-- Teguh Setiawan
Masyarakat Melayu cenderung menyempal, bukan menyatu.
DALAM salah satu makalahnya, Maman S Mahayana menulis dunia Melayu adalah wilayah budaya yang dihuni kelompok etnik pengusung budaya Melayu. Wilayah itu tersebar di lima negra Asia Tenggara, Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Di Malaysia, Melayu menyebut diri sebagai bangsa. Di Indonesia, Melayu diartikan dengan sempit, yaitu salah satu etnis. Pengertian lebih sempit lagi adalah etnis yang menggunakan Bahasa Melayu. Hal serupa juga terjadi di Filipina, Singapura, dan Thailand.
Sebagai etnis, Melayu mengidentifikasi diri sesuai wilayah tinggal; Melayu Deli, Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Bugis, dan lainnya. Ketika Republika melakukan perjalanan ke Mindanao, orang Basilan mengidentifikasi diri sebagai Tausug. Di Jolo (baca: holo), penduduk setempat menyebut diri Melayu Jolo. Begitu pula di Maguindanao dan pulau-pulau lain di sekitar Mindanao.
Identifikasi ini menjadi penting untuk menarik garis jelas antara pendu -duk Melayu dan pendatang Katolik da ri Luzon, serta komunitas asli non-Mus lim atau orang Igorot. Melayu, di mana pun, mengidentifikasi diri dengan Islam.
Di Indonesia, pengertian Melayu yang sempit digunakan Belanda untuk menarik garis etnis yang tegas. Bahkan, di Sumatra relatif tidak lagi digunakan dalam penyebutan orang Aceh, Padang, Palembang. Di Sumatra, Melayu seolah hanya mereka yang berada di Jambi, Riau, serta sedikit di Deli (baca Melayu Deli). Di Kalimantan, Melayu terkonsentrasi di Sambas, Pontianak, Mempawah, dan Banjarmasin.
Sejarah memperlihatkan wilayah yang saat ini diidentifikasi sebagai Dunia Melayu pernah dipersatukan oleh Sriwijaya tahun 600-an sampai 1100-an. Namun, dalam peta yang dilansir Wikipedia.org, wilayah Sriwijaya hanya mencakup sepanjang pantai utara Sumatra, Semenanjung Malaya, dan sebagian besar Pulau Jawa.
Lebih seratus tahun setelah Sriwijaya hancur, Majapahit mempersatukan wilayah di luar Pulau Jawa, yang disebut Nusantara, yang meliputi seluruh Sumatra, Jawa (kecuali Jawa Barat), hampir sekujur pantai Kalimantan, sebagian Sulawesi, Ambon, sedikit Papua, dan hampir seluruh Semenanjung Malaya saat ini. Setelah Majapahit runtuh dan Islam masuk ke Asia Tenggara, tidak ada lagi penyatuan tanah-tanah Melayu.
Melayu tidak memiliki kerjaan Islam yang kuat dan memiliki potensi untuk menyatukan. Bahkan, tanah Melayu yang telah menjadi Islam terpecah-pecah ke dalam banyak kesultanan. Kesultanan Melaka, yang merupakan penerus Sriwijaya, hanya menguasai setengah Semenanjung Malaya, Riau, Batam, Bintan, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Setelah diserang Portugis, Melaka terpecah menjadi beberapa kesultanan.
Orang-orang Melayu lainnya mendirikan kesultanan di Kalimantan; Sambas dan Pontianak. Orang Bugis-Melayu merebut Mempawah dari tangan orang Dayak dan menjadikannya Kerajaan Islam.Tidak ada yang tahu berapa jumlah kesultanan yang didirikan orang Melayu di Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Kalimantan. Pengamat sejarah Melayu akan selalu dibuat tertegun oleh adanya bukti sejarah bahwa di daerah tertentu pernah berdiri kerajaan.
Di Belitung, misalnya, pernah berdiri Kerajaan Balok. Ian Sancin, novelis asal Belitung, memaparkan fakta ini sebagai setting novel Yin Galema. Kerajaan Balok tak tercatat dalam buku-buku sejarah. Peninggalan kesultanan itu tidak terlalu banyak sehingga sulit dipelajari.
Di Sumatra Timur terdapat sejumlah kesultanan yang didirikan orang Melayu; Langkat Darul Aman, Deli Darul Maimon, Serdang Darul Arif, dan Asahan. Mereka adalah negara berdaulat, sistem kenegaraan yang mapan dengan masyarakat yang menjadi tuan di tanahnya.
Meski sesama Melayu, tidak ada upa ya kesultanan di Sumatera Timur untuk membentuk perserikatan. Tidak ada tokoh pemersatu. Tidak pula salah satu kesultanan memiliki keunggulan militer sehingga mampu mengobarkan perang penyatuan. Yang terjadi adalah para sultan saling bersaing.
Kesultanan-kesultanan itu, di mana pun di tanah Melayu, muncul sebagai akibat gerakan separatisme. Ketika dipercaya Sultan Aceh menjadi wakil di bekas Kesultanan Haru—yang baru saja ditaklukan—di daerah Sungai Lalang Percut, Muhammad Dalik mendirikan Kesultanan Deli pada 1630. Ia meninggal pada 1653 dan digantikan putranya, Tuanku Panglima Perunggit.
Pada 1669, Perunggit mengumum kan Kesultanan Deli melepaskan diri da ri Kesultanan Aceh. Pada 1720 terjadi pertentangan di dalam istana, yang ke mudian melahirkan Kesultanan Serdang. Hal yang sama juga terjadi pada pembentukan kesultanan-kesultanan Melayu di Semenanjung Malaya dan Kalimantan. Pertentangan di dalam istana dan pembangkanan kerap melahirkan kerajaan-kerajaan baru yang relatif kecil. Begitu seterusnya sampai orang Melayu menjadi punya banyak kesultanan.
Tanah yang kaya
Setelah Traktat London 1824, Belanda leluasa menjalankan politik kolonialnya di Sumatra Timur. Mereka tahu Sumatra Timur adalah tanah subur untuk produk pertanian bernilai ekspor dan mereka berupaya menguasainya. Situasi politik—persaingan antara Kesultanan Deli dan Aceh—dimanfaatkan Belanda dengan baik. Sepanjang kurun waktu 1820 sampai 1860-an, Deli beberapa kali dianeksasi Aceh. Beberapa kali Deli menyatakan melepaskan diri.
Kehadiran Belanda di Sumatra Timur di penghujung 1850-an dimanfaatkan Kesultanan Deli untuk benarbenar lepas dari Aceh. Politik diplomasi Melayu Deli dimulai. Sultan Deli membujuk Belanda agar menyerahkan tanah Deli. Sharif Ismail, Sultan Siak Indrapura, menyerahkan Tanah Deli ke Belanda pada 1858. Belanda mengembalikannya ke Sultan Deli. Tiga tahun kemudian, Kesultanan Deli—sekali lagi dalam kurun waktu 50 tahun—lepas dari pengaruh Aceh. Bahkan, Kesultanan Deli menjadi negara merdeka.
Sebagai negara merdeka, Kesultanan Deli memiliki hak melakukan apa saja terhadap wilayahnya, termasuk menyewakan kepada pekebun Belanda. Jacobus Nienhuys adalah pekebun yang kali pertama datang.
Ia diberi tanah 4.000 bau dengan sewa 20 tahun. Di atas tanah sewa itu, Nienhuys memperkenalkan budi daya tembakau. Sukses Nienhuys menyita perhatian pengusaha mancanegara. Pengusaha Tionghoa dari Penang berdatangan dan mem buka perkebunan, bukan hanya tembakau, tapi juga kopi serta produk eksport lainnya. Kesultanan Deli menjadi kaya dari sewa tanah dan berbagai pajak.
Tjong A Fie kelak menjadi kapten Tionghoa Medan, membangun impe -rium bisnisnya dengan membuka 21 perkebunan. Ia melampaui pencapaian orang-orang Belanda hanya dalam waktu beberapa tahun dan dikenang sebagai pendiri kota Medan.
Perkebunan adalah usaha padat karya. Pemilik kebun membutuhkan banyak tenaga kerja yang tidak mungkin bisa diperoleh dari Kesultanan Deli. Untuk mengatasi semua ini, pekebun mendatangkan tenaga kerja dari luar Sumatra. Nienhuys mendatangkan tenaga kerja Tionghoa dari Singapura, orang-orang India bagian selatan, atau langsung dari Swatow, daratan Cina. Ia juga mengapalkan tenaga kerja dari kota-kota di Jawa; Surabaya, Semarang, dan Bagelan.
Menurut Anthony Reid, pada 1884 terdapat 21 ribu buruh Tionghoa dan 1.771 orang Jawa. Pada 1900, sehu -bung an pembukaan perkebunan karet dan kopi, jumlah buruk membengkak menjadi 58 ribu Tionghoa dan 25 ribu Jawa. Enam belas tahun kemudian, populasi buruh Jawa dan Tionghoa berubah. Jawa mendominasi dengan jumlah 150 ribu, Tionghoa hanya 43 ribu. Pada tahun-tahun berikutnya, buruh dari Jawa terus bertambah dan Tionghoa menyusut. Sedangkan buruh India relatif tidak mengalami pertumbuhan signifikan sejak 1884. Jumlah terbanyak buruh India hanya terjadi pada 1900, yaitu mencapai 2.400 orang. Pada 1929, orang India di perkebunan tinggal seribu orang saja.
Tidak ada yang tahu berapa populasi Melayu di Kesultanan Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan saat itu. Yang pasti, Jawa telah mendominasi secara jumlah dan Tionghoa mendominasi secara ekonomi sejak kedatangan Tjong A Fie dan pembentukan kota Medan. Alih-alih berusaha menjadi tuan di negeri sendiri, Melayu terus terasing. Puncaknya adalah ketika Indonesia merdeka dan Kesultanan Deli tidak punya pilihan selain menjadi bagian Republik Indonesia.
Rivalitas di Kalimantan
Rivalitas antarsultan Melayu juga terjadi di Kalimantan sepanjang abad ke-18 sampai abad akhir abad ke-19. Persaingan dimulai ketika ditemukan cadangan emas. Opu Daeng Manambung, sultan Mempawah saat itu, memutuskan mendatangkan penambang Hakka dari Cina daratan pada 1740. Sultan Mempawah menikmati kekayaan dari pajak konsesi yang dibayarkang kongsi-kongsi pertambangan orang Hakka. Kesultanan Sambas tergiur. Sepuluh tahun kemudian, Sultan Abubakar Kamaluddin ikutan mendatangkan orang-orang Hakka untuk mengelola pertambahan di Saminis, Montrado, dan Lara.
Awalnya tidak terjadi apa-apa. Kesultanan Mempawah dan Sambas menerima bagi hasil pertambangan. Namun, ketika penambang Hakka terus berdatangan dan melebihi populasi penduduk lokal, persoalan terjadi. Kong sikongsi pertambangan yang dibangun menuruh garis asal atau pemujaan saling berperang memperebutkan daerah konsesi.
Perang menghasilkan kongsi terkuat yang membangkang terhadap sultan dengan menolak memberikan hasil pertambangan. Kesultanan Landak relatif tidak menikmati rezeki dari emas dan gagal melihat potensi wilayahnya. Adalah Syarif Abdurrahman al-Qadri, pendatang dari Arab, yang mengetahuinya. Ia mendirikan Pontianak dan mengangkat diri sebagai sultan pertama. Padahal, Pontianak masuk wilayah Kesultanan Landak. Pada saat sama, dua kongsi pertambangan masyarakat Hakka telah berubah menjadi negara dalam negara.
Kongsi Lan Fang diberi otonomi khusus seluas-luasnya. Mereka memiliki sistem pemerintahan sendiri, dengan bendera, pasukan, kepolisian, sistem pemilu, dan sistem peradilan. Kongsi lainnya, Thai Kong, juga menikmati status sama. Tak heran jika seorang peneliti Belanda menyebut Lan Fang da Thai Kong sebagai negara berbentuk republik. Kongsi-kongsi ini berada di tengah persaingan antarsultan. Mereka netral dan—sesuai sifat asli orang Tionghoa— hanya menunggu pemenang persaing -an. Namun, semua ini berubah ketika Belanda datang.
Kesultanan Pontianak meminta bantuan Belanda untuk menganeksasi. Mereka sukses. Tatkala Belanda meminta konsesi yang kelola orang Hakka, Sultan Pontianak tidak bisa berbuat apa-apa. Belanda menyerang kedua kongsi itu dan mengusir orang Hakka. Sampai 1945, Pontianak adalah sekutu Belanda. Sultan Hamid II, penguasa Kesultanan Pontianak sampai 1978, adalah Mayjen KNIL.
Ironisnya, penyatuan tanah-tanah Melayu meski hanya di Semenanjung Malaya, Serawak, dan Sabah dilakukan oleh Inggris, bukan oleh orang Melayu. Itu membuktikan orang Melayu tidak pernah memiliki pemimpin yang melingkupi dan mampu menjadi pemersatu. Sebagian dari mereka melihat sosok itu pada diri Soekarno, tapi sebagian lainnya tidak. Kuasa kolonial tidak menghendaki hal itu. Rivalitas antar-Melayu juga tidak memungkinkan terjadinya penyatuan, meski mungkin hanya bersifat budaya.
Sumber: Republika, Rabu, 02 November 2011
No comments:
Post a Comment