-- Chairul Abshar
PADA awalnya, cerita silat adalah sekedar suatu cabang dari ilmu pengetahuan tentang sastra. Cerita silat banyak mengupas kisah-kisah seputar aspek kependekaran yang biasanya berlandaskan keadilan dan persaudaraan.
Satu ciri yang sifatnya umum dari cerita silat adalah menggambarkan kemahiran dan ketrampilan berkelahi tokoh-tokohnya. Di belakang semua pertempuran yang menjadi daya tarik utamanya, terdapat unsur yang lebih penting, yaitu penekanan pada nilai-nilai kepahlawanan, keadilan, kesetiakawanan dan patriotisme.
Kombinasi antara pesona pertempuran yang membungkus nilai-nilai luhur inilah yang menjadi perhatian banyak orang sejak zaman pra kemerdekaan Indonesia hingga era modernisasi sekarang ini.
Cerita silat di Indonesia berakar pada sastra wuxia. Salah satu cabang ilmu ssatra yang lahir di China pada abad ke-19, dan terjemahannya, sejak awal abad ke-20 menjadi bacaan para peranakan China yang kebanyakan sudah tidak mampu berbahasa China tetapi menguasai bahas Melayu.
Pola cerita silat dalam perkembangannya hingga dewasa ini masih terpengaruh sekali oleh sastra lama, seperti kisah Tepi Air (Shuihuzhuan). Cerita seperti itu melibatkan banyak tokoh dan peristiwa dalam alur yang sebenarnya sangat sederhana. Mulai perempat pertama abad ke-20, semua surat kabar pe-ranakan China (Tionghoa) memuyat cerita silat secara bersambung. Bahkan di tahun 1929 terbit bulanan yang secara khusus memuat cerita silat di bawah judul Goedang Tjerita atau Tjerita Silat (1929), yang segera disusul dalam cerita-cerita silat lainnya.
Gaya bercerita silat seperti yang dilakukan oleh banyak surat kabar peranakan China (Tionghoa) rupanya bisa berjalan panjang dan lama. Peminatnya pun banyak, tersebar di berbagai daerah.
Nanti seusai perang dunia ke-2, barulah lahir penulis-penulis baru dengan membawa gaya penulisan baru pula. Merekalah yang kemudian memberi semangat perubahan dunia sastra cerita silat.
Pada era itulah masyarakat pembaca cerita silat diu era perubahan mengenali nama-nama penulis baru, diantaranya adalah Wang Dulu, Jin Yong, Liang Yusheng, dan Gu Long. Keseringan penulis baru itu menampilkan gaya bercerita silat yang benar-benar baru membuat masyarakat pengamat menilai nama-nama penulis cerita silat baru itu sebagai perintis aliran baru.
Nama-nama penulis baru cerita silat itu tidak saja menampilkan karya-karya baru mereka di sejumlah surat kabar peranakan China (Tionghoa) tetapi lebih dari itu, mereka juga menampilkan cerita silat terjemahan dari daratan China.
Dan masyarakat pembaca cerita silat menerima bahkan menyukai kualitas cerita silat terjemahan mereka. Akibatnya, setiap pekan beragam cerita silat terjemahan dari daratan China terbit di sejumlah majalah dan suratkabar peranakan China. Bahkan promosi jual cerita silat terjemahan selalu dilakukan sejak jauh-jauh hari. Dampaknya, masyarakat pecinta ceruita silat asli dari daratan Chna selalu antri untuk membeli terbitan cerita silat itu di media massa.
Masyarakat pecinta cerita silat terjemahan di Indonesia menyukai certa silat terjemahan dari daratan China karena cerita silat terjemahan dari China selalu menghadirkan nafas baru tentang pembentukan karakter bangsa, tentang semangat berbuat adil dan semangat bertindak yang sebenarnya. Apalagi ketika itu Indonesia sedang dalam persiapan menghadapi kemerdekaannya, sehingga banyak penulis cerita silat peranakan di negeri ini meniru beragam gaya patriotisme para pendekar dalam berbuat kebajikan.
Pada era itu pula cerita silat sangat disukai dan memiliki komunitas pembaca yang amat luat tidak saja di kota-kota besar, tetapi meluas hingga di kota kecil. Itu sebabnya cerita silat saat itu dikenal di berbagai lapisan tokoh masyarakat. Buku-buku cerita silat bahkan menjadi ajang pergaulan yang berkelas. Seolah ada kesan, siapaun dia jika tidak tau tentang cerita silat benar-benar akan dianggap sebagai warga yang bodoh dan tidak gaul.
Ketika sentimen anti China di dasawarsa 1960-an meledak, berubahan drastis pun terjadi. Kenyataan itu bahkan dirasakan amat mengganggu kebiasaan membaca cerita silat di kalangan penggemarnya. Bersamaan dengan itu cerita silat terjemahan dari China berangsur-angsur menghilang, dan pada gilirannya beragam penerbitan cerita silat gulung tikar dan tutup. Untung saja para pribumi banyak juga yang tetap mempertahankan kehadiran cerita silat. Mereka kemudian menghasilkan cerita-cerita silat dengan warna kedaerahan. Maka bermuncullanlah cerita cilat khas Bugis, Minahasa, Minangkabau, Sunda, Banten dan banyak lagi. Peminatnya pun masih tetap banyak, meski bila ditinjau dari segi kualitasnya amat jauh berbeda dengan cerita silat terjemahan dari China. Namun demikian tetap ada yang bisa dibangakan, karena cerita silat lokal yang cenderung membanjir itu banyak mengisahkanklan tentang tokoh kependekaran dalam bertindak kebajikan, juga tokoh-tokoh yang selalu menjadi idola masyarakat karena senanjtiasa bertindak benar dan memkbela masyarakat tertindas. Nuansa pembentukan karakter bangsa terlihat jelas.
Di awal abad ke-21, cersita silat dari daratan China marak kembali, hadir dengan corak baru, termasuk berbagai media baru, seperti cerita bergambar (komik), film dan video, bahkan permainan digital (computer games). Di lain pihak, cerita silat Indonesim, tumbuh semakin canggih dan beragam. Cerita sila tanpa terasa, telah menjadi kelengkapan kegiatan sehari-hari kita.
Melalui mailing-list MTjersil yang dimulai sejak tahun 2002, banyak sekali ditemui pengakuan bahwa membaca cerita silat di usia muda, banyak mempengaruhi sikap dan pandangan hidup kemudian. Nilai yang mengemuka adalah persaudaraan dan keadilan. Justru ini yang semakin mendesak dalam kehidupan masa kini, ketika hidup berlangsung dalam tempo yang terus meninggi. Kita didorong memilih tindakan termudah dan tercepat, sedangkan seringkali keputusan itu mengabaikan nilai dasar kehidupan, yaitu keadilan dan persaudaraan. Kinilah waktunya untuk menimbang lebih teliti sastra ini, demi menuju kehidupan berbangsa yang lebih baik.
Berkait dengan itu, hari Sabtu (5 Nopember) ini akan digelar sebuah seminar besar dan penting yang akan membahas cerita silat di Indonesia: Pembentukan Karakter Bangsa. Seminar yang terselenggara berkat kerjasama dengan Masyarakat Tjerita Silat dengan Pusat Kajian Budaya Tionghoa - Universitas Tarumanegara itu akan digelar secara gratis di lantai 8, Gedung M, kampus Universitas Tarumanegara, Jalan Letjen S parman No 1, Grogol, Jakarta Barat. Seminar akan dimulai pukul 09.00 WIB sampai selesai.
Dalam seminar itu akan dihadirkan pembicara kunci Ir Sholahudin Wahid dari Wahid Institute dan Prof Dr Ir Dali Santun Naga, MMSi dari Pusat Kajian Budaya Tionghoa Universitas Tarumanegara. Sedangkan ara pembicaranya antara lain Prof Leo Suryadinata, Prof Claudine Salmon (peneliti dari Ecole Francaise d'Extreme Orient, Perancis), Edward Buckingham kandidat PhD (peneliti cerita sil;a, INSEAD) dan Dr Dede Oetomo (sosiolog dari Universitas Airlangga.
Anda berminat hadiri seminar yang digekar secara gratis itu? Datang saja ke kampus M, Universitas Tarumanegara, hari ini. Seminar tersebut akan dimeriahkan dengan bursa cerita silat dan perbincangan santai dengan para pembicara,penulis dan penerjemah cerita silat serta sesama anggota komunitas Masyarakat Tjerita Silat.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 5 November 2011
No comments:
Post a Comment