Tuesday, June 28, 2011

[Teraju] Ikhtiar Jiwa Melestarikan Bangsa

-- Muhammad Subarkah

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala


BAIT syair "Dengan Puisi Aku" yang pernah populer dinyanyikan Bimbo tertempel di sebuah dinding mushala mungil yang menghadap lereng Gunung Merapi dan Singgalang. Dari kejauhan, terlihat kabut yang mulai turun. Angin terus melunak. Udara berubah dingin.

"Ya inilah rumah kedua saya," kata sang penulis syair itu, Taufiq Ismail. "Di kompleks Rumah Puisi ini ada mushala, perpustakaan, ruang pertemuan, sedangkan di sebelahnya ada Rumah Budaya milik Fadli Zon," ujarnya lagi. Taufik bercerita tentang Rumah Puisinya pada awal Juni lalu. Lokasinya tak jauh dari kampung kelahirannya yang hanya delapan kilometer dari Kota Bukittinggi. "Istri saya, Ati, yang memeloporinya. Pada suatu hari, dia bertanya siapa yang akan membaca koleksi buku dan puisi saya setelah meninggal? Nah, dari situlah muncul ide membuat Rumah Puisi," kata Taufiq.

Pada sisi lain, lanjut Taufiq, pendirian rumah ini juga sebagai upaya konkret untuk melawan amnesia orang Indonesia akan bahasa dan sastra Indonesia. Apalagi, dia pun mendengar bila saat ini mata pelajaran bahasa Indonesia di mata siswa sekolah menjadi 'hantu' dalam Ujian Nasional (UN). "Bayangkan, mereka yang tak lulus UN itu bukan karena jeblok nilai matematika atau bahasa Inggrisnya. Mereka tak lulus karena buruk nilai ujian bahasa Indonesia," ujar Taufik sembari geleng-geleng kepala.

Pada kenyataan lain, mundurnya kemampuan berbahasa tersebut semakin nyata ketika satu per satu ikon sastra Indonesia terancam masuk ke 'liang kubur'. Majalah sastra Horison yang sudah memasuki usia lebih dari empat dasawarsa, kini terancam gulung tikar. Taufik yang juga selalu menjadi salah satu pengelolanya menyatakan oplahnya tinggal 2.000 eksemplar saja.

"Belum lagi Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang juga terancam bubar. Kita sedih sekali atas adanya kenyataan tersebut. Padahal, koleksi karya sastra yang ada di sana luar biasa. Tapi, itulah kita. Semuanya tampaknya mulai rabun akan arti pelestarian bahasa nasionalnya sendiri," ujar Taufiq.
******
Berangkat dari kecemasan atas munculnya amnesia terhadap bahasa dan sastra Indonesia itulah, di ujung senja hidupnya, Taufiq yang juga sebagai penerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta ini memutuskan untuk membuat sesuatu di kampung halaman, yakni mendirikan Rumah Puisi. Pendirian bangunan ini didanai dari hasil kerja kreatifnya selama berkecimpung di dunia sastra. "Sebagian uangnya juga dari dana penghargaan yang didapat dari Habibie Award," katanya.

Melalui Rumah Puisi itulah, dia kemudian membuka kesempatan bagi siapa saja untuk belajar sekaligus mengenal khazanah sastra. Salah satu hasilnya terlihat dengan munculnya serombongan siswa sekolah dari Perguruan Putri Diniyyah Padang Panjang yang pada awal Juni lalu itu menyambanginya. Melihat kedatangan mereka, Taufiq pun terlihat begitu antusias menyambutnya.

"Assalamualaikum apa kabar?" katanya. Puluhan remaja putri itu segera menyambut salamnya dengan antusias seraya bergantian bersalaman. Taufiq kemudian mempersilakannya masuk ke dalam rumahnya. Dia kemudian bercerita panjang lebar mengenai berbagai karya sastra yang tersimpang di rak perpustakaannya dan aneka kutipan bait puisi yang terpasang di dinding rumahnya.

