Sunday, November 20, 2011

Filosofi Rumah Sunda

-- Beni Setia

RIWAYAT kumpulan sajak Mugya Syahreza Santosa, Hikayat Pemetik Kentang (penerbit Tajug, Bandung 2011) sangat orsinal karena bersikaitan dengan fenomena si penyair itu, petani kentang di Pangalengan, Bandung Selatan. Sehingga, sajak Pemetik Kentang empatik berhubungan dengan harapan seorang petani kentang.

Meskipun situasi ideal bertani itu jauh dari fakta terkini ketika komoditi kentang Indonesia diserbu oleh produk (pertanian) kentang murah dari Jerman, China, dan Birma yang membuat petani kentang Indonesia menjerit kalah bersaing.

Ihwal yang mungkin akan membuat Mugya Syahreza Santosa (MS) menuliskan ketaknyamanan petani kentang lokal di era free trading yang membuat negara seperti tidak hadir. Tapi itu mungkin akan dieksploitasi MS di tahun mendatang, karena yang akan disiperbincangkan saat ini sajak-sajak lama MS.

Sederetan sajak yang berkutat dengan ide (tematik) tentang rumah, hal intim di dapur dan di sekitar pekarangan, dari aneka sajak yang berjudul dan bertema tentang segala kuliner yang biasa disantap MS pada masa kecil di tengah keluarga, dan eksistensi tanaman tumbuh di pekarangan.

Tema orsinal yang mencengangkan, tetapi yang dalam diskusi di acara launching pra-Lomba Baca Puisi Sanggar Sastra Tasik, 11 November 2011, hanya ada dibaca di sekitar keunikannya tanpa mencari apa nada dasar yang ingin diungkapkan MS.

Bagi saya sendiri pijakan seluruh kreativitas dan kepekaan akan hal-hal di seputar dapur serta di sekitar pekarangan dari MS itu terletak pada sajak Petunjuk Dapur (hlm. 45), yang menceritakan hubungan MS dengan seseorang yang rela membuka rumahnya untuk didatangi MS, sekaligus si seseorang dan seluruh keluarga mengsianggap MS sebagai bagian dari mereka sehingga ia diajak ke dapur—tidak hanya di ruang tamu.

Aura kekeluargaan di tengah konsepsi tradisional filosofi rumah Sunda itu yang sebenarnya harus dianalisis dan dijadikan password buat masuk ke keseluruhan sajak MS dalam Hikayat Pemetik Kentang.

***

BAGI orang Sunda, rumah itu sarang, tempat seorang anak merasa nyaman dan tumbuh besar sebelum berani ke luar dan ada di luar rumah—sesekali ia pulang, meski punya rumah sendiri, seperti diisyaratkan tradisi mudik Lebaran. Sekaligus benteng di mana orang luar dan terutama orang asing tidak bisa sembarangan masuk.

Bagi orang Sunda, orang asing selalu diterima di pekarangan, di luar pintu. Tamu dan orang yang dianggap penting selalu diterima di ruang tamu karena dianggap yang dihormati, sedang keluarga selalu diterima di dapur dan bersibincang intim sambil memasak. Jadi posisi MS dalam sajak Petunjuk Dapur—yang berseting kunjungan ke rumah orang lain—sangat istimewa.

Ini ada kaitannya dengan kondisi asusila dan tak etik pada saat ini, di mana tamu (lelaki) selalu diterima di kamar dan mereka bersicengkerama intim di kamar dengan mempersetankan penghuni rumah lain dan warga di sekitar.

Ini melanggar tabu dalam khazanah kesadaran filosofis Sunda, karena seorang suami yang sah secara agama pun tak pernah bisa segera diterima di rumah dan dipersilakan masuk kamar.

Lelaki calon anggota keluarga itu harus melalui prosesi adat, ritual buka pintu dengan segala uba-rampe dan tembang mantranya. Setelah itu, baru berhak masuk kamar. Sesuatu yang relatif mendekati kesepakatan umum di banyak etnik dan budaya suku di mana pun.

Para pelacur di Dolly, Surabaya—kompleks lokalisasi terbesar di Asia Tenggara—di dekade 1950 dan 1960 mempertegas konsepsi itu dengan menawarkan diri lewat simbol kamar dalam parikan yang berbunyi, “Tanjungperak kapale kobong—mangga pinarak kamare” (‘silahkan masuk kamarnya kosong’). Menawarkan kamar, bukan diri—berbeda dengan etalase akuarium saat ini.

Dan apa yang disiartikan sebagai si orang asing yang diterima di rumah wanita itu berakar kuat dalam tradisi Madura, si suami selalu jadi bagian dari keluarga istri itu bertanggung jawab mempertahankan martabat istrinya. Tak heran lelaki Madura siap mati untuk membela kehormatan istrinya.

***

ETOS itu yang dimiliki oleh MS dan tak sadar dijadikannya kekuatan untuk menulis sajak-sajak yang intim tentang si memasak bersama keluarga di dapur, untuk makan masakan tradisional di dapur di tengah keluarga, dan untuk mengindentifikasi semua tanaman yang ada di pekarangan dan dijadikan alat untuk memsiproyeksikan apa-apa yang dirasakan sebagai kehangatan berkeluarga yang bahagia—dan terutama ketika ia merasa diterima di tengah keluarga Sayidah Anis yang juga sama hangatnya.

Saya teringat Martin Aleida, yang berbicara tentang “hidup baik-baik dan mati baik-baik”, dan MS rasanya sedang bersajak dengan aura seperti itu. Hidup istikamah serta berpuisi ihwal yang lurus-lurus saja.

Beni Setia, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 November 2011

1 comment:

ViAndSun Shop said...

filosofi yang bagus bangettt