novel Layar Terkembang karya Sultan Takdir Alisjahbana.
Bagaimana dengan Penyair Perempuan di Riau?
Adanya identitas tersendiri bagi para perempuan Riau terlihat dari kelompok penyair perempuan. Para penulis puisi perempuan memiliki hak untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai penyair perempuan Riau. Mereka ingin membedakan dirinya dengan para penyair yang bukan perempuan. Mudah-mudahan munculnya identitas penyair perempuan tidak memunculkan kelompok penyair laki-laki Riau sebab itu sangat tak lazim. Para penyair laki-laki cukup mengindentifikasi diri mereka sebagai “penyair” sedangkan penyair perempuan boleh mengidentifikasi mereka dalam dua identitas, yakni sebagai “penyair” dan “penyair perempuan.” Identitas sebagai “penyair” tentu saja bersifat universal atau tidak ada pembedaan jenis kelamin sehingga gagasan yang disampaikan tidak dilihat dari sisi jenis kelamin penulisnya. Tetapi ketika identitas “penyair perempuan” digunakan maka identitas penulisnya tidak universal lagi atau tidak netral lagi melainkan harus dilihat dari sisi jenis kelamin perempuan. Ada nilai khusus yang ingin ditampilkan dalam identitas penyair perempuan.
Identitas penyair perempuan Riau dibuktikan dengan adanya tiga buku (sejauh yang saya baca) yang secara sengaja diterbitkan untuk mewakili suara perempuan Riau dan perempuan lainnya dalam dunia sastra, yakni Musim Bemula: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan se-Sumatera (2001). Dalam buku ini terdapat 7 penyair perempuan Riau, yakni Ar Kemalawati, Cecen Cendrahati, DM Ningsih, Herlela Ningsih, Kunni Masrohanti, Tien Marni, dan Zainurmawaty. Selanjunya dalam Kemilau Musim: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Indonesia (2003) ada 15 penyair perempuan Riau: Asnah Dumasari, Budy Utamy, Cecen Cendrahati, DM Ningsih, Endang Indrayani Ramlan, Hamidah, Herlela Ningsih, Kunni Masrohanti, Murparsaulin, Natalia Lili, Nurhayati, Qori Islami Aris Abeba, Tien Marni, Verrin YS, dan Zainurmawaty. Dalam buku Pesona Gemilang Musim: Kumpulan Puisi Penyair Perempuan Indonesia II (2004) terdapat pula 19 penyair perempuan Riau: Asnah Dumasari, Budi Utamy, Cecen Cendrahati, DM Ningsih, Endang Indrayani Ramlan, Fatmawati, Hamidah, Herlela Ningsih, Ita Maatas, Kunni Masrohanti, Murparsaulin, Natalia Lili, Novi Yanti, Nurhayati, Qori Islami Aris Abeba, Rina N Entina, Tien Marni, Verrin YS , dan Zainurmawaty. Ketiga kumpulan puisi tersebut diterbitkan oleh Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru. Meskipun kumpulan puisi tersebut meliputi penyair dalam kawasan Sumatera dan Indonesia, buku tersebut lebih merepresentasikan suara penyair perempuan di Riau sebab diterbitkan oleh kelompok penyair di Pekanbaru.
Dalam buku Komposisi Sunyi: Sajak Pilihan Riau Pos 2007 terdapat 2 penyair perempuan Riau: Dien Zhurindah dan DM Ningsih. Dalam buku Tamsil Syair Api: Sajak Pilihan Riau Pos 2008 terdapat 5 penyair perempuan Riau: Alvi Puspita, Budy Utamy, Dien Zhurindah, Musparsaulian, dan Wetry Febrina. Dalam buku Ziarah Angin: Sajak Pilihan Riau Pos tahun 2009 ada 4 penyair perempuan Riau: Alvi Puspita, Susi Susanti, Zurnila Emhar, Cahaya Buah Hati. Dalam Fragmen Waktu: Sajak Pilihan Riau Pos 2010 terdapat 6 penyair perempuan Riau: Cahaya Buah Hati, Dien Zhurindah, Cikie Wahab, Kunni Masrohanti, Srikartini Ningsih, dan Sugiarti.
Dalam buku kumpulan puisi lain, Mengucap Sungai Antologi Puisi Temu Budaya Nasional 2010 (2010), terdapat 2 penyair perempuan Riau: Alvi Puspita dan Cahaya Buah Hati. Dalam Selat Melaka: Antologi Puisi Pekanbaru-Johor terdapat pula 4 penyair perempuan Riau: Budyi Utamy, Dien Zhurindah, DM Ningsih, dan Herlela Ningsih.
Berdasarkan pembacaan atas karya-karya penyair perempuan di atas, ternyata tidak semua penyair perempuan Riau yang menulis gagasan perempuan. Kebanyakan dari mereka menulis tentang tema-tema umum seputar kehidupan, cinta dan isu-isu sosial lainya. Ini bermakna bahwa penyair yang termasuk penyair perempuan tidak selalu menulis tentang perempuan sebab tidak segala gagasan yang diangkat dalam puisi itu berkaitan dengan perempuan dan dilihat dari perspektif gender. Gagasan dalam dunia ini banyak yang bersifat universal sehingga tidak harus selalu dihubungkaitkan dengan perempuan. Jika demikian, tidak semua puisi atau sajak yang ditulis perempuan dilihat dari perspektif feminisme meskipun para penulisnya mengidentifikasikan dirinya sebagai penyair perempuan. Begitu juga dengan penulis laki-laki. Tidak semua karya penulis laki-laki yang bersifat bias gender dan memposisikan perempuan inferior.
Penyair perempuan Riau yang secara khusus menulis tentang perempuan adalah Tien Marni dalam puisinya yang berjudul “Ziarah”. Dalam puisi disebutkan nama tokoh-tokoh perempuan seperti Kemala Hayati, Cut Nyak Dien, dan Aisyah Sulaiman. Penyebutan ini bertujuan untuk mengingatkan besarnya peran perempuan dalam kehidupan ini. Pengangkatan tokoh perempuan dalam puisi ini tidak untuk membela inferioritas perempuan tetapi justru untuk menunjukkan kelembutan dan keibuan seorang perempuan.
Zainurmawaty menulis tiga puisi yang berkaitan dengan perempuan. Puisi pertama berjudul “Tetesan Berkah”. Puisi ini mengangkat proses penciptaan dan kelahiran yang dialami oleh seorang perempuan atas kerjasama perempuan dengan laki-laki. Hubungan kemitraan antara perempuan dan laki-laki menghasilkan seorang anak manusia yang merupakan berkah dari yang Maha Kuasa. Puisi kedua berjudul “Petuah Bunda”. Puisi ini berisikan pesan seorang ibu kepada anaknya dalam menjalani kehidupan. Peran perempuan sebagai seorang ibu sangat ditonjolkan dalam puisi ini. Sedangkan puisi ketiga berjudul “Bakti Seorang Istri”. Puisi ini mengangkat perasaan kekaguman, pengabdian dan bakti seorang istri kepada suami. Perempuan diposisikan sebagai seorang istri yang membaktikan dirinya kepada seorang suami.
Penyair perempuan lain yang mengangkat isu perempuan adalah Budy Utamy dalam puisinya yang berjudul “Perempuan yang Terlambat”. Puisi ini mengangkat pandangan seorang perempuan terhadap laki-laki yang berhubungan dengannya. Dalam puisi ini terlihat keluh-kesah seorang perempuan terhadap seorang laki-laki dan terhadap dirinya sendiri sebagai seorang perempuan.
Natalia Lili menulis dua puisi tentang perempuan, yakni “Serat-Serat Rindu Ketika Seorang Ibu Bercerita Kepada Kedua Anaknya”. Puisi ini mengisahkan bagaimana seorang Ibu bercerita kepada anak sebagai ungkapan kasih sayang. Sedangkan dalam puisi yang berjudul “Aku Putri Kelahiran Tepian Sungai Siak” diungkapkan protes seorang perempuan Riau atas tercemarnya sungai Siak sebagai sumber kehidupan bagi orang Riau. Kerusakan sungai dianggap mengancam kehidupan masyarakat di tepian sungai Siak. Sebenarnya puisi ini tidak secara khusus menyuarakan suara perempuan terhadap kerusakan lingkungan. Agaknya, identitas penulis sebagai perempuan mempengaruhinya untuk menggunakan “aku putri.”
Satu lagi penyair perempuan Riau yang menulis puisi tentang perempuan adalah Verrin YS dalam puisinya yang berjudul “Jilbab”. Puisi ini memang berkaitan dengan perempuan sebab kata jilbab sendiri berkaitan dengan tudung kepala yang digunakan perempuan untuk menutupi aurat. Pesan utama dari puisi ini adalah ajakan untuk membersihkan diri tidak hanya sebatas fisikal saja tetapi yang lebih penting adalah pembersihan hati atau secara spiritual yang terdapat dalam diri perempuan.
Berdasarkan gagasan utama tentang perempuan yang ditulis oleh beberapa penyair perempuan di atas tidak ditemukan gagasan yang mengarah kepada perjuangan perempuan membela persamaan hak mereka dengan laki-laki. Tidak ada keluh kesah atau protes terhadap eksistensi mereka sebagai perempuan. Para penyair perempuan Riau tidak merasakan posisinya sebagai perempuan yang didominasi oleh laki-laki. Mereka tampaknya nyaman dengan posisi mereka berdampingan hidup bersama laki-laki. Bahkan mereka cenderung untuk mengangat perempuan sebagai seorang ibu yang menjalankan perannya dalam merawat dan mendidik anak serta sebagai seorang istri yang berbakti kepada suaminya.
Isu emansipasi tampaknya tidak menarik bagi para penyair perempuan Riau. Agaknya, ini disebabkan oleh faktor budaya yang terdapat dalam masyarakat Melayu. Para penyair perempuan Riau tidak terlalu terpengaruh oleh gagasan emansipasi yang datang dari Barat. Identitas sebagai seorang perempuan bagi mereka telah diikat oleh kebudayaan Melayu yang bergerak dalam nilai-nilai Islam. Sehingga tampaknya tidak lazim bagi penyair perempuan Riau untuk menggugat laki-laki melalui puisi mereka. Bagi masyarakat Melayu seorang perempuan itu dicitrakan sebagai Emak atau Ibu yang penuh kasih sayang menjaga tatanan kehidupan ini. Pandangan ini sedikit banyaknya berpengaruh pada pandangan penyair perempuan Riau. Mengidentifikasi diri sebagai penyair perempuan tidak membuat penyair perempuan Riau terjebak dalam hubungan rivalitas antara laki-laki dan perempuan. Isu-isu yang bersifat universal dan humanis jauh lebih penting dari pada menggugat posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.***
Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unilak dan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau. Sudah menulis beberapa buku tentang budaya dan sastra. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, 14 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment