Sunday, October 22, 2006

UKMBS Unila Gandeng Anshori Djausal

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Unit Kegiatan Mahasiswa Budaya dan Seni (UKMBS) Universitas Lampung, hari ini (15-10), menggandeng Anshori Djausal untuk tampil dalam Bilik Jumpa Sastra di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila.

Bilik jumpa sastra ini merupakan forum silaturahmi sastrawan Lampung, sebagai tempat bertukar pengalaman dalam proses penciptaan karya tentang pergulatan hidup. Pengalaman yang berbeda itulah menjadi bahan belajar untuk memperluas keanekaragaman wawasan dalam bersastra, sehingga karya masing-masing pun menjadi makin bernilai.

Sebelumnya, beberapa penyair Lampung, seperti Udo Z. Karzi, Budi Hutasuhut, Isbedy Stiawan Z.S., dan sebagainya telah tampil. Kini, giliran Anshori Djausal, intelektual akademis yang punya perhatian besar di bidang seni. Menurut Ketua UKMBS Aan, Anshori layak tampil, karena selain sebagai pembina UKMBS Unila, beberapa puisinya juga sudah terpublikasi.

Pembantu Rektor IV Unila itu telah memublikasikan karya ilmiah, populer, dan tulisannya ke berbagai media lokal, nasional dan internasional. Tulisan "Nine Years of Ferrocement" dalam Journal of Ferrocement Vol. 18 No. 2, April 1988.

Karya-karyanya, terpublikasi dalam Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (Teknokra, 1995), Perjalanan Setitik Air (Bumilada, 1999), Jung (Dewan Kesenian Lampung, 1995), dan Menembus Arus (Bumilada, 1998).

Dia pernah menjadi ketua Badan Seni Mahasiswa Indonesia DPD Lampung (1996--2000), ketua Penggemar Fotografi Lampung (1995-1997), ketua Umum Persatuan Layang-Layang Indonesia, dan ketua Panitia International Krakatau Kite Festival (1993--1997). n DWI/K-2

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Oktober 2006

Friday, October 20, 2006

Relevansi Kearifan Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Nilai-nilai lokal memainkan peranan orientasi awal bagi tindakan-tindakan etis dalam hampir semua masyarakat kita. Di Lampung, piil pesenggiri merupakan nilai lokal yang berperan penting dalam perilaku keseharian masyarakat adat.

"Mentalitas budaya masyarakat Lampung sangat kental akan nilai-nilai dalam filsafat piil pesenggiri," kata Rizani Puspawidjaja seusai peluncuran bukunya, Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (diterbitkan Universitas Lampung, 2006), di Hotel Indra Puri, Bandar Lampung, Kamis (19-10).

Dalam acara yang digelar Lampung Post bekerja sama Cerdas itu, hadir Wakil Gubernur Syamsurya Riacudu, kalangan akademisi dari Unila, UBL, IAIN Radin Intan, dan sejumlah aktivis LSM.

Rizani Puspawijaya mengatakan sebagai tatanan moral masyarakat adat Lampung, piil pesenggiri tidak muncul seketika. Ada proses panjang, sehingga menjadi etos bagi perilaku masyarakat yang merangkup di dalamnya unsur-unsur seperti juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan. "Susunan seperti ini sebaiknya jangan diubah," kata dia.

Menurut Rizani, budaya sekelompok masyarakat yang ada di Nusantara memiliki kemiripan dengan budaya masyarakat lain. Kemiripan itu bukan alasan menyebut tidak ada kekhasan dalam budaya suatu masyarakat, sehingga tidak perlu dijaga kelestariannya. "Perbedaan dalam tiap budaya itu selalu ada, perbedaan itulah yang khas untuk masyarakat bersangkutan. Perbedaan sering terjadi pada tingkat ekspresi budaya bersangkutan, meskipun tujuan akhirnya bisa saja sama," kata dia.

Kekhasan budaya itu harus mencerminkan perilaku masyarakat penganut budaya bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari. Penghargaan terhadap kesopanan dalam masyarakat adat Lampung yang tercermin dalam unsur juluk adek adalah gelar adat. Masyarakat budaya lain juga memiliki nilai seperti itu. "Bukan berarti tidak ada nilai budaya yang khas Lampung jika nilai itu mirip dengan nilai yang ada pada budaya lain," katanya.

Munculnya keraguan atas nilai budaya Lampung, bagi Rizani, terjadi akibat banyak masyarakat adat Lampung yang kurang memahami makna piil pesenggiri. Sering pemahaman masyarakat tidak menyeluruh, tapi sudah merasa sangat mengetahui budaya. "Sering orang membicarakan budaya Lampung dari sisi negatif, padahal tidak ada budaya yang menimbulkan ekses negatif bagi masyarakat penganutnya," kata dia.

Bagi Rizani, kualitas pemahaman piil pesenggiri akan tercermin dalam perilaku keseharian. "Mereka yang berbudaya Lampung akan menyadari nilai-nilai budaya itu tidak dilihat dari masalah fisik, tetapi terkait soal mentalitas dan perilaku keseharian dalam bermasyarakat," kata dia.

Pada dasarnya, kata Rizani, piil pesenggiri merupakan kebutuhan hidup yang bersifat mendasar bagi seluruh masyarakat Lampung. Sebagai kebutuhan hidup, piil pesenggiri menjadi tuntutan bagi masyarakat agar dapat bertahan (survive). "Sangat disyukuri jika budaya Lampung menjadi representasi identitas nasional. Setiap kebudayaan di Nusantara memiliki potensi menjadi representasi identitas nasional," katanya. n ANI/HUT/U-1

Sumber: Lampung Post, Jumat, 20 Oktober 2006

Rizani, Penjaga 'Piil Pesenggiri'

PADA 1988, saat digelar Dialog Kebudayaan Daerah Lampung, Rizani Puspawijaya dan almarhum Hilman Hadikusuma berusaha mereaktualisasikan konsep piil pesenggiri sebagai kearifan budaya Lampung. Ketika itu, para intelektual Lampung masih sulit menerimanya dengan berbagai argumentasi penolakan.

Namun, konsep yang digali dari nilai-nilai lokal masyarakat adat Lampung ini mulai mendapat perhatian pemerintah daerah sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Pada 1996, Kanwil Depdikbud Provinsi Lampung kemudian menerbitkan sebuah buku panduan mengenai piil pesenggiri sebagai filsafat hidup masyarakat adat Lampung.

"Saya yang pertama sekali memperkenalkan konsep filsafat piil pesenggiri dalam skripsi gelar sarjana. Bersama almarhum Prof. Hilman Hadikusuma, konsep itu terus dipelajari dan dikaji sehingga bisa dirumuskan unsur-unsur pembentuk piil pesenggiri yang terdiri dari juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan, dan titie gemanttei," kata Rizani Puspawidjaja, penulis buku Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran.

Buku ini berisi kumpulan tulisan Rizani mengenai hukum adat dan filsafat piil pesenggiri ini, baik yang ditulis untuk kepentingan diskusi maupun perkuliahan. Lektor Kepala Madya/Pembina Utama Muda Fakultas Hukum Universitas Lampung ini, merencanakan akan menerbitkan lima buku lagi yang juga berisi karya-karya selama ini. "Sebelum pensiun, buku-buku iotu sudah harus terbit. Saya bahkan sedang menggarap dua buku lain," kata pria kelahiran Terbanggibesar, Lampung Tengah, 64 tahun silam.

Salah satu buku yang akan terbit berisikan hukum adat Lampung tentang keluarga. Dalam buku antara lain akan membahas perkawinan, dan warisan. "Saya juga akan menerbitkan buku berkaitan mata kuliah yang Sosiologi Hukum yang saya ajarkan di Unila," kata alumnus pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada 1968 dan akan pensiun pada November 2007.

Buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran merupakan karya kedua Rizani. Ketua I Bidang Pemberdayaan Masyarakat Koordinator Kampung Tua tersebut optimistis dapat menyelesaikan enam buku sebelum pensiun. "Saya menerbitkan buku itu untuk masyarakat yang mau membaca. Saya ingin masyarakat Lampung memahami budaya mereka sendiri. Sebab, hukum adat Lampung sangat potensial dijadikan salah satu alat penyelesaian konflik," kata dia.

Di mata Wahyu Sasongko, buku Rizani berhasil menawarkan ide untuk menggunakan hukum adat guna menyelesaikan masalah di Lampung. "Yang terpenting pemerintah daerah dapat mengidentifikasikan hukum adat Lampung lebih dulu," kata dia.

Sebab, bagi Wahyu, teori yang terdapat dalam buku Rizani harus dibuktikan lebih dulu oleh pengambil keputusan. n ANI/LO-01

Sumber: Lampung Post, Jumat, 20 Oktober 2006

Sunday, October 15, 2006

Buku: Mutiara Khidupan Kaum 'Ikan dalam Akuarium'

-- Ridwan Munawwar*




The Regala 204 B, (Antologi Cerpen). Nera Andiyanti dkk. Kudus: Gapuradja, Agustus 2006. 116 halaman.


SELAMA ini keberadaan kaum marginal yang juga dikenal dengan sebutan kaum grassroot, rakyat jelata atau wong cilik, selalu menempati posisi subordinat yang tersisih dalam berbagai sepak-terjang aktivitas kolosal kebudayaan. Apalagi agenda-agenda struktural yang sifatnya resmi, formal dan "elite". Padahal sesungguhnya, disadari atau tidak, berbagai potensi dan kontribusi kebudayaan bersumber dari mereka.

Tak hanya itu, posisi serba sulit itu disisipi dengan citra atau image-image negatif yang dicapkan pada identitas diri kaum marginal. Ironisnya, cap negatif itu sering ngawur, parsial, satu sisi, dalam artian ia kabur kadar keobjektifannya atau bahkan nihil sama sekali.

Dalam acara launching-nya yang cukup syahdu, tapi meriah di Kota Semarang, Kamis, 7 September lalu, buku antologi cerpen The Regala 204 B hadir menghangatkan kesusasteraan Indonesia dengan spirit sastra yang berorientasi sosial-kerakyatan.

Pengarang-pengarang yang karyanya terhimpun di sini rata-rata berusia muda, yang darahnya masih panas dengan sejuta idealisme dalam benak mereka. Ini barangkali berangkat dari prinsip sastra sebagai representasi sosial. Sebab itu, ia pun mengemban tanggung jawab sosial.

Sebab itu, salah satu misi dari diluncurkannya buku ini untuk menepis stigma negatif yang selalu "ditahbiskan" pada kaum marginal, dan berusaha menyajikan sisi lain dari kehidupan mereka. Banyak hikmah yang bisa diambil dari kehidupan rakyat jelata; kegigihan dalam kerja keras, ketabahan dalam melakoni hidup yang keras, kesabaran, dan masih banyak lagi.

Dalam kata pengantaranya, seorang budayawan kawakan Indonesia, Dr. Arief Budiman yang pada dekade 80-an dulu sempat menjadi sorotan publik atas idenya mengenai "sastra kontekstual", menyatakan kehadiran antologi ini mengingatkan beliau pada semangat penyair legendaris 60-an Wiji Thukul yang sarat dengan nuansa-nuansa estetika sosial dalam karyanya.

Bagi Arief Budiman--dan kebanyakan sastrawan yang menganut estetika sosial-keindahan atau estetika tidaklah harus melangit-langit, asketik, dengan seguidang metafora bahasa yang "gelap", pelik, dan diskursif, tapi juga menampilkan kesahajaan dalam berbahasa, meski tidak mereduksi dan memperdangkal makna yang akan disampaikan. Peduli sosial merupakan keindahan yang paling hakiki; menyuarakan hak-hak kaum marginal, juga sudah merupakan keindahan (hlm.9).

Yang unik dari antologi cerpen ini adalah terdapatnya kesamaan istilah beberapa pengarang dalam memetaforakan kaum marginal, yakni "ikan dalam akuarium". Namun, kemudian wordview setiap mereka, yang tersirat dalam narasi cerita mencerminkan perbedaan perspektif para pengarang sendiri tergadap metafora "ikan dalam akuarium" itu.

Dalam cerpen berjudul "Air Dingin" karya Ragdi F. Daye, misalnya dikisahkan kaum marginal sebagai ikan yang kesepian di tengah ramainya arus derap zaman. Wilayah kaum marginal dibatasi, dianaktirikan, persis seperti ikan dipenjarakan dalam akuarium.

Meskipun demikian, dalam kesepian psikologis yang mencekam, Alek (tokoh dalam cerpen itu) tetap gigih memeras keringat darah mengumpulkan sampah tiap hari agar dia dan adiknya bisa menabung sedikit demi sedikit untuk masuk sekolah.

Lain lagi dalam cerpen karya Nursalam AR yang berjudul "Catatan Harian Seorang Gembel Cilik". Posisi kaum marginal sebagai "ikan dalam akuarium" lebih menyudut menjadi kritikan tersirat untuk para pejabat dan elite politik, bahkan mungkin autokritik bagi para akivis sosial sendiri, saat keberadaan serta status kaum marginal sering menjadi hiasan, aksesori untuk mempergagah jargon dan slogan perjuangan agar terasa lebih "heroik", humanis, tapi dengan bukti nol sama sekali.

Yang jelas, metafora ini dan juga metafora-metafora yang lain disini sangat multi-interpretable, dan dari sinilah saya kira pembaca diajak untuk "bermain-main" dengan penafsiran; bebas membuka cakrawala seluas-luasnya untuk kreasi penafsiran dan cara pandang baru.

Dari sekitar dua belas cerpen dalam antologi ini, yang paling representatif dalam mengangkat persoalan disparitas gender barangkali adalah cerpen "Dapur" karya cerpenis muda asal Bangka, Sunlie Thomas Alexander. Dapur merupakan sebuah ruang yang katakanlah nyaris menjadi sentra utama dari eksistensi kaum Hawa.

Secara dramatis dan narasi tutur yang khas dan lancar, Sunlie menggambarkan perjuangan kaum ibu di dapur, dan pada endingnya pembaca diajak paham bahwa peradaban "lelaki", tradisi partriakal, tidak akan bisa hidup tanpa kontribusi besar kaum Hawa ini. Sebab itu, ini mengundang kita untuk sadar bahwa tradisi dan kebudayaan yang timpang, yang masih beredar di sekeliling kita perlu mendapat pelurusan yang terus-menerus entah dalam bentuk emansipasi, dedomestifikasi perempuan, dan lain sebagainya.

Namun, kekurangan buku ini saya kira, masih banyaknya penggambaran karakter tokoh yang terasa masih mentah dan dangkal. Dalam cerpen "Catatan Harian Gembel Cilik", misalkan watak tokoh yang tergambar dalam monolog, narasi atapun dialognya terasa terlalu dewasa untuk tokoh anak kelas empat SD.

Padahal sejatinya, karakteriasasi tokoh yang tepat dan logis merupakan salah satu kunci kesuksesas dari nilai estetika karya sastra. Kita bisa lihat, misalkan, kematangan Ayu Utami dalam melukiskan kepekatan dan kekelaman jiwa seorang yang berlatar belakang konflik psikologis amat rumit semacam tokoh-tokoh Shakuntala, Anson, dan Larung dalam novelnya yang berjudul sama; Larung.

Atau Budi Darma dalam novel Orang-Orang Bloomington-nya, dengan kepekaan tinggi ia sanggup memetakan secara jelas perbedaan suasana psikologis seorang berkebangsaan Indonesia dengan seorang non-Indonesia ketika bertemu dalam suatu momen yang sama. Kematangan dalam menggambarkan karakter manusia, disamping memerlukan latihan yang intensif, wawasan psikologi yang memadai, juga memerlukan riset dan pengalaman langsung para pengarang.

Namun, terlepas dari problema metodologis itu semua, antologi cerpen ini membawa signifikansi khususnya bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Kesusasteraan Rusia, misalnya dikenal memiliki khazanah sastra sosial yang justru menjadi salah satu fondasi yang memperkokoh eksistensi kesusasteraan Rusia di mata Dunia; Tolstoy, Maxim Gorki, Dothyovesky, dll.

Sebab itu, buku ini sangatlah layak diapresiasi siapa pun yang berhasrat meneguk setetes mutiara ilmu dari wilayah kehidupan paling keras, paling kelam. Sebab, dalam akuarium keruh masih tersisa sebuah kebeningan di sisi lainnya. n


* Ridwan Munawwar, bergiat di Rumahbaca Poeitika dan aktivis Abu Darda' Institute (ADI) Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Oktober 2006

Saturday, October 14, 2006

Buku: Revitalisasi Hukum Adat, Mungkinkah?


Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran. Penulis: H. Rizani Puspawidjaja, S.H. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2006. 175 halaman


MESKIPUN Indonesia telah merdeka, masih terasa belum sungguh-sungguh merdeka. Setidaknya, dalam bidang hukum. Betapa tidak, sebagai negara merdeka, Indonesia seharusnya memiliki sistem dan tata hukum nasional yang berwatak kebangsaan.

Namun ternyata, hukum adat hanya sebagai pelengkap saja. Ketika kita mengakui bangsa Indonesia bersifat majemuk (pluralistis) dengan beragam suku-suku bangsa. Konsekuensinya, hukum adat tidak hanya diakui, tetapi harus dilaksanakan.


Padahal, substansi hukum adat telah diakui sarat dengan kebijakan lokal (local wisdom) tentang pengorganisasian masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat adat merupakan cerminan pola hidup yang mementingkan kebersamaan (togetherness), seperti tolong-menolong dan gotong royong, dan senantiasa menjaga keseimbangan kepentingan-kepentingan (the balance of interests).

Konservasi sumber daya alam dalam pengelolaan lingkungan hidup, sudah diatur hukum adat, contohnya tentang sistem tebang pilih dalam kehutanan ternyata diatur dalam hukum adat. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Rendra menyatakan hukum adat terbukti dapat melindungi lingkungan hidup dari kerusakan dan memperkuat kohesi sosial.


Menurut dia, "Sampai sekarang, yang tetap peduli menjaga alam adalah masyarakat yang hukum adatnya masih kuat," (Kompas, 9 Oktober 2006). Rupanya, pemberdayaan dan penguatan masyarakat adat untuk menjaga lingkungan hidup harus segera dilakukan karena pemerintah ternyata tidak mampu menanggulangi asap akibat kebakaran dan pembakaran lahan.

Keinginan dan tuntutan agar hukum adat dilaksanakan secara efektif sudah menjadi isu lama, tapi tak kunjung direalisasi. Khususnya tuntutan para peneliti dan akademisi yang bergelut di bidang hukum adat, seperti pemikiran H. Rizani Puspawidjaja yang dituangkan dalam bukunya Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (2006).

Menurut dia, hukum adat memiliki potensi dan prospek yang bagus untuk pembangunan hukum nasional (hlm. 127) dan pembaruan hukum pidana (hlm. 141). Walaupun ia mengakui ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar hukum adat dapat diefektifkan.

Semangat agar hukum adat digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tampak dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), "Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi."

Rumusan pasal tersebut terkesan ada kegamangan mengakui eksistensi hukum adat karena dalam pelaksanaan hukum adat masih digantungkan pada persyaratan tertentu dan cenderung multi penafsiran. Tidak heran jika dalam implementasinya menjadi kabur atau tidak jelas. Rumusan serupa dijumpai kembali dalam Pasal 5 UUPA.

Persoalan hukum semacam itu umum dijumpai di negara yang majemuk, cenderung memiliki pluralisme hukum, sebagaimana dikatakan Lloyd's (2001), "In heterogeneous and pluralistic societies there will invariably be more than one living law." Sistem hukum nasional Indonesia setidaknya dipengaruhi tiga sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum Eropa Barat. Ketiganya saling berinteraksi.

Berkenaan dengan pelaksanaan hukum adat, seolah-olah terjadi proses tarik-menarik atau kompetisi antara hukum yang berasal dari negara dan masyarakat adat.

Menyikapi hal itu, pemikiran H. Rizani Puspawidjaja terkesan kompromis dan realistis (hlm. 98). Sementara itu, pada bagian lain dikemukakan bahwa kasus-kasus pertanahan di Lampung menunjukkan (a) kesewenang-wenangan aparatur pemerintah dalam penerapan prinsip-prinsip hukum tanah yang berlaku; (b) kesalahan penafsiran tentang definisi tanah negara oleh pihak pemerintah; dan (c) pemberian ganti rugi yang ditekan serta tidak transparan (hlm. 34).

Dengan demikian, sesungguhnya sistem hukum Indonesia masuk kategori pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) yang oleh Griffith (1986) diartikan sebagai bentuk lain dari sentralisme hukum, karena hukum adat inferior sedangkan hukum negara superior. Sementara itu, Sally Falk Moore dalam bukunya Law as Process An Anthropological Approach (1978) menghendaki pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism) melalui pengaturan hukum yang otonom dalam the semi-autonomous social field, termasuk masyarakat adat.

Dalam hal ini, pemikiran H. Rizani Puspawidjaja dapat dikatakan bersifat eklektif yang menginginkan adanya interaksi yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualistis antara hukum adat dan hukum negara. Untuk itu, lembaga adat harus ditata ulang disesuaikan dengan kondisi modern, tetapi tidak meninggalkan sistem dan struktur baku yang menjadi ciri khasnya (hlm. 124).

Buku karya H. Rizani Puspawidjaja berjudul Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran memuat kumpulan tulisan dalam berbagai kegiatan dan pertemuan ilmiah. Ada keunggulan dan kelemahan dari teknik penulisan seperti itu, di antaranya yaitu pada satu pihak dapat mengikuti isu-isu yang berkembang, tetapi di lain pihak kelemahannya adalah pembahasannya tidak runtut.



Ada tiga topik besar yang dibahas dalam buku tersebut, yaitu tentang (1) adat dan masyarakat adat mencakup sistem, struktur, tatanan moral, dan tatanan hukum adat; (2) hukum tanah adat; dan (3) eksistensi dan pelaksanaan hukum adat. Buku tersebut diuraikan secara induktif dengan membahas hukum adat Lampung agar dapat diperoleh pemahaman hukum adat pada umumnya. Selain itu juga menggunakan pendekatan inter-disipliner, yaitu menggunakan konsep-konsep sosiologi hukum dalam memahami hukum adat.

Buku karya H. Rizani Puspawidjaja tersebut patut kita berikan apresiasi karena melalui karya tersebut hukum adat menjadi objek kajian atau studi yang penting dan perlu dilakukan dalam rangka mencari solusi komprehensif atas permasalahan hukum dan sosial yang terjadi pada masa sekarang dan mendatang. Hukum adat termasuk bidang kajian yang kering dan langka.

Apalagi setelah meninggalnya Profesor Hilman Hadikusuma, Unila tidak memiliki lagi figur sekaligus tokoh hukum adat yang diakui secara nasional. Semoga dengan terbitnya buku karya H. Rizani Puspawidjaja tersebut dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum adat di Lampung khususnya dan di Indonesia umumnya.

Wahyu Sasongko
, Dosen Fakultas Hukum Unila

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Oktober 2006

Friday, October 13, 2006

Orhan Pamuk Meraih Penghargaan Nobel Sastra

-- Aa Sudirman*




"CUKUP. Saya tidak suka kuliah arsitektur. Menghabiskan waktu saja. Saya mau jadi penulis." Mungkin kalimat itu yang diucapkan Orhan Pamuk saat memutuskan untuk berhenti kuliah di Universitas Teknik Istanbul, Turki. Belakangan ia kuliah lagi di Institut Jurnalistik, Universitas Istanbul. Tapi ia tidak pernah sungguh-sungguh menjadi jurnalis.

Orhan kecil lebih suka membaca karya Virginia Wolf dan menulis di rumahnya. Keberaniannya untuk memutuskan berhenti kuliah arsitek itu mungkin salah satu pendorongnya untuk menjadi penulis. Tentu saja bakat menulisnya adalah faktor utama yang mengantarnya pada posisi terhormat sebagai penulis tingkat dunia.

Dari tangan, dan tentu saja pikiran dan hatinya, lahir novel fiksi yang unik. Sebagai penulis novel fiksi, ia dengan lancar bisa menggambarkan orang yang telah mati masih bisa berbicara. Di tangannya, pepohonan jadi bisa berkisah.

Lahir di Istanbul, 7 Juni 1952, Orhan Pamuk memang dikenal sebagai penulis hebat. Namanya bukan hanya dikenal di negerinya. Nama dan karyanya melintasi batas-batas negara. Melintasi sekat-sekat kelompok, agama, dan pandangan politik. Tidak heran jika majalah Time edisi 8 Mei 2006 menobatkan Orhan sebagai satu di antara 100 manusia yang paling berpengaruh di dunia.

Orhan memang menawarkan cara lain bercerita lewat tulisannya. Menyuguhkan alur cerita yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang negaranya, Turki, yang sering disebut sebagai wilayah pertemuan antara budaya Barat dan Timur. Menurut Orhan karyanya memang tidak lepas dari soal perubahan budaya, gaya hidup Barat di negara yang sebenarnya bukan Barat.

Keputusan yang Berani

Tiga puluh tahun menulis dan menyaksikan bagaimana karyanya diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa di dunia, jelas membuatnya bahagia. Siapa tahu ia ingat kata-kata tajamnya saat meninggalkan kuliah di jurusan arsitektur. Putusan yang berani dan tepat.

Dua puluh jam terakhir, dunia sastra kembali harus membaca dan menyebut namanya setelah Horace Engdahl, sekretaris Komite Nobel menyebut nama Orhan Pamuk sebagai penerima penghargaan Nobel Sastra tahun ini. Pengumuman dilakukan di Stocholm, Swedia, Kamis (12/10) waktu Indonesia.

Komite Nobel untuk bidang sastra dipilih oleh Akademi Swedia yang beranggotakan 18 orang. Akademi Swedia yang disebut sebagai De Aderton itu beranggotakan penulis, ahli bahasa, sejarawan, dan ahli hukum terkenal dari Swedia.

Untuk tahun ini Komite Nobel beranggotakan Pär Wästberg, Horace Engdahl, Kjell Espmark, Lars Forssell, dan Katarina Frostenson. Semuanya anggota adalah penulis yang berwibawa di Swedia.

Dalam situs resmi Nobel, Akademi Swedia memberikan catatan singkat soal Orhan. "Dalam perjalanan untuk menemukan jiwa dari kota kelahirannya, ia telah menemukan simbol dari penggabungan beberapa kebudayaan".

Pengumuman Akademi Swedia itu sekaligus meruntuhkan spekulasi mengenai siapa yang akan meraih penghargaan Nobel tahun ini.

Kantor berita AP menyebutkan, selain Orhan, kandidat terkuat untuk meraih penghargaan lainnya ialah penyair Suriah Ali Ahmad Said, Joyce Carol Oates dari Amerika, dan penulis Jepang Haruki Murakami, serta penulis asal Swedia Thomas Transtromer.

Nama Orhan akan ditempatkan di atas nama peraih Nobel bidang sastra tahun lalu, Horald Pinter. Di bagian paling bawah daftar itu tertera nama peraih penghargaan yang sama pada 1901, Sully Prudhome.

Keluarga Kaya

Orhan yang dilahirkan dari latar belakang keluarga kaya itu sudah banyak menulis novel dalam bahasa Turki. Belakangan karya tulisnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, dan beberapa negara lainnya. Beberapa diantaranya ialah, My Name is Red, The White Castle, The Black Book, The New Life, Istanbul, dan Snow.

Kehidupannya malah menjadi salah satu sumber inspirasinya saat menulis novel yang berjudul Cevdet Bey, His Sons dan The Black Book.

Ia sempat menjadi mahasiswa tamu di Universitas Columbia di New York (1985-1988). Pada saat itulah ia menulis novel berjudul The Black Book yang muncul dari pengalaman pribadinya saat bercerai dengan Aylin Turegen.

Novel yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis itulah yang mengantarnya meraih penghargaan Prix France Culture. Novel itu juga yang membuatnya dikenal sebagai penulis yang mampu meramu kisah masa lampau dengan masa kini dalam alur cerita yang unik dan memikat.

Ide cerita sepertinya datang bergelombang kepadanya. Ia kemudian mengisahkan kisah seorang mahasiswa yang sangat terpengaruh sebuah buku misterius dalam novel berjudul The New Life. Novel itulah yang melambungkan nama Orhan Pamuk di negerinya.

Nama Orhan semakin melambung saat ia mengatakan bahwa satu juta orang Armenia dan 30 ribu warga Kurdi dibunuh tentara Turki pada Perang Dunia I. Pemerintah Turki membantah melakukan pembantaian dan menyatakan bahwa saat itu yang terjadi adalah peperangan dan warga Turki pun banyak yang tewas saat itu.

Akibat pernyataannya itu, Orhan sempat diperiksa dengan dakwaan menghina identitas Turki dan angkatan bersenjata Turki. Dakwaan akhirnya dihentikan setelah Kementerian Kehakiman Turki menolak mengeluarkan ketetapan tentang bisa tidaknya dakwaan terhadap Pamuk disidangkan.

Lepas dari kemungkinan bahwa penghargaan itu mungkin akan menimbulkan reaksi Pemerintah Turki dan kritikan dari berbagai kalangan yang tidak menyetujui terpilihnya Orhan, hadiah uang sebesar US $ 1,4 juta, medali emas dan piagam sudah menantinya. Pada 10 Desember mendatang di Stockholm, Swedia, tanggal di mana pemrakarsa pemberian penghargaan Nobel, Alfred Nobel meninggal, Orhan bisa dengan bangga menyatakan, "Aku memang penulis. Aku bukan arsitektur."

* Aa Sudirman, wartawan Suara Pembaruan

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 13/10/06

Wednesday, October 11, 2006

Nuansa: PAD

-- Udo Z. Karzi


PUASA udah separuh Ramadan. Lebaran udah dekatlah.

Kalau begitu, wajarlah orang tak jauh-jauh ngomong soal anggaran, biaya, dana, dau, pitis, atau apa pun yang berbau doku.
Harga melambung. THR belum cair. Persiapan Lebaran. Dst....