"Itu kutipan pernyataan Marilyn Monroe. Dia mengaku tak suka kepada pembuat puisi, tapi suka pada lelaki yang suka pada puisi," kata Taufiq sembari tersenyum kecil. Dia kemudian bercerita bahwa si artis itu tak suka kepada penulis puisi karena yang dimaksudnya sebagai lelaki penyuka puisi adalah pacarnya, yakni Presiden AS John F Kennedy.

Nah, selain bertemu dengan para siswa, sehari sebelumnya Taufik juga menerima kunjungan para guru bahasa Indonesia dari Kota Padang Pariaman. Saat itu, terjadi diskusi yang hangat mengenai cara mengajar bahasa Indonesia dengan baik dan tidak membosankan peserta didik. "Tak berbeda dengan siswanya, para guru juga harus banyak membaca. Ajarilah anak didik Anda mengemukakan pikiran dengan bahasa Indonesia. Jangan terpaku pada soal tata bahasa," katanya.

Pada kesempatan itu, dia kemudian membuka hasil penelitiannya mengenai suasana pengajaran bahasa di sekolah yang ada di Indonesia. "Di sekolah Indonesia, murid diajar tidak membaca karya sastra. Ini jauh berbeda dengan sekolah di Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Jepang, bahkan sekolah zaman Belanda kita sekalipun."

Bagi sebagian kecil kalangan, terutama yang selama ini meminati bidang sastra, ungkapan Taufiq itu memang bukan barang baru. Tapi, sebagian besar lainnya, terutama para guru bahasa Indonesia, kenyataan ini memang sangat mengagetkan. Apalagi, dalam diskusi itu, ternyata diketahui bila di sekolah-sekolah memang masih jarang yang mempunyai perpustakaan sekolah.

Ketiadaan sarana perpustakaan yang memadai diakui sastrawan dan budayawan, Ajip Rosidi. Padahal, tersedianya buku sastra itu menjadi hal yang pokok ketika mencari acuan mengenai penggunaan bahasa yang benar. "Di sekolah-sekolah, memang kita tidak ada perpustakaan yang lengkap. Kalaupun ada, koleksinya pun bukan buku-buku sastra. Ini karena penyediaan buku oleh pemerintah untuk sekolah itu tidak berdasarkan mutu buku itu. Tapi, berdasarkan pada komisi proyek buku itu berapa besarnya?" kata Ajip.

Terjadinya kekosongan pengajaran bahasa Indonesia yang baik itulah yang dicoba disiasati oleh Taufik bersama Fadli Zon yang dengan 'berbaik hati' bersedia mendirikan Rumah Budaya di Kampung Aie Angek, Kecamatan Sepuluh Koto, Tanah Datar, Sumatra Barat. Keduanya terus berusaha melestarikan salah satu fondasi bangsa, yakni bahasa Indonesia.

"Selain menjadi Rumah Puisinya Pak Taufik, rumah budaya kami juga diniatkan sebagai tempat penyemaian budaya Minangkabau. Kami paham potensi di sini luar biasa. Jadi, kami tingggal memberi wadah sebagai sarana ekspresinya saja," kata Fadli Zon.

Dengan puisi aku mengutuk
Napas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya


Sumber: Republika, Selasa, 28 Juni 2011

[Teraju] 'Elite Indonesia Merendahkan Bahasanya!'

-- Muhammad Subarkah


AJIP Rosidi adalah sastrawan terkemuka Indonesia yang lahir pada 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Ia menulis secara otodidak semenjak usia 14 tahun. Penerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Padjadjaran, Bandung, ini juga disebut sebagai sastrawan Indonesia paripurna. Selain itu, dia juga telah membuktikan diri sebagai juru bicara mengenai kebudayaan Indonesia di luar negeri, terutama ketika dia mengajar di berbagai universitas di Jepang selama 22 tahun. Ajip juga menjadi ketua Yayasan Rancage yang semenjak tahun 1988 setiap tahunnya memberikan penghargaan kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.

