Wednesday, November 02, 2011

[Teraju] Mitos Tanah Melayu

-- Teguh Setiawan

Para sejarawan non-Melayu menggunakan berbagai cara untuk mematahkan mitos ini.

MUNGKIN Anda pernah mendengar istilah ‘Tanah Melayu’. Mereka yang per nah bermukim di Malaysia, menjadi tenaga ker ja atau bukan, pasti pernah mendengar istilah ini. Kereta api yang menghubungkan Kuala Lumpur dengan kota-kota lain di Malaysia bernama Keret Api Tanah Melayu (KTM).

Saat menunaikan ibadah haji bersama rekan-rekan wartawan dari berbagai negara, Republika beberapa kali mendengar istilah Tanah Melayu dalam perdebatan dengan rekan dari Malaysia. Semula tidak ada yang istimewa dari istilah itu.

Kebanyakan rekan dari Indonesia juga menganggap wajar jika Malaysia menyebut negaranya sebagai Tanah Melayu. Tidak berbeda dengan orang Jawa menyebut Tanah Jawa, orang Sunda menyebut wilayah yang didiaminya sebagai Tanah Sunda. Namun setelah membaca A plural Peninsula or Tanah Melayu karya Dr Helen Ting, ada sesuatu yang menarik di balik istilah Tanah Melayu yang digunakan Malaysia. Dr Farish A Noor menggugat istilah itu dalam Malaysia and the Myth of ‘Tanah Melayu’.

Helen Ting memulai penjelasannya dengan mengatakan Tanah Melayu adalah istilah yang digunakan politik UMNO, partai berkuasa di Malaysia saat ini, sebagai pengganti Uni Malaya. Pada tataran simbol, istilah ini mengandung sentimen nasionalisme. Hanya saja, apakah istilah itu memiliki landasan sejarah?

Farish A Noor menulis istilah itu hanya mitos yang ditopang oleh gagasan bahwa jauh sebelum kedatangan bangsabangsa kolonial, Malaysia disebut Tanah Melayu. Namun, tidak satu pun sejarawan pernah menemukan istilah itu di dalam teks-teks kuno.

Hikayat Merong Mahawangsa, yang ditulis abad ke-17 dan 18, tidak mencantumkan istilah itu. Demikian pula dengan Hikayat Patani, Tajus Salatin, Hikayat Shah Mardan, Silsilah Bugis, Hikayat Pasai, Hikayat Siak, dan lainnya.

Istilah Tanah Melayu baru ditemukan di sebuah koin mata uang buatan Eropa. Artinya, Tanah Melayu adalah istilah buatan kolonial. Studi Helen Ting terhadap Hikayat Hang Tuah menyebutkan, penggunaan Tanah Melayu untuk menunjuk pada Ma laya digunakan secara eksklusif. Tanah Melayu tampaknya istilah yang digunakan untuk menunjukkan wilayah kekuasaan Kesultanan Melaka, tempat etnis Melayu tinggal.

Hikayat Hang Tuah juga menyebut Tanah Trengganu, Tanah Brunai, Tanah Melaka, dan Inderapura sebagai Tanah Melayu. Sedangkan, Brunai disebut negeri asing. Ada bukti lain yang menunjukkan pedagang dari Melaka menyebut Deli menjadi Tanah Melayu. Helen Ting mengajak pembacanya untuk melihat jauh ke belakang sebagai upaya mencari dasar klaim politikus Malaysia menggunakan istilah Tanah Melayu. Pada abad ke-14, misalnya, teks Jawa Desawarnana menyebut semenanjung—yang saat ini bernama Malaysia—sebagai kawasan Pahang. Sedangkan, istilah Melayu digunakan untuk menyebut sebuah lokasi di Sumatra, seluruh Pulau Sumatra, atau kerajaan yang ada di Sumatra.

Kartografer (pembuat peta) Barat awal abad ke-15 dan abad ke-16 menyebut kawasan semenanjung dengan nama Golden Khersonese. Tidak diketahui dari mana asal kata ini. Terdapat kemungkinan kata ini diberikan oleh Ptelemeus. Para penulis Portugis abad ke-17 meng gunakan kata ‘Ujontana’ untuk me nyebut kawasan Semenanjung Melayu sampai Junk Srilanka. Disebutkan pula bahwa penduduk asli menyebut bahasa yang mereka gunakan dengan ‘Melayos’. Sampai tahun 1800, peta Inggris, Prancis, dan Belanda menggunakan nama Semenanjung Melaka.

Penyebutan Semenanjung Melayu kali pertama ditemukan dalam The Semenanjung Malaya, sebuah buku peta yang di -susun J Begbie pada 1834. Jadi, gagasan bahwa Semenanjung adalah ‘Melayu’ lahir dari kolonialis Inggris. Ini diakui Sir Richard Winstedt, administrator Inggris. Menurutnya, penggunaan kata Malaya untuk semenanjung adalah temuan Eropa. Ia memperlihatkan buk ti bahwa penggunaan istilah Malaya dalam penulisan bahasa Inggris kali pertama dilakukan Alexander Hamilton pada 1720. Hamilton menyebut Coast of Malaya, dalam rujukannya untuk Pelabuhan Kedah dan Perak.

Kemurnian ras


Istilah Tanah Melayu memiliki kecenderungan kemurnian ras atau setidaknya me ng in dikasikan keaslian etnis. Padahal, isti lah Melayu memiliki aspek hibriditas dan kos mopolitanisme. Sultan Melaka, misalnya, mengaku keturunan Alexander Zulkarnaen.

Hang Tuah adalah kacukan—istilah untuk orang yang lahir dari perkawinan campur. Sejarawan menemukan sejumlah indikasi Hang Tuah adalah keturunan Cina. Sejumlah elite maritim Melayu juga lahir dari rahim non-Melayu. Ketika seorang wartawan terkemuka di Malaysia mendefinisikan orang Melayu adalah mereka yang memiliki ayah kandung asli Melayu, Mahathir Mohammad tiba-tiba menjadi bukan Melayu. Ayah Mahathir diketahui keturunan India.

Dalam catatan perjalanannya, Tomi Pires menulis, setidaknya terdapat 61 ras dan komunitas yang berbeda di Semenanjung Melayu pada abad ke-15, dan 84 bahasa berbeda. Sejarawan Anthony Reid menunjukkan bukti awalnya bahasa Melayu disebut Jawi, yang bisa dipahami sebagai campuran atau persilangan dari bahasa Jawi. Farish A Noor punya cerita menarik. Saat berjalan-jalan di pasar barang antik di Eropa, ia menemukan koin tembaga bertuliskan Tanah Melayu dalam huruf Jawa. Ia membelinya dan melacak tahun pencetakan koin itu.

Noor memastikan koin itu dicetak abad ke-19 sebagai upaya Inggris mengeruk keka yaan alam tanah jajahan dan menggantinya dengan koin bertuliskan mitos Tanah Melayu. Koin ini, menurut Noor, adalah kenyataan menyakitkan kolinisasi Inggris. Kolonialisme Barat merampok semua yang dimiliki orang Asia; budaya, seja rah, sumber daya alam, dan memperkenalkan konsep-konsep kemurnian ras sebagai upa ya memecah belah. Kolonialis Inggris memperkenalkan ekonomi terstruktur dengan kolonialis berada di puncak.

Penjajah tidak benar-benar hengkang dari wilayah yang pernah dijajah karena mereka akan datang lagi untuk menjajah dengan cara yang lain. Penjajah tidak per nah mengubah pikiran masyarakat yang dijajah selagi mereka mencuri sumber daya tanah jajahan. Keadaan ini tidak hanya terjadi di Malaysia, tapi juga di Indonesia.

Reid mencatat, sebutan Semenanjung Melayu dalam bahasa Inggris awalnya digunakan untuk wilayah, sedangkan istilah Malaya memiliki arti lebih luas. Namun, makna istilah Malaya dan Melayu menjadi sempit ketika terjadi kebangkitan nasionalisme di abad ke-20. Malaya dan Melayu menjadi kata sifat yang mengandung semangat etnona sionalis dan mengabaikan fakta semenanjung plural atau kawasan yang dihuni etnis: Siam, Cina, Mon-Khmer, India. Bah kan, Malaysia cenderung mengabai kan Orang Asli atau penduduk semenanjung yang masih memegang agama nenek moyang.

Nasionalisme abad ke-20, menurut Reid, cenderung memaksa bangsa-bangsa mundur ke belakang dan mengklaim kerajaan-kerajaan: Sriwijaya, Ayuthaya, Majapahit, Brunei, dan Melaka, sebagai nenek moyang mereka. Namun, semua itu tak bisa dihindari karena skema menyimpang ini telanjur diajarkan para pen jajah untuk memecah belah dan menguasai.

Migrasi dari Sumatra

Para sejarawan non-Melayu tampaknya merasa perlu memperlihatkan bukti sejarah bahwa Semenanjung Malaya adalah melting pot. Artinya, siapa pun yang tinggal di Semenanjung Malaya tidak bisa mengklaim diri memiliki kemurnian darah dan satu-satunya pemilik sah atas seluruh tanah semenanjung.

Helen Ting mengajukan bukti bahwa sebelum 1750, seluruh kawasan Asia Tenggara telah didiami penduduk. Melaka, misalnya, berpenduduk antara 100 ribu sampai 100 ribu pada saat itu, tapi menurun drastis menjadi hanya 30 ribu ketika diambil alih Portugis.

Antara 1618-1624, Aceh melakukan ekspedisi militer ke semenanjung untuk mencari budak. Mereka membawa paksa 11 ribu penduduk Pahang dan 7.000 pendu duk Kedah ke Aceh. Sejarawan Eropa mem perkirakan sekitar 22 ribu budak dari semenanjung dibawa ke Aceh dan ha nya sekitar 1.500 yang kembali dengan selamat. Sekitar tahun 1700, populasi semenanjung mencapai 250 ribu, setelah terjadi beberapa kali migrasi dari pulau-pulau tetangga, terutama dari Minangkabau dan Bugis. Ada pula dari Cina.

Migrasi orang Minangkabau ke semenanjung terjadi selama beberapa dekade terakhir abad ke-17 menyusul melemahnya hegemoni politik Aceh dan munculnya peluang ekonomi baru. Negeri Sembilan Minangkabau didirikan pada 1785. Sepanjang abad ke-19, gelombang mig rasi Minangkabau mengarah ke timur dan mengisi negara bagian Perak, Selangor, dan Pahang. Mereka tinggal di sepanjang pantai, tepi sungai, dan berniaga di sepanjang aliran sungai.

Pada saat bersamaan, orang-orang Bugis dan Sulawesi Selatan yang melarikan diri dari perang saudara berkepanjang mulai menetap di kawasan tak berpenghuni di semenanjung dan pesisir Sumatra. Pada 1766, seorang pemimpin Bu gis mendeklarasikan kemerdekaan sepihak untuk melepaskan Selangor dari Kerajaan Riau-Johor.

Arus migrasi juga datang dari Cina. Orang-orang Cina direkrut untuk bekerja di pertambangan timah dan perkebunan. Pedagang-pedagang yang beroperasi di junk-junk bertindak sebagai agen pencari kerja. Mereka menjadi penyedia tenaga kerja untuk para pengusaha pribumi, dengan membawa orang-orang daria daratan Cina.

Ketika Inggris membuka Pelabuhan Penang pada 1786, pedagang Cina mulai berdatangan. Namun, mereka beralih ke budi daya nilai, tebu, gambir, dan rempah-rempah.

Di penghujung abad ke-19, populasi Cina di beberapa negara bagian di semenanjung melampaui Melayu. Cina seolah menjadi tuan dan Melayu menjadi masya rakat inferior. Ini disebabkan meningkatnya aktivitas pertambangan timah yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Memasuki abad ke-20, populasi semenanjung mulai stabil. Mereka yang lahir dari rahim wanita migran mulai menggantikan orang tua mereka.

Setelah itu, Inggris memainkan politik rasialnya. Penduduk asli dan mereka yang lahir dari keluarga Melayu, secara de facto menjadi subjek penguasa Melayu. Dalam pelayanan publik, pengua sa Inggris membedakan antara pribumi asing dan pribumi asli. Sebagai konsekuensinya muncul istilah Pribumi Asli, Pribumi Tamil, dan Pribumi Cina, dengan berbagai divisi subetnisnya.


Klaim Keterlaluan

Orang Malaysia telanjur telah menerima istilah Tanah Melayu sebagai mitos. Mereka cenderung akan menolak semua bukti sejarah. Ini terlihat dari komentarkomentar terhadap artikel Helen Ting dan beberapa sejarawan Cina yang cenderung menyerang dan negatif. Namun, ada upaya menarik dari beberapa orang untuk mematahkan klaim mitos ini. Michael Chick, dalam The Great Tanah Melayu Debate, menulis istilah Tanah Melayu adalah buatan Inggris.

Jauh sebelum Inggris datang, Semenanjung disebut Melaka, dan buku Asal Usul Raja-Raja—yang kemudian diganti nama menjadi Sejarah Melayu—menyebut hampir semua nama semenanjung sampai ke India, tapi tidak ada istilah Tanah Melayu. Menurut Chick, orang Arab menyebut semenanjung dengan nama Barr Chin. Barr, masih menurut sang penulis, adalah kata dalam bahasa Persia yang berarti tanah. Barr Kra artinya Tanah Kra, dan lainnya. Sedangkan, Chin adalah sebutan orang Arab untuk Cina.

Jadi, Barr Chin berarti Tanah Cina. Klaim yang aneh dan konyol. Chick melakukan kekeliruan fatal, atau memang disengaja untuk membenarkan klaimnya, dengan Barr Chin. Adalah benar Barr dalam bahasa Persia berarti tanah. Namun dalam bahasa Arab, Barr berarti damai.

Kata dalam bahasa Arab untuk menyebut semenanjung adalah Barr Thin, bukan Barr Chin. Thin dalam bahasa Arab berarti tanah. Jadi, Barr Thin adalah tanah yang damai. Chick tampaknya tidak tahu bahasa Arab berbeda dengan bahasa Persia.

Mitos Tanah Melayu tampaknya membuat penduduk non-Melayu: Cina dan Tamil, melakukan berbagai cara untuk mematahkannya. Anehnya, ketika upaya pematahan itu terus dilakukan, mitos Tanah Melayu semakin sukses menumbuhkan sentimen nasionalisme ras.

Sumber: Republika, Rabu, 02 November 2011

No comments: