-- Beni Setia
PADA awalnya Mardi Luhung (ML) itu seorang penyair, setidaknya dibuktikan dengan kumpulan puisi tunggal semacam Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2002), serta Buwun (2010) yang memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2010. Tapi awal dari semua itu fantasi bagi anak yang sering sakit-sakitan dan amat dilindungi sehingga buat ikut latihan pramuka saat SD pun harus dikawal dan diawasi seorang pembantu.
Karena itu sang ayah memuaskan insting ingin bertualangnya itu dengan bacaan, setumpuk buku komik dengan tokoh pendekar kelana, superhero, dan karakter kartun yang bertulang untuk menegakkan keadilan atau sekedar bertualang di alam antah berantah.
Puncak mengempati yang terbayangkan serta bukan sekadar partisipasif dengan fakta yang riil terjadi ketika ia sedang menyusun skripsi S-1-nya di Unej, Universitas Jember, yang membutuhkan validisasi oral lewat wawancara dengan Budi Darma, dan yang harus ditemuinya setelah satu ceramah di Fakultas Sastra. ML terlambat datang tapi tidak memaksa masuk, ML cukup menyimak semua ceramah itu dari balik pintu sambil membayangkan apa yang ingin dipastikan dengan yang membayang dari satu ceramah yang cuma didengar dan tak partisipasif disaksikan.
ML menyebut fakta itu sebagai keindahan mengintip, dan saya menyebut itu sebagai spontanitas mengempati liukan fantasi yang dibangkitkan ceramah. Pengetahuan pasif alam bawah sadar yang dibangkitkan dan diempati—mimpi sadar dalam idea psiko—analisis Freud.
Cerpen yang ditulisnya di dekade 2000-an—ini dipisahkan dengan cerpen di dekade 1990-an, yang di dalam kumpulan cerpen Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku, (Komodo Books, 2011), merujuk enam cerpen dari subkumpulan Tembok, dan bukan enam cerpen dari subkumpulan Sepeda—ada dalam komposisi semacam itu. Memuat pengalaman rekaan yang bulat sebagai hasil dari berfantasi yang suntuk, serta bahasa ungkap yang amat membius dan menempatkan apresiatornya sebagai pendengar pasif dari kelincahan bertutur story teller atau salesman. Baik puisi, dan kemudian cerpen, pada awalnya energi fantasi, yang dibangkitkan dan dibiarkan liar memsibubung dan membuatnya aktif menginventarisasi apa pun yang muncul dan hadir. Tak heran kalau ML bilang, puisi itu liukan transkripsi fantasi pendek, cerpen liukan transkripsi yang panjang—seperti fantasi yang bersipanjang membuat Olenka menjadi novel dan bukan hanya cerpen dalam diri Budi Darma, tokoh yang dikagumi ML.
Fantasi yang membuka diri semaunya fantasi itu sendiri yang menghubungkan ML dengan Budi Darma, meskipun dalam endorsement untuk buku kumpulan cerpen Ml seorang Budi Darma menolak untuk menandai fantasi liar, dan melulu bicara dengan sinisme seorang akademisi yang melihat kecerdasan fantasi (seorang) penyair sebagai insting yang tidak sepenuhnya disadari. Suasana yang membuat penyair tranced, dan karena itu tak sepenuhnya menyadari semua itu—tidak faktual seperti yang dihadirkan Budi Darma dalam catatan kaki Olenka—, dan untung ketaksadaran impulsif itu kuasa ada mendatangkan hal-hal yang menyenangkan. Tidak jungkir balik tapi meliuk-liuk penuh kibul yang menyentakkan dengan ketakterdugaan. Sesuatu yang tampak amat naif dan lugu seperti dalam enam cerpen dari subkumpulan Tembok.
Seperti diujudkan di dalam teror tembok yang jadi simbol peluasan pabrik dalam Tembok Pabrik. Seorang yang kehilangan kepala karena tak ingin direkayasa oleh orang tuanya dalam cerpen Kepalaku. Atau perasaan terhina suami yang terluka oleh apresiasi sadar akan besaran nafkah si suami dari istri dalam cerpen Pengingkaran; dan bagaimana ihwal itu jadi kemesraan hari tua kala masalah ekonomi kuasa diatasi dalam cerpen Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku. Kemarahan kepada sikap menurut dan loyal dari orang yang lebih pintar menjilat, seperti anjing, yang membuat si tokoh pitam dan menjadi anjing dalam cerpen Menggonggong. Dan daya adaptasi tanaman yang membuat pohon jambu jadi bersesipat robotik berdaun plastik dan berakar baja—yang menjalar dengan kemarahan pada awal dari segala situasi polusif itu: pabrik.
Cerpen-cerpen dalam subkumpulan Sepeda, lebih mencekam sebab fantasi yang diterawang dan diempatinya lebih bulat dan direkonstruksi dengan bahasa yang lebih tajam dan jernih. Kita lihat cerpen Sore itu Sepedaku Menabrak Dinding, yang usil bertutur tentang pengalaman seseorang yang naik sepeda menabrak dinding (pembatas yang riil dan yang tak riil) dan mencebur ke dalam laut dengan segala imaji lautnya. Tak ada cerita riil selain pengalaman rekaan bersepeda dalam laut dengan rujukan riil dunia kanak-kanak yang riang. Atau kisah tentang lelaki yang tersubordinasi wanita, istrinya, hingga mengerjakan tugas-tugas domestika perempuan di rumah—mencuci—yang diungkapkan secara puitik di dalam cerpen Tukang Cuci. Atau tafsir fantastik subjektif sekitar kisah kejatuhan Adam dan Hawa karena godaan ular (Iblis) dan lugu melanggar larangan Allah swt. dalam cerpen Penghikayat Ular. Atau empati yang berlebih pada pengalaman bermain catur, hingga dihantui oleh raja (catur) yang mati karena agresif menyerang dan tak mengamankannya pada cerpen Kepompong.
Atau imajinasi liar kanak-kanak mana kala ditinggalkan ayah dan ibunya dalam cerpen Perahuku. Atau instink feministik yang terperangkap di dalam tubuh lelaki sehingga keinginan jadi ibu ditentang oleh fakta fisik lelaki. Manakala sosok ibu merupakan gerbang dan jalan lurus tunggal ke surga, maka kodrat lelaki yang bersifat kewanitaan merupakan pengkhianatan dan pendurhakaan pada sosok ibu. Insting "tak bisa menjelmakan surga anak" kalau berkeluarga dengan sesama lelaki membuatnya berfantasi ibu marah dan bangkit dari kubur. Tapi adilkah itu, kata ML—dengan tokoh bernama Mardi dalam cerpen Ibu Jangan Jadi Hantu. Fantasi yang lebih punya tema dan sangat bertenden—imajinasi dikendalikan tema, dibatasi pada alur terfokus, serta dengan rekonstruksi bahasa lebih terjaga. Meskipun, salah satu dari aspek khas—entah ini kelemahan atau kekuatan—dari tuturan ML itu daya lisan yang pekat.
Oralitas. Pengadeganan fantasi yang dikendalikan semacam (acuan) dramaturgi pantomin, monoplay yang cerdas mengeksplorasi daya bercerita lisan. n
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Agustus 2011
No comments:
Post a Comment