Wednesday, October 11, 2006

Nuansa: PAD

-- Udo Z. Karzi


PUASA udah separuh Ramadan. Lebaran udah dekatlah.

Kalau begitu, wajarlah orang tak jauh-jauh ngomong soal anggaran, biaya, dana, dau, pitis, atau apa pun yang berbau doku.
Harga melambung. THR belum cair. Persiapan Lebaran. Dst....

Ini jadi bahan perbincangan sehari-hari di Negarabatin

Dan... Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. pun selalu punya cara untuk 'memanaskan' suasana yang memang sedang panas.

"Kalau mau jujur, Kabupaten Lambar bisa tutup karena PAD-nya hanya sekitar Rp5 miliar. Kalau dibagi 12 bulan, hanya Rp400 juta. Bagaimana mau membangun dan membayar yang lain-lain, padahal kebutuhan jauh lebih besar dari itu," katanya di Kecamatan Sumberjaya, Lambar.

Negarabatin ribut!

Penyataan Sutan Mangkubumi mendapat counter di mana-mana.

"Ya gimana? 73% wilayah Lampung Barat kan hutan lindung."

"Banyak potensi yang belum tergali."

"Fasilitas umum seperti jalan raya banyak yang tidak diperhatikan atau malah tak dipedulikan provinsi."

"Gimana Lambar mau berlari memperkecil ketertinggalan?"

"Kawasan hutan harusnya diserahkan ke Lambar untuk dieksploitasi."

"Lambar tidak harus menjadi penanggung beban. Sementara pihak luar yang menikmati."

"Upaya penggalian potensi Lambar bergantung berapa anggaran yang diberi provinsi."

"...."

Ya, ramelah.

Tapi agak aneh juga, ada yang berani menafsirkan perkataaan Gubernur begini ini: "Seandainya lahan lahan ini telah digarap dan diketemukan potensi, teknologi, dan peruntukan yang ideal bagi wilayah tersebut, bukan tidak mungkin Lambar justeru menjadi daerah penyangga ekonomi Lampung. Barangkali itu yang diharapkan Gubernur dalam pidatonya." (Fachruddn, Lampung Post, 9 Oktober 2004)

Mat Puhit yang jadi ikut panas berpidato: "Dunia makin materialistis. Orang cuma mikir duit-duit. Kalau tak punya uang tak bisa ngapa-ngapain. Boro-boro membangun, beli ini itu aja susah. PAD itu ya dana. PAD kecil ya nggak bisa apa-apa. Padahal, tengoklah APBD di mana pun. Isinya, hampir 80% untuk bayar gaji pejabat dan biaya rutin pemerintahan. Seberapa besar pun nilai PAD atau APBD kalau untuk para pegawainya atau malah untuk petinggi daerah saja, tidak akan ada artinya untuk masyarakat banyak (nggak pakai kata 'rakyat' biar nggak dikontrakan dengan penguasa)."

"Maka, atas nama PAD, lihatlah daerah-daerah memperbanyak retribusi. Ini bahasa keren dari merampok orang di jalan-jalan. Cuma dia pakai peraturan daerah. Semacam maling yang dilegalkan peraturan," kata Minan Tunja.

"Sudahlah, jangan terlalu mengagung-agungkan PAD. Kabupaten Kutai Tarumanegara, Kalimantan Tengah itu PAD-nya melebihi PAD Lampung sekalipun. Tapi, yang terjadi kemudian, bupatinya lagi pening karena tersangkut perkara korupsi, walau masih dugaan," kata Pithagiras.

"PAD Lambar boleh kecil, nggak masalah. Yang penting adalah bagaimana pemerintah kabupatennya mampu membangun budaya inisiatif, kreatif, dan inovatif," kata Udien.

"Pemda Lampung jangan mudah-mudahnya menetapkan cara mendapatkan PAD dengan membuat susah penduduknya."

Sebagai contoh, pertanian Thailand dan Vietnam bisa maju setelah belajar dari petani di Lampung Barat. La, ini kan potensi. Masih ada banyak potensi lain... yang kalau Mamak Kenut disuruh menyebutkan tidak akan mampu mengingatnya.

Eeit, jangan gampang-gampangnya memuat uang dari warga. Masa orang baru mau mulai membangun sebuah usaha (investasi), langsung ditarik ini-itu.

Pemerintah itu cuma 'mengatur' (seharusnya!). Pelaku ekonomi yang riil itu ya warga kebanyakan.

Jadi, biar PAD kecil, tetapi warga harus tetap bisa mengembangkan imajinasi dalam berbagai hal untuk kemaslahatan diri dan juga orang lain.

Sumber: Lampung Post, Kamis, 12 Oktober 2006

No comments: