-- Fidelis Regi Waton
DIPACU nafsu menemukan bahasa perdana manusia, Kaiser Friedrich II von Hohenstaufen (1194-1250) melakukan eksperimen eksentrik. Dua bayi yang baru lahir diasingkan dari rangsangan bahasa.
Tak seorang pun diperbolehkan berbicara dengan mereka. Percakapan di lingkup mereka dilarang keras. Kaiser berasumsi, didorong kebutuhan komunikatif, keduanya otomatis akan berbicara bahasa asli manusia dari zaman sebelum petaka menara Babel, biarpun tak ada stimulus linguitis. Walau kondisi fisik bugar, mereka akhirnya meninggal akibat kebisuan. Eksperimen gagal total dan dibayar mahal.
Percobaan tragis ini mengajarkan, berbicara bukanlah lampiran pada hakikat manusia di samping kebutuhan bilogis dan sosial. Bagi manusia, berbahasa bukan sekadar media komunikasi (nilai linguistis), tetapi setara makanan, minuman, dan udara (nilai trans-linguistis). Bahasa jadi sumber, ritme, dan napas hidup manusia. Bahasa dan hidup manusia tak bisa diceraikan.
Menurut George Steiner: "Kita sanggup menggunakan kata-kata untuk meneguhkan, berdoa, memberkati, menyembuhan, meracuni, membunuh, membisukan, dan menyiksa. Manusia menciptakan dan menghancurkan dengan perantaraan bahasa." Peran sentral berbahasa menagih tanggung jawab dari kita.
Kata Socrates: "Penggunaan bahasa yang salah bukan melulu kesalahan berbicara, melainkan suatu penajisan nurani." Setiap orang, politikus, penulis, pers, institusi, dan lembaga pendidikan, dituntut menggunakan bahasa secara benar dan tepat. Penggunaan bahasa secara benar berpengaruh terhadap model hidup bersama. Pemimpin negara yang berpidato, misalnya, bukan saja menyampaikan pesan politik, melainkan juga menawarkan kepada para pendengarnya kesaksian hidup dalam aturan publik.
Pernah Konfusius ditanyai: "Apa yang pertama-tama anda lakukan seandainya Anda jadi pemimpin negara?" Jawabnya: "Yang pertama dan menentukan, menamakan segala hal secara tepat. Jika tidak ada ketepatan dalam penamaan, kata-kata jadi meleset. Jika kata-kata tidak lagi tepat, jalannya negara akan jelek. Jika jalannya negara jelek, upacara dan musik juga tidak berkembang. Jika upacara dan musik tidak lagi berkembang, vonis dan hukuman tidak adil, rakyat tidak tahu lagi bagaimana mereka harus hidup."
Di samping kebajikan dan kekuatan, bahasa bisa dimanipulasi lewat penyalahgunaan retorik, ideologisasi bahasa, reduksi dongmatis, pemiskina kosakata, dan primitivisme tata bahasa. Sejarah memperlihatkan realitas pemerkosaan bahasa, amputasi dan manipulasi kekuatan bahasa, serta pemiskinan bahasa oleh sistem politik totaliter seperti Nazi-Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, rezim komunis Uni Soviet, Maoisme, pelbagai kediktatoran militer, dan kaidah agama yang primordial. Statistik menyatakan dunai pers Uni Soviet hanya menggunakan 1.500 kata dari 220.000 kata yang ada dalam kamus bahasa Rusia.
Inflasi kata
Spirit demokrasi tak serta merta berarti tamatnya proses manipulasi bahasa. Setiap orang berpotensi memanipulasi partner bicaranya. Bahasa bisa disakitkan, tetapi juga sanggup disembuhkan. Saya coba menghadirkan simtom klinis dan resep penyembuhannya. Pertama, inflasi kata-kata. Begitu banyak dipergunjingkan. Secara kolosal kata-kata dibombardir dalam pidato, ceramah, konferensi, televisi, radio, internet, dan ponsel.
Orang sanggup berbicara kapan, di mana, dan dengan siapa pun. Virus ini sanggup dihadang melalui akses verbal dan disiplin untuk diam ("diam itu emas"). Di sana kita berpeluang berpikir, merefleksikan, dan menemukan ungkapan baru dan segar sekaligus membangkitkan kesadaran akan makna sejati setiap kata yang dilontarkan.
Kedua, fenomena monolinguisme (penyeragaman bahasa) yang mendepak perbedaan linguistis. Penyakit menara Babel kembali kumat.
Bahasa bukan lagi menyatukan, melainkan memisahkan. Kejamakan tak lagi ditilik sebagai kekayaan, tetapi rumput liar yang harus dibabat. Kisah biblis "keajaiban pentakosta" memperlihatkan, perbedaan dan kejamakan bahasa pada prinsipnya sanggup menghubungkan.
Ketiga, pemahaman keliru terhadap plurilinguisme yang berujung pada pengabaian, minimalisasi penggunaan dan penghinaan bahasa sendiri. Orang cenderung mengekspresikan diri dalam bahasa asing agar dianggap keren. Terhadap gejala ini kita diajak bangga menggunakan, merawat, dan menyiangi bahasa sendiri. Kiat ini bagi bangsa Indonesia jawaban dan tanggung jawab moril terhadap warisan luhur Sumpah Pemuda 1928.
Menurut teolog Origenes, bahasa berasal dari para malaikat. Bahasa jadi jembatan antara duniaku dan dunia orang lain sebagaimana malaikat sebagai pengubung dunia fana dan jagat ilahi Bahasa adalah hakikatluhur suatu bangsa. Ketika kita malu menggunakan bahasa sendiri, aspek keluhuran bangsa diabaikan dan malaikat pelindung bangsa ini menjadi melankolis.
Fidelis Regi Waton, Pamong Rohani KMKI Berlin, Belajar Filsafat di Humboldt Universitaet zu Berlin, Jerman
Sumber: Kompas, Selasa, 8 November 2011
No comments:
Post a Comment