Judul : Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922—2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang
Penulis : David T. Hill
Penerjemah : Warief Djajanto Basorie dan Hanna Rambe
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : 2011
Tebal : xiv + 362 halaman
SEJARAH jurnalisme di Indonesia pernah memiliki tokoh kontroversial: Mochtar Lubis (1922—2004). Pandangan kritis dan kemonceran koran Indonesia Raya menjadikan Mochtar Lubis sebagai lambang kebebasan pers. David T. Hill dalam buku ini menguak sosok Mochtar Lubis dengan latar sosial, politik, ekonomi, dan sastra di Indonesia.
Pilihan menuliskan biografi Mochtar Lubis menandakan ada signifikansi si tokoh dalam arus sejarah Indonesia. Hill mencatat bahwa Mochtar Lubis selama setengah abad adalah pengkritik bersuara keras terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Hidup dalam keluarga berkecukupan dan intelektual. Nasib diri dipertaruhkan saat merantau ke Jakarta dalam usia 17 tahun. Kota itu menjadi ruang sengit untuk menggumuli wacana intelektual, sastra, dan politik. Situasi revolusi di Jakarta memengaruhi pandangan politik dan haluan ideologi. Mochtar Lubis pun mengakui sebagai pengagum etos politik Sutan Sjahrir.
Kunjungan bersama rombongan Sutan Sjahrir ke India (1947) memberi kesadaran tentang gerakan global tentang politik dan moral di negara-negara bekas jajahan. Kepekaan politik ini jadi modal mengisahkan Indonesia secara kritis dan reflektif melalui tajuk rencana dan sastra.
Ambisi itu terpenuhi melalui penerbitan Indonesia Raya (1949) dengan semboyan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Mochtar Lubis berperan sebagai pemimpin redaksi. Agenda besar di Indonesia Raya menandai pengembangan tradisi sekuler modernis dalam praktek media di Indonesia.
Indonesia Raya masa 1950-an getol melawan korupsi dan inefisiensi di birokrasi. Konon, kalangan elite menjuluki koran Indonesia Raya sebagai "nyamuk pengganggu politik". Pelbagai kritik Mochtar Lubis dan investigasi-sensasi di Indonesia Raya mengusik penguasa.
Mochtar Lubis ditangkap dan dipenjarakan (1957). Risiko politik mengakibatkan Indonesia Raya mesti tamat. Misi jihad ala Mochtar Lubis dan Indonesia Raya berbenturan dengan nafsu kekuasaan.
Kerja di dunia pers diimbuhi oleh Mochtar Lubis melalui kerja sastra. Cerpen dan novel telah disuguhkan kepada publik. Sastra menjadi bentuk refleksi atas arus revolusi, korupsi, dan mentalitas manusia Indonesia.
Novel-novel Mochtar Lubis jadi bacaan kritis tentang kesejarahan Indonesia. Pembaca bisa simak olah cerita itu dalam novel Tidak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952), Twilight in Jakarta (1963), Tanah Gersang (1964), Senja di Jakarta (1970), Harimau! Harimau! (1975), Maut dan Cinta (1977). Mochtar Lubis memang manusia mumpuni dan lihai bercerita.
Biografi diri sebagai wartawan dan pengarang bersambung tanpa henti. Ironi di masa Orde Lama mulai berubah saat Soeharto menggerakkan rezim Orde Baru. Indonesia Raya mendapati napas hidup lagi meski pendek.
Mochtar Lubis pun mulai memiliki "kebebasan" mengumbar kritik meski tak sepedas masa lalu. Penerbitan kembali Indonesia Raya di masa Orde Baru tak seheboh tahun 1950-an. Koran ini mungkin salah waktu, tapi masih mengusung misi mengoreksi dan mengkritisi pemerintah dalam urusan korupsi, birokrasi, dan demokrasi.
Kehebohan muncul saat Mochtar Lubis tampil di Jakarta (6 April 1977) dalam sebuah ceramah kebudayaan berjudul Kondisi dan Situasi Manusia Indonesia Kini: Dilihat dari Segi Kebudayaan dan Nilai Manusia. Dokumen itu terbit sebagai buku berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban (1977).
Kritik pedas dan gugatan atas mentalitas manusia Indonesia menimbulkan polemik panjang di pelbagai media massa cetak. Satire ala Mochtar Lubis membuat kuping pejabat panas: "Kita biarkan elite kita ini memperkaya diri mereka dari tahun ke tahun melakukan korupsi, mencuri hak dan milik rakyat. Semakin lama semakin besar." Gerakan melawan korupsi itu terus menggaung sampai hari ini.
Segala pemikiran dan tindakan Mochtar Lubis saat mengkritisi rezim ditanggapi dengan pemenjaraan. Mochtar Lubis merasai lagi ironi negeri pendamba demokrasi, tapi digerogoti oleh korupsi.
Pengabdian di pers dan sastra tak lekas berhenti meski ada pemenjaraan dan pengawasan ketat dari penguasa. Mochtar Lubis terus menggerakkan pers-sastra demi masa depan Indonesia. Perhatian itu adalah manifestasi menebar gagasan progresif dan modernis di kalangan masyarakat. Peran ini menjadikan Mochtar Lubis mendapat julukan "perantara kebudayaan" atau "pialang kebudayaan": menghubungkan Indonesia dengan Barat.
Segala kisah Mochtar Lubis dalam menegakkan kebebasan pers dan pengabdian sastra selama Orde Lama—Orde Baru perlahan surut di usia tua. Kesehatan Mochtar Lubis mengalami kemunduran sejak 1990-an.
Gerakan oposisi melawan Orde Baru masih menempatkan Mochtar Lubis sebagai ikon kritikus politik kendati tak segarang dulu. Kejatuhan Orde Baru (1998) ada dalam kesamaran ingatan Mochtar Lubis.
Penurunan dan kehilangan ingatan karena sakit-tua membuat Mochtar Lubis hidup dalam sedih. Kisah hidup Mochtar Lubis pun rampung 2 Juli 2004. Sosok pembangkang itu mewariskan etos-kritik untuk pengembangan jurnalisme dan kesusastraan di Indonesia. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo dan Penulis Buku Macaisme!
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 November 2011
No comments:
Post a Comment