Sunday, August 21, 2011

Bermain-main dengan Bahasa dan Imajinasi

(Membaca Kembali Cerpen-cerpen Fariz Ihsan Putra)


-- Marhalim Zaini


JAUH-JAUH hari, di media ini juga (Riau Pos, 23 April 2006), saya pernah menelaah beberapa cerpen yang ditulis oleh seorang anak muda Riau, yang masih duduk di bangku SMA bernama Fariz Ihsan Putra. Setahun setelah itu, saya dikabari bahwa Fariz akan menerbitkan buku kumpulan cerpennya yang pertama. Dan lalu, saya diminta memberikan semacam kata pengantar untuk buku itu. Namun, sampai saat ini, belum datang kabar pada saya apakah buku cerpen itu jadi terbit atau tidak.

Karena saya menganggap bahwa sebuah “kata pengantar” adalah juga sebuah cara meresepsi sebuah karya, dan dengan begitu pula penting untuk diuji hasil pembacaan itu sebagai bahan diskusi lebih lanjut, maka tidak ada salahnya jika “kata pengantar” itu (dengan beberapa penyuntingan) kini saya suguhkan ke publik. Selain, bahwa sesungguhnya saya demikian peduli bagaimana agar regenerasi sastra Riau terus tumbuh sehat, di antaranya dengan memberi perhatian dan ulasan terhadap karya-karya penulis pendatang baru yang potensial.

Kenapa saya tergerak untuk menulis tentang cerpen-cerpen Fariz? Sebab cerpen-cerpennya “mengganggu” saya. Apa pun, setiap yang datang mengganggu saya, maka kerap membuat saya terdorong untuk menulis. Ya, saya memang berangkat menulis dari ketergangguan. Artinya, di sana ada problem. Setiap problem (lazimnya) menyembunyikan sejumlah potensi untuk berkembang menjadi ketak-terdugaan. Apa yang saya sebut “ketak-terdugaan” itu kemudian kerap menjadi pemicu untuk melahirkan berbagai suspen, kejutan, sentakan, untuk dapat masuk ke dalam sebuah wilayah yang kadang tak dapat diraba bentuknya, tersebab ia begitu kompleks, multi-dimensi, multi-interpretasi, yang pada saat-saat seperti itu ia kemudian mengalir untuk menemukan “ruang hidup”-nya sendiri. Sebuah ruang asing, tapi memikat. Rumah sunyi, tapi menyimpan misteri. Dan itulah (dunia) fiksi, itulah (juga) sastra.

Kenapa cerpen-cerpen Fariz mengganggu saya? Dalam perasaan saya yang sempat agak frustasi ketika menengok perkembangan (re)generasi sastra (di) Riau, apalagi ketika itu diikuti oleh booming kategori cerita teenlit juga chicklit menyerbu rak-rak toko buku kita, kemunculan cerpen-cerpen Fariz bagi saya “menyempal” dan otomatis “mengganggu”. Sebelum ini, di awal-awal saya menetap di Pekanbaru, memang sempat saya membaca sebuah novel berjudul “Labirin” karya seorang muda yang masih duduk di bangku SMA bernama Nalendra. Bagi saya, karya itu luar biasa, terutama dalam konteks keliaran kreativitas bahasa yang ditawarkan serta pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya. Menjadi kian luar biasa tersebab dia masih belia dan menulis dengan konstruksi pemikiran (juga ideologi) “orang dewasa”. Ia seperti sedang bermain-main dengan potensi bahasa sebagai sebuah ruang luas yang menyembunyikan banyak kemungkinan atas tafsir makna, sekaligus agaknya menawarkan ruang re-kreasi atas kesumpekan ruang kelas di sekolah.

Dan demikianlah, saya kira, hendaknya yang terjadi di dunia pendidikan (Bahasa Indonesia dan Sastra) kita, memberikan seluas-luasnya ruang untuk “bermain-main” bagi siswanya, sehingga pendidikan tak justru membuat terali-terali penjara bagi perkembangan imajinasi mereka, dan kemudian pelajaran bahasa dianggap “tak berguna” sehingga selalu saja ter(di)pinggirkan, sekaligus tak bermasa depan, dan tentu saja kemudian membuat bahasa jadi mandul, kaku, dan tampak tak memiliki daya hidup. Dan sebagaimana Nalendra dalam novel, demikian pula Fariz yang “bermain-main” dengan eksploratif dalam bahasa cerpen-cerpennya.

Agaknya, saya adalah salah satu penganut paham bahwa bahasa adalah yang paling utama dalam sastra, sebab ia adalah tubuh sastra. Isi atau pesan, akan selalu hadir mengikuti bahasa. Pesan tak perlu dicari-cari hingga jadi klise, jadi menceramahi, hingga bahasa pun hanya jadi kendaraan peot yang kelelahan mengusung muatan. Budi Darma (2005) mengatakan, “...bahwa seandainya tidak ada bahasa, mungkin sastra, termasuk cerpen, tidak akan ada.” Sebab bahasa, kata Budi Darma lagi, “bukan hanya berfungsi sebagai alat ekspresi, namun sekaligus refleksi logika itu sendiri.” Bahkan ada ungkapan dalam bahasa Inggris berbunyi begini, “open your mouth, and I’ll know who you are,” yang bermakna bahwa bahasa adalah cermin diri dari seseorang, “bukalah mulutmu, dan aku akan tahu siapa Anda.” Maka peciptaan karya sastra, dalam genre apa pun, akan selalu berhadapan dengan perjuangan menemukan bahasa. Dan yang gagal, boleh jadi, dia juga gagal jadi pengarang.

Hemat saya, bermula dari perspektif bahasa pulalah agaknya kita mencoba menelisik masuk ke dalam cerpen-cerpen Fariz. Sebab tampaknya, Fariz memang betul-betul lasak “memainkan” kata-kata dalam cerpen-cerpennya. Bahasa, bagi Fariz, tampaknya adalah juga imaji-imaji yang terserak, sehingga dia dengan sangat lincah memungutinya, kemudian memasangnya dalam bingkai cerita, membangun peristiwa-peristiwa dalam plot yang kadang tak utuh, melompat-lompat, yang sekaligus membuat jejak-jejak peristiwa yang baru pula. Sehingga, kadang-kadang, pembaca dibuatnya berkerut kening karena bingung, atau tersentak, atau justru ikut menikmati ‘permainan’ Fariz.

Ketika saya melakukan pembacaan awal terhadap sejumlah cerpen Fariz, saya perlahan-lahan mencari alternatif cara baca saya sendiri. Artinya ada konvensi yang harus saya langgar, terutama dengan melepaskan diri dari kerangka berfikir normatif-konservatif, dalam upaya menemukan simpulan-simpulan eksperimentasi dari setiap peristiwa yang dibangun dalam sebuah cerpen. Dan gaya bahasa non-realis, yang dipakai Fariz, dapat pula kita pakai sebagai titik berangkat untuk dapat sampai pada sebuah pemahaman tentang alur/plot, konflik-konflik, tematik, karakter-karakter tokoh, juga berbagai formulasi tentang ideologi yang tersembunyi. Soal logika, tentu saja akan kerap berbenturan dengan realita, ada yang dikorbankan di sana, sebab bahasa puitik memang jadi pilihan Fariz untuk ‘mengganggu’ empati pembaca, dan dengan begitu, bahasanya emotif (meminjam istilah Budi Darma), “bahasa yang dipergunakan pengarang untuk menarik empati pembacanya.”

Apa yang dapat kita tangkap, kira-kira, ketika Fariz membuka cerpennya berjudul “Feminis” dengan kalimat berikut:

“Yang kutahu hanyalah napas dan udara. Bersatu dalam ritme yang begitu mempesona, menggali api yang haus akan keseimbangan dalam-dalam atau mengubur kemarahan di atas puncak bukit sana. Mereka berdua masuk bergantian melalui lubang udara, bergesekan dengan aliran darah, memacu hormon dan meletakkan bantalan kapas dingin di permukaan otak. Membuatnya temaram, mendatangkan kantuk, lalu pergi menikmati kedamaian. Menjelajah alam luas dan terbang tanpa batas. Sama sekali tak kukuh dalam ingatan, dia menerobos apa-apa tanpa aba-aba. Dia meloncat-loncat. Menggeliat-geliat. Penuh gairah. Di meditasi.”

Saya kira sulit bagi pembaca untuk secara tiba-tiba menyimpulkannya dalam sebuah pemahaman tentang sebuah peristiwa tanpa membaca cerpen ini sampai tuntas. Apakah cerpen ini berkisah tentang sebuah prosesi persetubuhan? Boleh jadi, ya, jika fantasi kita bergerak dari judul, kemudian masuk ke idiom-idiom yang disuguhkan Fariz. Persetubuhan yang seperti apa? Mungkin sebuah persetubuhan yang nikmat dengan “ritme yang begitu mempesona” sebab ia bagai “api yang haus akan keseimbangan”. Tapi antara siapa? Entah. Siapa yang dimaksud dengan “mereka berdua”? Apakah “nafas dan udara”? Mungkin. Jawaban-jawabannya menjadi tak mutlak. Karena memang bahasa Fariz “terbang tanpa batas” lalu “menerobos apa-apa tanpa aba-aba” kemudian “meloncat-loncat” dan “menggeliat-geliat penuh gairah”. Meski, andai pembaca jeli, maka segera dapat ditemukan sebuah pintu masuk di ujung paragraf untuk menjelajahi kelanjutan cerpen ini, yakni pada kata “meditasi”.

Dengan media “meditasi”, sang tokoh kemudian terbang, tubuhnya ringan “hingga kakiku yang bersila terangkat jauh beralaskan udara. Keduanya, tak berjejak lagi.” Bukankah dengan terbang maka kebebasan dapat digapai? Kebebasan yang seperti apa yang hendak disampaikan dalam cerpen ini? Kebebasan yang dapat menyaksikan dirinya sendiri dinikmati dan dimaknai oleh seluruh komponen alam, oleh rumput yang bebas menyerap cahaya matahari, begitu pula dengan matahari sendiri yang dengan bebas menumpahkan “berbiliun foton cahaya”-nya. Meski kemudian di tengah realitas kebebasan itu masih juga tersembunyi realitas lain, yang mengungkung, yang berkutat dalam sebuah labirin. Fariz kini lebih tampak sedang mengusung ideologinya, keberpihakannya terhadap sosok perempuan.

Sehingga, hemat saya, artikulasi yang paling jelas tampak mewakili adalah pada kalimat, “Aku marah. Marah begitu kuat. Aku hanya melihat sedikit wanita yang berdiri memegang bendera atas nama intelijensi…” Dan akhir dari cerpen ini, adalah akhir dari sebuah perjalanan panjang untuk dapat keluar dari penjara waktu, maka “aku menangis”. Apakah Feminis identik dengan menangis?

Saya akan menunjukkan kalimat pembuka cerpen Fariz yang lain, yang saya kira, kita akan segera bersepakat untuk mengatakan bahwa Fariz sengaja ‘menyembunyikan’ berbagai peristiwa dalam cerpennya di balik selimut kata-kata puitik yang agak tebal, dengan menderaikan berbagai jebakan cecabang imaji juga reranting logika di dalamnya.(Bersambung)


Marhalim Zaini, sastrawan. Sedang studi S-2 Antropologi di Program Pascasarjana UGM.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 Agustus 2011


No comments: