Friday, November 11, 2011

Kembalinya Kebudayaan dalam Pendidikan

-- Hazwan Iskandar Jaya

MEMISAHKAN pendidikan dan kebudayaan hanya akan mencetak manusia tanpa karakter. Anak didik tumbuh dan berkembang intelektualitasnya, tapi tidak merdeka lahir-batinnya!

Pendidikan tak sekadar mengejar ilmu pengetahuan, teknologi, dan intelektual. Sebab itulah pendidikan senantiasa beriringan dengan gerakan kebudayaan untuk mencapai kemuliaan hidup. Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia. Pendidikan tanpa kebudayaan hanya menghasilkan intelektual yang miskin akan nilai-nilai. Sehingga yang lahir bukanlah anak didik yang dapat mandiri dan merdeka, tetapi anak didik yang egois, individualis, pragmatis, dan hedonis.

Menyadari kekeliruan selama ini, bahwa pendidikan diceraikan dengan kebudayaan, dalam reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II Oktober lalu Kementerian Pendidikan Nasional kembali digabung dengan kebudayaan, yang selama ini melekat pada Kementerian Pariwisata.

Manusia Merdeka

Pendidikan nasional di era reformasi tidak menunjukkan kemajuan berarti. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang membelit dunia pendidikan. Ambil contoh tentang ujian nasional yang dipaksakan, kasus kekerasan terhadap anak didik, tawuran antarpelajar dan mahasiswa, seks bebas di kalangan pelajar, degradasi moral, serta merosotnya nilai-nilai kesopanan dan budi luhur.

Selain itu, ada yang hilang dari pendidikan nasional kita hari-hari ini, yaitu kemerdekaan anak didik. Anak didik dipaksa untuk dapat menjadi manusia yang tahu dan bisa dalam segala hal. Sehingga menggerus kodrat dan bakat alam yang dimilikinya. Kurikulum berbasis kompetensi tak memberi banyak ruang bagi anak memilih mana yang sesungguhnya mereka butuhkan dan mana yang tak mereka inginkan. Anak didik tak diberi kemerdekaan untuk memilih mana yang sesungguhnya menjadi tujuan dan cita-citanya.

Padahal, pendidikan bertujuan agar anak didik menjadi manusia merdeka. Merdeka secara fisik, mental, dan rohani. Namun, kemerdekaan ini tetap dibatasi kehidupan bersama untuk mendukung keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab, dan disiplin.

Ki Hajar Dewantara

Selaras dengan itu. Sesungguhnya maksud pendirian Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara pada mulanya adalah agar anak didik mampu membangun budayanya sendiri. Dapat memilih jalan hidupnya sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek nasionalisme keindonesiaan.

Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasar pada hukum alam bahwa segala sesuatu merupakan perwujudan kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan; merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian.

Oleh sebab itu, suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati. Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi manusia merdeka dan independen secara fisik, mental, dan spiritual.

Maka tak mengherankan bahwa metode yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among, yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh sebab itu, ujaran educate the head, the heart, and the hand sangatlah tepat. Itulah sejatinya esensi sebagai manusia yang berbudaya dan berkeadaban. Dan itu menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan.

Pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual, karena akan memisahkan dari orang kebanyakan. Pendidikan senantiasa memperkaya setiap individu, tetapi perbedaan masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan. Pendidikan juga semestinya memperkuat rasa percaya diri dan mengembangkan harga diri.

Kita berharap dengan kembalinya "anak hilang" kebudayaan ke pangkuan pendidikan nasional kita, arah dan jalan lurus pendidikan kita dapat menghasilkan manusia-manusia yang berbudi luhur dan lebih beradab.

Hazwan Iskandar Jaya, Alumnus Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Jumat, 11 November 2011

No comments: