-- Syaukani Al Karim
SECARA kejiwaan, seorang anak manusia, selalu merasa lebih nyaman dan terlindungi, ketika berada di tengah-tengah komunitas yang dekat dengan dirinya, seperti keluarga sedarah, kawan sekampung, teman bermain, serta hal-hal lain yang mendekatkan secara batiniah. Kondisi dan sikap inilah, yang kemudian membuat orang, sejak dahulu kala, mulai mengurus perkara puak, kaum, suku, ras, atau bani. Lalu bertebaranlah komunitas dengan dasar pengelompokan tersebut, seperti bani Isra-El, Kaum ‘Ad, Ras Arya, dan sebagainya.
Meski dunia bergerak maju secara bergemuruh, persoalan kaum dan bani, persoalan “kami” dan “kalian”, tak pernah selesai diperkatakan, bahkan ada kecenderungan semakin mengental, dengan segala klaim kesombongan yang dilekatkan. Di Amerika Serikat saja, persoalan ini baru “selesai” dalam beberapa dekade terakhir, dan itu pun masih dimainkan dengan sejumlah catatan. Di Isra-El, persoalan kaum dan bani, yang berhubungan langsung dengan agama, bahkan menjadi mata air peperangan dengan kawasan sekitarnya, yang entah bila akan berhenti menyembur.
Dalam risalahnya, Megatrend 2000, Naisbitt dan Patricia Aburdane, menyebutkan bahwa pada abad ke-21, ada kecenderungan yang kuat untuk terjadi pengelompokan gerakan ekonomi maupun politik, melalui kesamaan ras atau suku. Naisbitt menyebut bahwa MEE, AFTA, NAFTA, dan sebagainya, merupakan indikator kebenaran, di samping maraknya semangat pulang ke rumah mimpi kebudayaan masa lalu yang melanda banyak negara (atau munculnya mata uang Euro, seakan membenarkan hal itu). Jika kita lihat pula pertikaian di beberapa tempat, seperti di Afrika dan Timur Tengah dewasa ini, pada akhirnya selalu berujung pada pertarungan gengsi antar puak dan suku. Terakhir, media massa melaporkan, bahwa Jerman mulai memperkarakan ihwal eksistensi ras mereka [Arya] dalam hubungan perkauman di negara itu.
Lalu bagaimana dengan Melayu? Bagaimana dengan Riau? Siapakah Melayu? Hendak ke manakah Melayu? Pertanyaan ini sudah kita dengar berulang-ulang dari berbagai orang awam dan sejumlah kalangan lain. Terakhir, hal ini juga menjadi pertanyaan (mungkin kegelisahan) Kawan Sastrawan Marhalim Zaini, ketika menyampaikan orasi budaya, “Akulah Melayu yang Berlari”, sempena Anugerah Sagang, 28 Oktober yang lalu. Marhalim juga sempat menyebut “kacukan”, sebagai kemungkinan identitas Melayu itu sendiri.
Saya berpendapat, bahwa sebenarnya persoalan identitas dan etnisitas, bagi Melayu di Riau, sudah lama selesai. Naskah-naskah lama, katakanlah seperti Sejarah Melayu, sudah menjawab persoalan itu secara tuntas dan terang-benderang. Ketika orang Melayu melakukan kaji asal keturunannya, yang bermula dari Iskandar Zulkarnain dari Makaduniyah (Alexander the Great dari Macedonia), dari nasab Sulaiman ‘alaihis salam hingga ke Nusyirwan Adil raja masyriq dan maghrib, atau kajian akademis tentang kedatangan sang nenek moyang dari Yunan Selatan, dari Teluk Tongkin dan Selat Hoabin, maka batang tubuh Melayu yang “kacukan” sudah menemukan maqam-nya.
Saya kira, persoalan kacukan ini, bukan hanya soal Melayu, tapi juga puak lain, karena memang tidak ada yang tunggal di bawah matahari. Pun, sebuah komunitas, kaum dan bani, selalu tumbuh dan menjadi, setelah melewati “perbincangan dan perembukan” biologis nan bersilang, setidaknya itulah yang kita baca tentang ihwal keturunan dalam kisah-kisah kitab suci. Soal penyukuan, apakah Melayu, Jawa, Tapanuli, dan seterusnya, adalah soal penamaan pasca kacukan, yang dibuat berdasar atau berangkat dari sejumlah variabel non jasadi, seperti persoalan geografis, bahasa, perilaku, estetika, dan tindakan komunitas. Melayu, dengan demikian tak lagi soal tubuh, tapi lebih mengarah pada variabel dalaman.
Begitu pula hanya dengan identitas jasadi makhluk Riau. Ketika provinsi Riau berdiri pada tahun 1957, juga telah dibuat rumusan tentang siapa putra daerah, yang memuat tiga ukuran, yaitu: yang beribu-bapak Melayu, atau salah satu dari orang tuanya Melayu, atau yang lahir di Riau meski kedua orang tuanya bukan Melayu. Dengan demikian, persoalan batang-tubuh, baik Melayu, maupun Riau, sudah demikian terang, bagai bersuluh matahari.
Berangkat dari batang-tubuh Melayu yang seperti itu, maka upaya memaknai Melayu sebagai “rumah yang terbuka”, tapi bertingkap dan berdaun pintu, seperti yang disarankan oleh kawan Marhalim Zaini, adalah sesuatu yang sudah demikian adanya dalam dunia Melayu zaman berzaman. Melayu tidak pernah gamang dalam soal itu. Keberanian Demang Lebar Daun menyerahkan kuasa kepada Sang Sapurba, keberanian menjadikan Karmawijaya asal Lasem sebagai Mahapatih oleh Raja Melaka, Menjadikan Daeng Kemboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau (perdana menteri), menjadikan nama Tanah Datar, Pesisir, dan Lima Puluh, sebagai nama suku di Siak Sri Inderapura, dan seterusnya, menunjukkan bahwa sedikitpun tak ada kegamangan orang Melayu dalam menjadikan dirinya sebagai rumah yang terbuka. Seorang kawan, secara berseloroh mengatakan bahwa rumah Melayu itu bahkan tak berdinding, hanya berlantai, bertiang dan beratap, dan siapapun bisa masuk dari celah-celah tiang yang berbeda dan terbuka lebar, baik sekedar untuk berteduh, pun berdiam lama.
Keterbukaan orang Melayu ini terbentuk karena sejak lama orang Melayu (kemaharajaan Melayu) telah bersentuhan dengan dunia luar, misalnya ketika Melaka menjadi pusat perdagangan internasional pasca jatuhnya Konstatinopel ke tangan Turki. Begitu pula ketika Riau-Lingga menjadikan pelabuhannya, sebagai pelabuhan bebas. Kondisi itu, dan interaksi yang tumbuh akibat bertemunya sejumlah wajah dalam perdagangan, membuat masyarakat Melayu sejak masa lampau menjelma menjadi makhluk kosmopolitan yang apresiatif.
Selain itu, keterbukaan juga menjadi sifat dasar orang Melayu. Ada sejumlah kajian dan catatan yang menjelaskan tentang keterbukaan Melayu tersebut. Hasan Junus dalam bukunya Karena Emas di Bunga Lautan (Unri Press, 2002), mengutip pandangan Emanuel Godhino de Eredia yang dimuat oleh JV Mills dalam Journal of Malayan Branch of Royal Asiatic Society, terbitan April 1930. Orang Melayu, menurut Eredia, memiliki selera yang baik dalam berpakaian, apresiatif, dan menggembirakan dalam menjalin hubungan persahabatan. Lebih menyukai sesuatu yang estetis daripada saintis. Tentu saja ada pandangan-pandangan yang buruk, tapi dalam konteks keterbukaan itu, bagi Melayu, memang sudah tabiat luhur.
Lalu ke manakah kita hendak menghala atau mengheret kemelayuan ini? Dalam perbincangan-perbincangan kebudayaan di Riau, sejak tahun 1980-an, atau yang sempat saya ikuti mulai pertengahan tahun 1990-an, bahwa semangat kemelayuan tidak lagi bermain dalam ranah penetapan jasadi, tapi lebih mengarah pada tindakan-tindakan kemelayuan itu sendiri. Beberapa kalangan berpendapat, bahwa hal yang esensi dari gerakan kemelayuan, lebih menjurus, pada bagaimana agar orang Melayu dapat bertindak sebagai orang Melayu, dalam hal yang lebih subtantif, bukan sekadar berbaju kurung atau yang serba kulit lainnya. Jika secara spiritual, kemelayuan itu sudah kukuh, maka barulah balutan baju kurung berkain samping itu, terlihat elok dan sanggam.
Tindakan kemelayuan yang subtantif itu, menurut simpulan saya dari tahun-tahun perbincangan kebudayaan yang diikuti, adalah bagaimana setiap orang Melayu memasukkan kembali sikap kemelayuan (sebuah batang yang sempat terendam) ke dalam diri, seperti keberanian, kedermawanan, kebersamaan, kehormatan, toleransi, intelektualitas, dan kesungguhan atau kegigihan, sebagai jalan untuk “merebut” dan menamai kembali tanah dan sejarah, sebagai laluan menuju matlamat pengabdian kepada negeri. Sikap ini, dalam pandangan saya, sama dengan gerakan kebudayaan di Jepang, yang ingin agar masyarakat Jepang pulang ke jalan Bushi (bushi-do) dan hidup dengan semangat samurai atau semangat mengabdi (saburau), tanpa perlu setiap hari berkimono dan menonton kabuki.
Ikhtiar menjadi Melayu semacam inilah yang hendak kita lakukan, selain dari mempertahankan bahasa dan wilayah estetika lainnya. Sepanjang seseorang berikhtiar melakukan hal-hal yang inti atau sari, dari semangat kemelayuan, maka ia atau dia, sudah menjadi Melayu, meski secara jasadi sebenarnya ia belum lama singgah di rumah Melayu. Selamat menjadi Melayu.***
Syaukani Al Karim, sastrawan Riau. Bermastautin di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, 20 November 2011
No comments:
Post a Comment