Judul : Kucing Kiyoko
Penulis : Rama Dira
Penerbit : Tuk Padas Publishing, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2011
Tebal buku : 124 halaman
HIDUP di negara dunia ketiga yang praktek korupsinya demikian banal memang bikin frustrasi. Orang lalu memilih tak menggubris dan sekadar menjadi penyaksi drama busuk para penyelenggara negara, persekongkolan hakim dengan petinggi partai. Sikap tak menggubris bukan berarti menerima, melainkan satu-satunya cara mengamankan diri. Pilihan lain yang paling tidak berisiko adalah mencelatkan imajinasi ke negara dunia pertama yang tertib dan beradab. Dengan harapan di sana dapat menghirup udara segar ketertiban hukum, kepatuhan pada aturan. Namun, bagaimana jika di negeri maju yang diimajinasikan pun orang tak terhindar dari penderitaan dalam bentuknya yang lain?
Jika Anda pengarang, perkara laten ini mungkin dapat diatasi dengan menciptakan kehidupan yang lain sebagai bentuk ekspresi sekaligus melarikan diri. Begitu seterusnya. Dalam kata lain, dunia sastra dalam kerangka seperti ini menjadi perangkat paling lunak untuk berkelit dari dunia nyata yang menyesakkan ditelikung persoalan korupsi yang berakibat pada karut-marut sosial tak berujung pangkal. Namun, inilah yang membuat sastra terus hidup dan diproduksi, tetapi pada saat bersamaan merayakan praktek bunuh diri.
Kumpulan cerpen Kucing Kiyoko besutan pengarang mutakhir Rama Dira bernapas dalam posisi tarik-menarik semacam itu. Cerita-cerita Rama Dira memperlihatkan bagaimana pengarang mencoba mencari rumah baru guna mempertahankan diri di rumah lama yang berantakan tanpa harapan. Kucing Kiyoko cerpen yang secara tepat diambil menjadi judul sampul buku ini, melalui bekal keterampilan berbahasa yang cukup dikuasainya untuk mengungkai kisah, Rama Dira mewujudkan rumah baru dalam dunia pelariannya dengan menciptakan tokoh-tokoh dari negeri yang tak pernah diinjaknya. Seekor kucing yang terluka, seorang dosen, dan pemain alat musik petik shamisen, dan seorang pemuda dari dunia ketiga yang berjuang memperbaiki nasib dengan meneruskan pendidikan sambil menjadi juru masak dari restoran ke restoran di kota metrpolitan Kyoto, Jepang.
Ketiga tokoh ini merepresentasikan keterasingan entitas yang tercerabut dari habitatnya masing-masing. Pemain shamisen tercerabut dari keluarganya, juru masak restoran dari kultur budayanya, dan seekor kucing terusir dari habitatnya. Mereka dipertemukan dalam simpang dunia yang penuh kesendirian. Keterasingan, sebagai konsekuensi dari sebuah pelarian, menjadi simpul cerita. Keterasingan yang sesungguhnya menyiksa terpaksa harus dijalani demi upaya penyelamatan.
Keterasingan, kesepian, dan pelarian yang demikian kuat menghidupi dan menjadi benang merah cerita-cerita di buku ini berakibat mengerikan bagi mereka yang menanggungnya. Pada cerpen Hujanlah yang Membawaku Padamu spirit melarikan diri tampil lebih mengiris lagi. Seorang gadis pelayan kedai mencoba melepaskan diri tekanan kemiskinan dengan memilih menikah dengan pemilik restoran. Dia mengambil keputusan meninggalkan kekasihnya yang hanya seorang pengarang yang tak menjanjikan memberi ruang nyaman dari tekanan kemiskinan. Si pengarang sendiri kemudian dipaksa memilih pergi dari kenyataan ke dunia arwah (hal. 40).
Demikian pula cerpen Rindu di Ujung Petang. Dalam kisah yang mengambil latar perkampungan masyarakat nelayan di Kalimantan ini, keterasingan demikian kuat menghinggapi Hanafi, bocah yatim yang berjuang merebut perhatian ibunya dengan cara yang luar biasa bagi seorang bocah: membakar dongfeng, semacam perahu, milik Hosni Mubaraoq, juragan ikan yang diduga mengguna-gunai ibu si bocah sehingga perhatiannya berpaling kepada juragan ikan (hal. 49).
Pelarian penuh keterasingan terlihat pula pada cerpen Bocah Taman, Di Gerbong Kereta, Bertemu Kembali di Kafe Blues, Senandung Ombak, dan Bocah Gadis yang Suka Bermain-main dengan Angin.
Cerita dengan spirit pelarian sangat rentan terjatuh menjadi kisah-kisah romantik yang cengeng lagi bombastis. Sejenis penyikapan yang menafikkan upaya membangun cerita yang berakar dan mengatasi persoalan yang dihadapi. Rama tampak cukup sadar hal tersebut, bahkan terkesan sangat berhati-hati, sehingga bisa selamat dari jebakan semacam itu.
Hal ini antara lain lantaran Rama menghadirkan cerita-ceritanya lewat strategi literer yang bersahaja. Hampir tanpa liukan yang memungkinkan bahasa memiliki banyak nyawa. Cerita diusung persoalan sederhana dan penyelesaian yang tidak mau rumit dengan pikiran-pikiran sederhana para tokohnya, tapi menggelitik. Terutama tampak pada cerpen Cerutu Terakhir Milik Tjoe Boen Tjiang dan Verkooper Kompas yang berlatar sejarah masa kolonial. Inilah barangkali karakteristik pengarang alumnus Jurusan Hubungan Internasional ini.
Aris Kurniawan, cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 November 2011
No comments:
Post a Comment