-- Intan Indah Prathiwie
SALAH satu fakta memprihatinkan dalam Indonesia saat ini adalah semakin mahalnya biaya pendidikan. Salah satu penyebabnya, liberalisasi pendidikan berjalan kian menggila sehingga dunia pendidikan Indonesia diperlakukan sebagai lahan komersial. Karena itu, "pengusaha" pendidikan berlomba-lomba mendirikan sekolah berlabel kurikulum percontohan, standar internasional, pendidikan yang mengutamakan kebutuhan individual anak didik, dan sebagainya. Pokoknya, atas nama nilai tinggi dan kustomisasi (pemenuhan kebutuhan unik konsumen), sekolah berani pasang tarif tinggi bagi para calon murid.
Ironisnya, kita alpa bahwa model pendidikan liberal itu tidak cocok dengan masyarakat Indonesia, apalagi jika diadopsi mentah-mentah. Padahal, sejatinya kita dapat menggagas satu model pengajaran jalan tengah berbasiskan Pancasila, sebagai landasan kehidupan berbangsa sekaligus pandangan hidup (weltanschauung) bangsa.
Pancasila, yang lahir 1 Juni 1945, disampaikan dalam pidato Bung Karno di depan Badan Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan, mempunyai lima sila, sebenarnya dapat diperas menjadi satu sila atau dasar saja, yaitu nilai gotong-royong, menurut Bung Karno lebih dinamis daripada prinsip kekeluargaan meski sama-sama menekankan unsur kolektivitas.
Jika dipetakan nilai gotong royong tersebut ke dalam dunia pendidikan, khususnya dalam model pengajaran, Pancasila berarti menolak model pengajaran kompetisi maupun individual. Dalam model kompetisi, siswa belajar dalam suasana persaingan. Guru, diberi imbalan dan ganjaran (reward and punishment) untuk memotivasi siswa memenangi kompetisi. Tujuan evaluasi model ini menempatkan anak didik dalam urutan, atau disebut sistem ranking.
Model ini diadopsi mayoritas institusi pendidikan Indonesia. Kelemahan mendasarnya, model ini hanya menerapkan mono standar (standar seragam) sehingga bisa menimbulkan rasa minder bagi siswa berperingkat biasa-biasa dan lebih rendah lagi. Celakanya lagi, model kompetisi kerap menyulut permusuhan dan mentalitas menghalalkan segala cara, termasuk menyontek untuk meraih skor tinggi.
Di sisi lain, model individual yang banyak diterapkan di Amerika Serikat mengutamakan setiap anak didik belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan masing-masing. Untuk itu, disiapkan modul khusus yang memungkinkan anak belajar sendiri dengan pengawasan minimal dari pengajar. Murid jarang berinteraksi di ruang kelas, yang ditata sedemikian rupa dengan beberapa learning centers supaya murid bisa belajar sesuai minat dan kebiasaan masing-masing.
Tragisnya, model ini mulai menyusupi pendidikan Indonesia. Misalnya, ada satu kursus matematika dan bahasa Inggris terkenal berkurikulum internasional dari Jepang yang menjalankan model pengajaran individual. Kembali, ini menyimpang dari model pengajaran Pancasilais atau gotong royong.
Jalan Tengah
Penolakan Pancasila terhadap kedua model di atas tak pelak membuat model pengajaran Pancasilais idealnya mampu meretas jalan tengah antara keduanya. Caranya, model pengajaran Pancasila memberikan penekanan pada kerja sama. Asumsi dasarnya tentang manusia adalah sebagai homo socius. Merujuk Adam Smith dalam Theory of Moral Sentiments (1759), manusia sebagai makhluk individual yang hidup berdampingan dengan sesamanya (co-existent beings). Di sini, manusia dibebaskan mengejar kepentingan pribadinya, asalkan dia juga memainkan peran dalam menunjang kelangsungan hidup sesamanya. Pendeknya, model pengajaran Pancasila adalah sekaligus model pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
Menurut Anita Lie dalam Cooperative Learning (2002), supaya bisa optimal model pengajaran berbasiskan kerja sama ini harus memiliki lima unsur. Pertama, saling ketergantungan positif. Artinya, guru harus memberikan proyek sekolah atau tugas sedemikian rupa sehingga para siswa dalam satu kelompok tugas harus bahu-membahu menyelesaikannya. Individu yang satu tidak akan optimal tanpa yang lain.
Kedua, tanggung jawab perseorangan. Tidak boleh ada free rider alias anggota kelompok yang berleha-leha tidak bekerja. Karena orang yang demikian akan mengalangi penuntasan tugas yang diberikan. Dengan demikian, aspek penilaian terhadap individu tetap berjalan, persis seperti kelebihan di dalam model pengajaran individual.
Ketiga, tatap muka. Guru mesti memberikan tugas yang mewajibkan semua anggota kelompok bertatap muka dan berdiskusi. Jadinya, meskipun masing-masing individu punya tugas sesuai kemampuan masing-masing (aspek individual), mereka tetap harus membahas bersama bagaimana menyelesaikan proyek itu secara sempurna (aspek sosial).
Keempat, komunikasi antar anggota. Ini, terkait dengan unsur ketiga berupa diskusi. Siswa atau anggota kelompok seyogianya dilatih terlebih dahulu untuk bersikap asertif dalam menyampaikan pendapatnya secara bernas dan efektif. Juga, untuk memiliki kemampuan mendengarkan secara baik. Tanpa kemampuan komunikasi yang baik, proses tugas kelompok dapat menyulut permusuhan sebagaimana risiko yang terjadi dalam model pengajaran kompetisi.
Kelima, evaluasi proses kelompok. Guru atau pengajar dalam model ini mesti melakukan evaluasi terhadap proses kinerja kelompok secara keseluruhan demi menimbang apakah proses belajar telah berjalan secara optimal.
Akhir kata, terbukti Pancasila sebagai world view mampu menjadi landasan sahih bagi pengembangan disiplin ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pendidikan, sumbangsih nyata Pancasila adalah merumuskan satu model pengajaran yang sesuai dengan alam pikir dan corak budaya khas masyarakat Indonesia. Yaitu, konsep cooperative learning yang memberikan penekanan selaras antara aspek kolektivitas (keseragaman) dan aspek individualitas (keunikan).
Sudah saatnya Indonesia kembali menengok model pengajaran Pancasila demi mengukuhkan kembali identitas bangsa serta menghindarkan diri dari bahaya perbudakan harta, pembebekan budaya dan penghambaan terhadap intervensi asing dalam bentuknya yang beraneka rupa. Semoga terwujud!
Intan Indah Prathiwie, pemerhati pendidikan, mahasiswi pascasarjana UNJ.
Sumber: Suara Karya, Selasa, 1 November 2011
No comments:
Post a Comment