Ini jadi bahan perbincangan sehari-hari di Negarabatin

Dan... Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. pun selalu punya cara untuk 'memanaskan' suasana yang memang sedang panas.

"Kalau mau jujur, Kabupaten Lambar bisa tutup karena PAD-nya hanya sekitar Rp5 miliar. Kalau dibagi 12 bulan, hanya Rp400 juta. Bagaimana mau membangun dan membayar yang lain-lain, padahal kebutuhan jauh lebih besar dari itu," katanya di Kecamatan Sumberjaya, Lambar.

Negarabatin ribut!

Penyataan Sutan Mangkubumi mendapat counter di mana-mana.

"Ya gimana? 73% wilayah Lampung Barat kan hutan lindung."

"Banyak potensi yang belum tergali."

"Fasilitas umum seperti jalan raya banyak yang tidak diperhatikan atau malah tak dipedulikan provinsi."

"Gimana Lambar mau berlari memperkecil ketertinggalan?"

"Kawasan hutan harusnya diserahkan ke Lambar untuk dieksploitasi."

"Lambar tidak harus menjadi penanggung beban. Sementara pihak luar yang menikmati."

"Upaya penggalian potensi Lambar bergantung berapa anggaran yang diberi provinsi."

"...."

Ya, ramelah.

Tapi agak aneh juga, ada yang berani menafsirkan perkataaan Gubernur begini ini: "Seandainya lahan lahan ini telah digarap dan diketemukan potensi, teknologi, dan peruntukan yang ideal bagi wilayah tersebut, bukan tidak mungkin Lambar justeru menjadi daerah penyangga ekonomi Lampung. Barangkali itu yang diharapkan Gubernur dalam pidatonya." (Fachruddn, Lampung Post, 9 Oktober 2004)

Mat Puhit yang jadi ikut panas berpidato: "Dunia makin materialistis. Orang cuma mikir duit-duit. Kalau tak punya uang tak bisa ngapa-ngapain. Boro-boro membangun, beli ini itu aja susah. PAD itu ya dana. PAD kecil ya nggak bisa apa-apa. Padahal, tengoklah APBD di mana pun. Isinya, hampir 80% untuk bayar gaji pejabat dan biaya rutin pemerintahan. Seberapa besar pun nilai PAD atau APBD kalau untuk para pegawainya atau malah untuk petinggi daerah saja, tidak akan ada artinya untuk masyarakat banyak (nggak pakai kata 'rakyat' biar nggak dikontrakan dengan penguasa)."

"Maka, atas nama PAD, lihatlah daerah-daerah memperbanyak retribusi. Ini bahasa keren dari merampok orang di jalan-jalan. Cuma dia pakai peraturan daerah. Semacam maling yang dilegalkan peraturan," kata Minan Tunja.

"Sudahlah, jangan terlalu mengagung-agungkan PAD. Kabupaten Kutai Tarumanegara, Kalimantan Tengah itu PAD-nya melebihi PAD Lampung sekalipun. Tapi, yang terjadi kemudian, bupatinya lagi pening karena tersangkut perkara korupsi, walau masih dugaan," kata Pithagiras.

"PAD Lambar boleh kecil, nggak masalah. Yang penting adalah bagaimana pemerintah kabupatennya mampu membangun budaya inisiatif, kreatif, dan inovatif," kata Udien.

"Pemda Lampung jangan mudah-mudahnya menetapkan cara mendapatkan PAD dengan membuat susah penduduknya."

Sebagai contoh, pertanian Thailand dan Vietnam bisa maju setelah belajar dari petani di Lampung Barat. La, ini kan potensi. Masih ada banyak potensi lain... yang kalau Mamak Kenut disuruh menyebutkan tidak akan mampu mengingatnya.

Eeit, jangan gampang-gampangnya memuat uang dari warga. Masa orang baru mau mulai membangun sebuah usaha (investasi), langsung ditarik ini-itu.

Pemerintah itu cuma 'mengatur' (seharusnya!). Pelaku ekonomi yang riil itu ya warga kebanyakan.

Jadi, biar PAD kecil, tetapi warga harus tetap bisa mengembangkan imajinasi dalam berbagai hal untuk kemaslahatan diri dan juga orang lain.

Sumber: Lampung Post, Kamis, 12 Oktober 2006

Friday, October 06, 2006

Esai: Pelajar dan Penulisan Sastra

-- Tri Lestari Sustiyana*


Akhir-akhir ini, banyak kalangan berpendapat sastra di Lampung sedang tumbuh pesat. Pertumbuhannya ditandai munculnya penulis-penulis remaja, terlebih beberapa media baik penerbit buku yang menerbitkan karya sastra remaja maupun media cetak menyediakan ruang secara khusus untuk sosialisasi atas karya-karya sastra remaja. Tapi jika ditilik lebih jauh, remaja dalam hal ini adalah kalangan pelajar, masih belum memperlihatkan prestasi dalam bersastra yang dapat ditandai sebagai sesuatu yang menggembirakan.

Belum Menjadi Tradisi

Penulisan sastra di kalangan pelajar belum menjadi tradisi. Jangan berharap lebih akan kreativitas bersastra dari pelajar. Kenyataan yang akan kita temui adalah jauh panggang dari api. Hal ini mengingat kurikulum di sekolah masih menempatkan sastra sebatas pengenalan, belum meramu substansi pembelajaran ataupun proses kreatif sastra! Padahal sastra, sebagai salah satu entitas kebudayaan, akan makin bermakna jika didukung media pendidikan dan sosialisasi yang memadai. Hal terpenting adalah dunia sekolah, selain media dalam bentuk apa pun untuk sosialisasinya.

Namun, seperti yang dilansir dalam sebuah media bahwa, besarnya pertumbuhan minat siswa terhadap dunia sastra di Lampung dinilai masih terhambat minimnya dukungan penyelenggara sekolah. Di sisi lain, masih terdapat banyaknya guru yang tidak mampu mentransfer ilmu kesusastraan kepada para siswa (Lampung Post edisi 23 September 2006).

Menengarai persoalan di atas, ada dua kutub yang berseberangan dan menjadi persoalan mengapa penulisan sastra belum menjadi tradisi bagi pelajar. Pertama, sistem pendidikan kita yang rentan dan cenderung berubah-ubah, seperti yang berlangsung selama ini, jika terdapat pergantian kepemimpinan, entah itu menteri pendidikan atau pejabat setingkatnya, maka akan berganti kebijakan dalam periodenya. Hal ini pula yang kemudian menempatkan sastra sebatas pelajaran pelengkap. Sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia, sastra memang disepelekan, antara lain karena perhatian guru lebih tercurah pada pengajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kedua, tidak terdapatnya daya dukung dari tenaga pendidik/guru yang mumpuni baik dalam penguasaan materi sastra, kesusastraan maupun metode pembelajarannya. Tampaknya untuk adanya tenaga pendidik tidak harus menunggu fakultas keguruan ilmu pendidikan (FKIP) di perguruan tinggi menjadi lumbung penyair atau sastrawan dulu, akan tetapi untuk menyiasatinya dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah dapat bekerja sama dengan sastrawan-sastrawan andal pada tingkat lokal maupun nasional.

Kekeliruan dan Upaya Pendekatan

Kerja sama antarlini dalam pembelajaran sastra di sekolah menjadi selaras dengan pernyataan Thomas Aquinas, "pulchrum dicitur id apprensio" (keindahan bila ditangkap menyenangkan). Ini artinya keindahan akan menjadi sebuah kemustahilan tanpa media pendidikan yang mengakar. Bagaimana mungkin "keindahan" akan (memiliki dan) mengakar tanpa pendidikan yang utuh.

Bagaimana mungkin sajak Chairil Anwar akan dapat ditelaah dan diapresiasi secara baik jika tidak dimulai dari penjabaran di kelas-kelas, sehingga tidak hanya sebatas pembelajaran sastra pada hapalan judul-judul sajak atau hapalan nama-nama sastrawan di tanah air. Bagaimana mungkin kita akan mengetahui Sutardji Calzoum Bachri dengan mantra-mantranya, Danarto dengan keindahan cerpen surealisnya yang fantastis dan teatrikal, Seno Gumira Ajidarma yang "liar" romantik, dan lain-lain.

"Kekeliruan" dalam pendekatan dan strategi pengajaranlah penyebab persoalan di atas. Dan hal ini telah berlangsung sejak awal, ketika di taman kanak-kanak, sastra masih dianggap sederajat dengan bentuk kesenian lain seperti menggambar atau menyanyi. Sastra masih diperlakukan sebagai alat mengekspresikan diri dan disampaikan dalam bentuk bercerita, berpidato atau melisankan puisi.

Sastra dalam bentuknya yang dasar dianggap "permainan", suatu anggapan yang berdasarkan pendekatan yang benar. Namun keadaan yang sudah benar ini berubah sama sekali ketika anak menjadi murid di sekolah menengah. Di sini sastra tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari "permainan", tetapi diajarkan dengan pendekatan lain, yakni benar-benar diperlakukan sebagai ilmu.

Sementara literatur dan buku-buku sastra untuk sekolah menengah penuh istilah, konsep, daftar karya sastra, riwayat hidup sastrawan, dan lain-lain. Tetapi hampir tidak ada karya sastra itu sendiri. Semua itu adalah serangkaian nama dan istilah yang harus dihafal sebagai syarat agar bisa lulus ujian, yang tak jarang parameter ini sebagai satu-satunya tujuan pengajaran sastra.

Beberapa kemungkinan mengapa hal-hal di atas terus terjadi karena guru yang berpandangan hanya sastrawan yang bisa membimbing murid mengarang cerita atau mencipta puisi. Akibatnya, kegiatan mengarang tidak ditawarkan kepada anak, padahal mungkin anak menyukainya bila diperlakukan dengan pendekatan "permainan", seperti halnya menggambar atau menyanyi yang ternyata tetap ditawarkan guru sekalipun mereka bukan pelukis atau penyanyi.

* Tri Lestari Sustiyana, Guru SMP Negeri 1 Jatiagung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 Oktober 2006