-- Ahmad Baedowi
MARI kita sebut nama sebuah negara di hadapan para siswa dan mintalah mereka menggambarkan bagaimana negara tersebut, maka dapat dipastikan jawabannya selalu berkaitan denan dengan karateristik budaya, etnik, bahasa dan keragaman agama yang dimilikinya. Hampir dapat dipastikan pula bahwa dari karakteristik tersebut selalu memunculkan tantangan tentang bagaimana menanamkan karakter tentang budaya, etnik, bahasa dan agama dalam konteks kemajemukan dalam sebuah proses belajar-mengajar yang efektif. Tentu saja proses tersebut harus disampaikan dalam bahasa yang menjadi platform bersama sebuah bangsa.
Bahasa menjadi kata kunci teramat penting dan tidak bisa dilepaskan dari politik bahasa dan kebijakan sebuah negara. Beruntunglah kita, karena sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai penyatu seluruh keragaman budaya, etnik dan agama. Bahasa Indonesia menjadi alat pengantar komunikasi tidak hanya di sekolah, melainkan juga di pasar, kantor, dan berbagai tampat lainnya. Dengan bahasa Indonesia, sesungguhnya kita dihadapkan pada fakta bahwa bahasa, jika dipelihara kemurniannya dan dikembangkan kosakata serta penambahan maknanya, akan tetap mampu memelihara rasa kesatuan sebagai sebuah bangsa.
Jika ditambah dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity), kita sesungguhnya malah harus lebih bersyukur, karena upaya untuk tetap memelihara kesatuan menjadi lebih kuat. Sebagai sebuah strategi, Bhinneka Tunggal Ika adalah jalan tengah di mana bahasa Indonesia dengan sendirinya menjadi alat untuk mempertahankan keragaman itu sendiri. Jika kebijakan tentang politik berbahasa dimaksudkan untuk mempertahankan keragaman, sebuah bangsa dijamin akan memiliki kekuatan spiritual yang berjangka panjang dalam mempertahankan teritorinya. Dapat dibayangkan, apa jadinya jika bahasa Jawa yang dijadikan bahasa nasional, maka jelas politik bahasa pemerintah akan sangat represif, terutama terhadap masa depan keragaman budaya, etnik dan agama.
Mungkin itulah yang terjadi dengan negara tetangga kita, Thailand, yang menurut beberapa ahli justru menggunakan bahasa Thailand sebagai bentuk dominasi etnik thai dan kurang berempati terhadap fakta keragaman budaya, etnik, dan agama yang ada di pesisir selatan dan utara. Professor Chaiwat, Guru Besar bidang ilmu sosial politik Universitas Tammasat, Bangkok, mensinyalir justru politik berbahasa di Thailand kurang bagus bagi masa depan keragaman budaya, etnik dan agama. Menurut Chaiwat, bahasa Thailand dipilih sebagai bahasa negara karena memiliki maksud sentralisasi seluruh kebijakan. Karena itu dalam sejarahnya, ketika Raja Rama V mendeklarasikan penggunaan bahasa thai sebagai bahasa negara di tahun 1903, setahun sesudahnya justru timbul pemberontakan di tingkat tempat berbeda, yaitu north east, southern dan northern Thailand.
Mungkin tak banyak yang mengkaji tentang bahaya laten bahasa jika digunakan untuk maksud sentralisasi. Karena itu jangan-jangan kesalahan penerapan kebijakan bahasa nasional sebuah bangsa juga merupakan sumber konflik yang tak berkesudahan seperti yang dialami masyarakat Thailand di pesisir selatan. Problem rekognisi masyarakat selatan Thailand yang secara bahasa, budaya, etnik dan agama berbeda, sampai saat ini masih banyak menyisakan pertanyaan, terutama tentang efektivitas penggunaan bahasa Thailand yang seakan setengah dipaksakan kepada etnik tertentu.
Pentingnya bahasa sebagai alat pemersatu, bukan pemecah-belah keragaman, adalah distingsi yang harus terus dipelihari sebagai sebuah kebijakan negara yang tak bisa ditawar, termasuk di sekolah. Dalam kasus di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya, yaitu kita kokoh secara bahasa di tataran bernegara, tetapi lemah dalam menghargai bahasa ibu sebagai bahasa pengantar bagi anak-anak di sekolah. Faktor bahasa pengantar pula yang menyebabkan sistem pendidikan sebuah bangsa sesungguhnya bisa bergerak lebih baik atau tidak.
Menurut beberapa Pusat Penelitian Bahasa dan Kebudayaan di beberapa Universitas, bahasa pengantar di sekolah punya dampak serius terhadap keberhasilan prestasi siswa ke depan. Murid-murid SD di perkotaan umumnya adalah penutur-penutur asli bahasa Indonesia. Sedangkan bagi murid pedesaan bahasa ibu mereka bukan bahasa Indonesia. Meskipun keluhan tentang penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di TK dan SD tidaklah banyak, namun kurang lebih 75% siswa TK dan SD di pedesaan bukanlah penutur asli bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, pemakaian bahasa ibu di TK dan SD kelas awal mungkin masih perlu dilakukan. Selain untuk menjamin kelangsungan pembelajaran juga untuk mencegah gangguan perkembangan kognitif anak. Sesuai dengan arah otonomi bidang pendidikan, sudah saatnya bagi pemerintah daerah mendesain sendiri buku-buku berbahasa lokal bagi keperluan belajar-mengajar anak-anak TK dan SD sampai minimum kelas 2, sebelum mulai mengggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah. Dalam Whole Language for Second Language Learners (1992), Freeman, Yvonne S. Freeman dan David E. menyebutkan bahwa signifikansi penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar di sekolah sebelum bahasa kedua dikuasai anak akan mampu menghasilkan prestasi yang lebih baik bagi anak-anak di masa mendatang. Harus ditemukan cara yang secara politik maupun pedagogis mampu membuat anak nyaman ketika mengalami peralihan dari bahasa ibu mereka ke bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah.
Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Sumber: Lampung Post, Jumat, 12 Augustus 2011
No comments:
Post a Comment