Dalam wawancara ini, Ajip menumpahkan kegelisahannya mengenai nasib bahasa Indonesia ke depan. Menurut dia, elite Indonesia merendahkan bahasa nasionalnya. "Mereka minder atau takut dianggap bodoh ketika menyampaikan pikirannya dengan bahasanya sendiri!"

Sekarang ada kecenderungan dalam acara kenegaraan resmi setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, pemimpin negara malah berpidato bahasa Inggris, apa pendapat Anda?

Sekarang ini, ada keadaan yang buruk, para pejabat dan kaum intelektual kita, apalagi kaum selebriti, memakai bahasa gado-gado, atau bisa disebut bahasa gaul dengan logat Jakarta. Ini jelas menunjukkan posisi intelektual mereka seperti apa sebenarnya. Mereka gemar memakai kata atau kalimat-kalimat bahasa Inggris. Padahal, itu tidak perlu. Sebab, ini hanya menunjukkan bahwa bahasa nasionalnya tidak mampu mewadahi ekspresi pikiran dan perasaan dia.

Tindakan itu jelas merendahkan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia sudah terbukti dapat dipakai sebagai bahasa untuk menulis tentang ilmu apa pun juga. Jadi, mereka seharusnya kini sudah punya kemampuan berbahasa Indonesia yang tinggi. Apalagi, pada kenyataannya, setengah abad yang lalu, pada tahun 50-an, ada mata pelajaran atau kuliah yang tidak bisa diberikan dengan bahasa Indonesia. Saat itu, karena pengajarnya guru-guru besar bangsa Belanda, mahasiswanya harus belajar bahasa Belanda. Saat itu, misalnya, ada guru-guru khusus untuk menolong mahasiswa ketika harus membaca teks-teks kuliah berbahasa Belanda. Itu terjadi pada mahasiswa hukum.

Tapi, sekarang hal itu tidak perlu lagi. Mau kuliah apa pun dengan mempelajari ilmu apa pun bisa dilakukan dengan bahasa Indonesia. Dari segi ekspresi seni, sekarang karya sastra Indonesia sudah diakui di dunia internasional. Jadi, bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa sastra juga.

Mengapa pada situasi seperti ini banyak pejabat atau elite kita berbicara memakai bahasa gado-gado? Apakah ini karena dibelit rasa minder?

Di antaranya, ya karena minder itu. Mereka merasa rendah diri dan tidak ingin ketahuan bila tidak bisa mengucapkan kata-kata Inggris yang akibatnya takut dianggap bodoh. Karena dia menganggap bahasa Indonesia tidak dapat mewadahi ilmu, padahal kenyataannya itu bisa. Ini memang terjadi karena dia tidak membaca karya-karya ilmu yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Misalnya, mereka tidak mengikuti karya sastra Indonesia yang dikagumi oleh negara lain.

Selain itu, mereka berbicara dengan bahasa gado-gado, ya karena pelajaran bahasa Indonesia, baik tingkat dasar sampai tingkat akhir, banyak yang salah. Kalau saya baca buku-buku pelajaran kelas enam sekolah dasar, misalnya, di sana siswa diharuskan tahu mengenai apa itu subjek atau predikat. Nah, padahal, apa gunanya. Yang penting kan siswa sekolah dasar itu dalam pelajaran bahasa Indonesia harus dididik supaya bisa mengemukakan pikiran dan perasaannya dengan bahasa itu. Untuk itu, harus ada contoh-contoh. Dan, contoh-contoh yang terbaik itu ada dalam karya sastra.

Ironisnya, di sekolah-sekolah kita tidak ada perpustakaan yang lengkap. Kalaupun ada, koleksinya pun bukan buku-buku sastra. Ini karena penyediaan buku oleh pemerintah untuk sekolah tidak berdasarkan mutu buku itu. Tapi, berdasarkan pada komisi proyek buku itu berapa besarnya.

Terus terang, gaya berbahasa elite kita memang memprihatinkan. Di televisi, saya melihat ada seorang anggota parlemen Ruhut Sitompul yang menyebut Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebutan si Mahfud. Ini kan menghina. Itu artinya, sewaktu di sekolah dasar tidak diajari gurunya bahwa kata si itu tak boleh dipakai sembarangan di depan nama orang, apalagi dilekatkan kepada nama ketua lembaga tinggi negara. Ini menegaskan, bila dia itu bukan hasil dari pendidikan bahasa Indonesia yang baik. Dan sayangnya, ini dia lakukan berulang-ulang. Padahal, ini tidak pantas diucapkan sebagai seorang anggota parlemen yang terhormat.

Menurut Anda, seperti apa perhatian pemerintah dalam penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini? Apakah malah menganggap hal ini tidak penting?

Pemerintah Republik Indonesia semenjak berdiri memang tidak pernah menganggap kebudayaan itu penting. Tak peduli saat zaman Soekarno, Soeharto, atau hingga sekarang, perhatian itu juga tak ada. Sekarang, kebudayaan dianggap sebagai komoditas yang bisa dijual dan dilakukan dengan pariwisata. Dahulu, kebudayaan disatukan dalam departemen pendidikan. Di situ, kebudayaan hanya embel-embel serta dianggap tidak penting. Zaman Presiden Abdurrahman Wahid, kebudayaan dipindahkan ke departemen pariwisata. Ini lebih gila lagi karena kebudayaan dianggap barang jadi yang bisa dijual. Jadi, Pemerintah Indonesia tidak pernah menganggap sebagai hal yang penting.

Dahulu, ada ide harus ada menteri kebudayaan khusus. Saya waktu itu sudah mengatakan itu bukan jalan keluar. Sebab, kalau didirikan lagi, ada kementerian kebudayaan yang nanti berkembang bukan ke kebudayaan, melainkan korupsi. Kementerian malah hanya menjadi sarang korupsi baru.

Anda pernah 22 tahun tinggal dan mengajar di Jepang. Bagaimana penghargaan pemerintah di sana terhadap bahasa mereka?

Ya, sebetulnya juga tidak terlalu istimewa. Di negara-negara lain yang maju, semuanya memang berbuat sama dengan Jepang. Mereka menganggap pelajaran bahasa itu penting. Bahkan, di Jepang, kemampuan berbahasa Jepang menjadi syarat yang sangat penting meski orang Jepang juga mempelajari bahasa asing. Tapi, ada satu hal yang di sana menjadi sangat penting. Hal itu adalah semua ilmu atau semua karya sastra yang istimewa ada dalam bahasa Jepang. Kadang-kadang, bila di Jepang akan diterbitkan buku yang penting dari Amerika Serikat, buku itu terbit bersamaan dengan terjemahannya dalam bahasa Jepang.

Jadi, orang yang bisa membaca karya aslinya bersamaan dengan terbitnya karya terjemahan buku tersebut. Mereka sangat yakin bahwa bahasa Jepang cukup untuk membuat orang berbudaya. Akibatnya, di sana, bila ingin menjadi seniman, budayawan, ilmuwan, maka orang-orang Jepang itu cukup dengan menggunakan bahasanya saja. Begitu juga dengan orang Cina, Inggris, dan Prancis pun seperti itu: bangga akan bahasanya dan antusias menerjemahkan buku asing.

Namun, kita kan tidak. Dahulu, Pak Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, penerjemahan karya sastra dan ilmu dari bahasa ke bahasa Indonesia adalah hal yang mutlak. Bahkan, dia sempat mengusulkan perlunya pembentukan lembaga penerjemahan. Namun, ini tidak pernah dipedulikan oleh pemerintah sehingga Pak Takdir pernah mengatakan, "Kalau begini situasinya, maka lebih baik bahasa Inggris dijadikan saja bahasa nasional di Indonesia. Ini supaya bangsa Indonesia bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan." Ya, sampai sebegitu besar rasa kecewanya Pak Takdir itu.

Melihat situasi yang berkembang menyedihkan itu, orang suka bicara gado-gado dan papan reklame ramai ditulis dalam bahasa Inggris, apakah menurut Anda bahasa Indonesia ke depan masih bisa bertahan?

Kalau dibiarkan seperti ini, bahasa Indonesia akan bernasib seperti bahasa 'PGN' Inggris (bahasa Inggrisnya orang Papua Nugini). Nah, sekarang bagaimana kita sendiri menyikapinya.

Sumber: Republika, Selasa, 28 Juni 2011

[Teraju] Tak akan Melayu Hilang di Bumi?

-- Muhammad Subarkah

MALAYSIA dan Singapura mengalami persoalan serius dalam penggunaan bahasa Melayu.

Kegundahan akan menghilangnya bahasa nasional di Malaysia ternyata juga mulai terasa. Sastrawan dan pakar bahasa Melayu Prof Dr Siti Zainon Ismail mengaku galau atas cara orang Malaysia ketika mengungkapkan pikiran melalui bahasanya. Kalau di Indonesia dikenal berbahasa ala gado-gado, dia menyebutkan, di Malaysia cara berbahasa itu mirip memakan rujak.

"Yang paling degil adalah gaya bahasa kalangan bisnis. Mereka seenaknya saja mencampur-campur bahasa. Mereka berpikir bahasa nasional, yakni bahasa Melayu, sudah tak mampu lagi menampung kebutuhannya dalam menyampaikan perkembangan bisnis," kata Zainon.

Tak beda dengan di Indonesia, Zainon juga mengakui, kalangan pejabat negara mulai jengah untuk berbahasa Inggris dengan benar. Bahkan, mereka terlihat tak malu lagi untuk menggunakannya. Bahkan, tampak sekali mereka silau dengan terus memakai bahasa Inggris di banyak acara resmi. "Kalau jumpa pers, misalnya, ketika ada wartawan bertanya dalam bahasa Inggris, langsung saja percakapan berganti dengan Inggris. Padahal, pejabat negara sudah ada ketentuan mengenai penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional."

Dia menceritakan, sebenarnya semasa Anwar Ibrahim menjabat sebagai menteri pendidikan, sudah ada usaha pembakuan bahasa Malaysia yang akarnya merupakan bahasa Melayu Riau. Saat itu akhiran 'e' yang acap keluar dari kebiasaan percakapan, dalam percakapan formal tetap dibunyikan 'a'.

Zainon mengakui, keinginan untuk tetap mempertahankan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi tetap menyala di Malaysia. Kalangan para pegiat sastra dan budaya terus berusaha mempertahankannya sekuat mungkin. Tapi, hanya kalangan sekelompok 'elite' yang kini cenderung tak menghiraukannya. Bahkan, ketika ada usaha untuk membakukan bahasa Melayu, terdengar tuduhan bahwa itu adalah keinginan untuk meniru cara berbahasa orang Indonesia.

"Kalau di kalangan sastra dan budaya tetap terjaga dan menghormati bahasa Melayu, tapi ini berbeda bila di kalangan bisnis. Umpamanya, ketika ada peluncuran mobil baru. Di pentas, para pebisnis berbicara dengan bahasa Melayu, tetapi ketika konferensi pers, situasi menjadi lain. Soalnya, bila wartawan berbicara bahasa Inggris, menterinya pun akan menjawab dengan bahasa Inggris. Hanya satu menteri, yakni menteri warisan kami yang masih sopan. Kalau yang lain, tidak begitu lagi," tegas Zainon yang pernah mengecap pendidikan seni di Yogyakarta pada dekade 70-an.

Diakui Zainon, kini masyarakat di Malaysia juga mengalami perubahan tata nilai yang dahsyat. Imbas ini pun terjadi pada cara berbahasa kalangan muda dalam 10 tahun terakhir dengan dipakainya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar banyak mata kuliah di Universitas. Padahal sebelumnya, atas dukungan mantan PM Tun Abdul Razak pada 1969, bahasa Melayu digunakan sebagai pengantar dalam kuliah di kalangan perguruan tinggi di Malaysia. Saat itu banyak guru dari Indonesia juga didatangkan ke Malaysia untuk mengajar pelajaran sains di berbagai sekolah dan universitas.

Tetapi, akibat globalisasi, semua menjadi berubah. Pada zaman Mahathir Mohammad atau sekitar dekade 90-an akhir, dinyatakan bahwa sebagian mata pelajaran di kuliah diperbolehkan memakai pengantar bahasa Inggris. Akibat adanya kelonggaran, seolah-olah mulai saat itu, bahasa Inggris boleh digunakan dalam seluruh kuliah. Dan, itu terus terjadi hingga sekarang. "Suasana semakin berarti ketika kalangan muda ingin berbahasa Inggris sebagai cara untuk masuk dunia kerja. Bahasa Melayu pun mulai terlupakan," ujar Zainon.

Melihat kenyataan itu, Zainon dengan nada sedih menyatakan bila tetap dibiarkan tanpa kepedulian dalam beberapa dekade ke depan bahasa Melayu di Malaysia akan punah. Celakanya, kalau bahasa Melayu menghilang dari negerinya, identitas Malaysia sebagai bangsa pun ikut punah.

"Bila bahasa nasional Melayu hilang, bangsa Malaysia juga akan hilang. Sebab, keturunan dari jiwa adalah melalui bahasa. Nah, bahasa mau cantik itu karena kita menjiwainya. Jadi, bahasa adalah simbol dari hati nurani dan kecintaan terhadap bangsa. Sebab, tidak ada suatu bangsa yang bisa berdiri dan mandiri dengan menggunakan bahasa asing," tegasnya.

Tak beda dengan Malaysia, ancaman kepunahan bahasa Melayu di Singapura kini semakin mencolok. Apalagi, besaran etnis Melayu di negeri itu hanya sedikit, yakni sekitar 15 persen dari populasi warga negara secara keseluruhan. Bahasa Melayu kini hanya dipakai di kalangan orang tua. Anak muda etnis Melayu di Singapura kini mengalami keminderan serius ketika menggunakan bahasa ibunya. Bila bercakap dalam bahasa Melayu, mereka merasa sebagai orang bodoh dan dari kalangan kelompok orang tak berpunya.

Pada sisi lain, seperti dikatakan sastrawan terkemuka Singapura, segala bentuk ideal mengenai sosok pahlawan dan tatanan norma yang dahulu merupakan pokok ajaran orang tua yang menjadi sistem nilai hidup sehari-hari anak keturuan puak Melayu pun hilang tak berbekas. Tak ada lagi cerita mengenai penyair kondang Hamzah Fansuri atau kisah yang ditulis Abdulkadir Munsyi.

"Sekarang ini sudah sulit sekali. Anak-anak muda sudah masuk dalam sekolah aliran Inggris. Tak ada aliran bahasa Melayu, Cina, atau Tamil. Dengan memasuki aliran Inggris itu, bahasa Melayu dipelajari sebagai satu bahasa dan tarafnya sebagai bahasa kedua. Melalui survei dalam 10 tahun terakhir, hanya tinggal 2,5 persen orang Singapura yang masih memakai bahasa Melayu dalam percakapan kesehariannya. Lainnya sudah total berbahasa Inggris," kata Suratman. Dia pun memperkirakan pada 2020 di Singapura tak ada lagi orang yang bercakap dalam bahasa Melayu.

Menurut Suratman, gencarnya penggunaan bahasa Inggris di Singapura dimulai sekitar tahun 1980-an. Hal itu ditandai dengan mulai totalnya pemakaian bahasa Inggris di setiap lapisan masyarakat. Pindahnya pemakaian ke dalam bahasa Inggris itu karena alasan praktis, yakni agar mudah mendapat pekerjaan. "Tapi, niat itu kini juga tak menjadi kenyataan. Sebab, kalau hanya ingin mudah mendapat pekerjaan karena bisa berbahasa Inggris, sekarang sudah tak bisa lagi. Ini karena mesti ada kemampuan lain yang harus mereka kuasai juga. Apalagi setiap orang kini semuanya hampir bisa berbahasa Inggris."

Bukah hanya itu, lanjut Suratman, seiring dengan hilangnya bahasa Melayu, sastra Melayu di Singapura pun akan punah. Waktunya juga diperkirakan tidak terlalu lama, hanya 10-20 tahun lagi. "Nah, tanda-tanda ini sudah terlihat. Kecenderungan sekarang, bahasa Melayu hanya dipakai sebagai sarana lulus ujian bila ingin melanjutkan ke universitas atau mendapat pekerjaan tertentu. Itu saja digunakan layaknya password untuk mencapai hal itu."

Bagaimana perhatian Pemerintah Singapura? Suratman mengakui pemerintah cenderung tak peduli karena mereka menfokuskan warga Singapura sebagai warga negara dunia yang itu berarti harus bisa berbahasa Inggris. "Meski begitu, kami akan tetap berjuang. Generasi muda kami persilakan bicaralah dengan bahasa Inggris yang benar-benar Queen English."

"Namun, pada saat yang sama, kami juga berpesan agar kekuatan bertutur dengan berorientasi pada bahasa ibunda kami harus tetap dikekalkan. Sebab, nantinya saya percaya hanya orang Singapura yang pintar yang masih bisa berbicara bahasa Melayu dengan baik," tandas Suratman Markasan. Tak akankah Melayu hilang di bumi?

Sumber: Republika
, Selasa, 28 Juni 2011

[Teraju] Silap Bahasa, Hilang Bangsa

-- Muhammad Subarkah

MESKI mampu berbahasa asing dan terdidik secara Barat, para pendiri bangsa bangga akan bahasa nasionalnya.

"Orang pintar dan pejabat kita bicara mirip kompeni!" Ungkapan kekesalan ini diucapkan seniman, pakar bahasa, dan penulis novel kondang, Remy Sylado. Dia secara terbuka mengkritik sikap angkuh sebagian elite Indonesia yang suka pamer berbicara dengan bahasa 'Indoenglish' atau bahasa 'gado-gado', gaya bertutur tentara kolonial di Zaman Belanda dulu. Campur aduk diselingi patahan kalimat asing.

Belakangan, keresahan publik makin menggelak ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono acap kali berpidato memakai bahasa Inggris sesudah lagu kebangsaan Indonesa Raya dikumandangkan. Padahal, ada aturan hukum dalam setiap acara resmi, pejabat negara harus menggunakan bahasa Indonesia. "Itu melanggar undang-undang," kata budayawan Ajip Rosidi.

Keengganan untuk 'bersolek dengan bahasa asing' ini berbanding terbalik dengan apa yang dipraktikkan para pendiri bangsa ini. Proklamator Bung Hatta, misalnya, ketika berpidato dalam acara penyerahan kedaulatan pada tahun 1950 di Belanda, dengan bangga dan penuh rasa syukur memakai bahasa Indonesia dalam pidatonya. Ia tak merasa jengah menyambut pidato Ratu Juliana yang saat itu berpidato dengan bahasa Belanda.
"Saya punya rekaman filmnya saat Bung Hatta berpidato dalam acara penyerahan kedaulatan itu. Saya dapat arsip film itu dari almarhum Des Alwi," kata penggiat budaya Fadli Zon. Dia mengatakan, tampak Hatta dengan kesadaran penuh menggunakan bahasa itu. "Sama sekali tak ada perasaan minder karena kita tahu Bung Hatta sangat menguasai bahasa asing."

Sikap Hatta ini dapat dimengerti berkat pengalaman panjang hidupnya ketika hidup dalam penindasan kolonial. Dia paham bahasa Indonesia adalah salah satu bentuk perjuangan dan bukti eksistensi adanya sebuah bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Bahasa adalah pilar bangsa, sama dengan Pancasila dan konstitusi negara.

Untuk mencapai sosok bahasa nasional itu, jelas bukan hal mudah. Fakta sejarah menunjukkan banyak elite bangsa pada saat menjelang Sumpah Pemuda enggan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan. Elite priyayi Jawa, misalnya, saat itu sudah menyiapkan 'bahasa Jawa bagongan' sebagai satu alternatif bahasa nasional.

Yang lucu lagi, Van der Plass, selaku pengamat resmi Pemerintah Kolonial Belanda pada waktu Kongres Pemuda yang berlangsung pada 26-28 Oktober 1928, melaporkan bahwa Soegondo Djojopoespito sebagai pemimpin kongres tak mampu berbahasa Indonesia. "Pemimpin kongres, pelajat Soegondo, tidak dapat memenuhi tugasnya dan kekurangan otoritas. Ia mencoba untuk berbicara dengan bahasa Indonesia, tetapi tidak mampu dan membuktikan dirinya mampu melakukannnya dengan baik."

Bukan hanya itu, dilaporkan pula, saat itu ada penolakan secara diam-diam dari beberapa peserta terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Perwakilan dari Putri Indonesia Siti Soendari pada saat kongres masih menggunakan bahasa Belanda. Dia baru dapat berpidato dengan bahasa Indonesia selang dua bulan ke depan, yakni pada Kongres Perempuan Indonesia, 22-25 Desember 1928. Itu pun harus dilakukannya dengan persiapan penuh dan bekerja ekstrakeras.

Bila ada pepatah bahasa menunjukkan bangsa, hal ini sangatlah dimengerti. Contoh ini juga dipraktikkan oleh pejabat negara asing yang lain ketika berkunjung atas nama utusan negara. Salah satunya dicontohkan menteri luar negeri Cina beberapa tahun silam ketika berkunjung ke Gedung Parlemen, Senayan. Pada saat itu, wartawan sibuk bertanya kepada dia dengan bahasa Inggris. Namun, alangkah mengagetkan saat pejabat Cina itu menjawab pertanyaan. Dia menggunakan bahasa Cina yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Menteri itu enggan menjawab pertanyaan dengan bahasa Inggris. Dia adalah diplomat senior dan lulusan Universitas Sorbone di Prancis. Jadi, dia pasti tahu ketika ditanya dengan bahasa Inggris.

Kebanggaan akan berbahasa itulah yang sudah ditunjukkan oleh Bung Hatta dan menteri luar negeri Cina itu. Mereka sadar bahasa adalah jiwa bangsa. Bila anak bangsanya sendiri sudah silap akan bahasanya, bangsa itu pun sebenarnya sudah tak ada lagi. Mereka hanya jadi orang asing di negeri sendiri dan ini jelas menyedihkan.
"Sekarang ini ada keadaan yang buruk, di mana para pejabat dan kaum intekletual kita, apalagi kaum selebriti, bahasanya memakai bahasa 'gado-gado' atau bisa disebut saja dengan bahasa gaul dengan logat Jakarta. Ini jelas menunjukkan posisi intelektual mereka seperti apa sebenarnya. Mereka gemar memakai kata atau kalimat-kalimat bahasa Inggris. Padahal, itu tidak perlu, sebab ini hanya menunjukkan bahwa bahasa nasionalnya tidak mampu mewadahi ekspresi pikiran dan perasaan dia," lanjut Ajip Rosidi.

Ajip yang lebih dua dasawarsa mengajar di berbagai universitas di Jepang menegaskan, tindakan itu jelas merendahkan bahasa Indonesia. Apalagi, bahasa Indonesia sudah terbukti dapat dipakai sebagai bahasa untuk menulis tentang ilmu apa pun juga. "Setengah abad yang lalu, pada tahun 1950-an, banyak mata pelajaran atau kuliah yang tidak bisa diberikan dengan bahasa Indonesia. Tapi, sekarang hal itu tidak perlu lagi. Mau kuliah apa pun dengan mempelajari ilmu apa pun bisa dilakukan dengan bahasa Indonesia. Dari segi ekspresi seni, sekarang karya sastra Indonesia sudah diakui di dunia internasional," ujarnya.

Menurut Ajip, asal penyebab para elite berbahasa 'gado-gado' karena takut dianggap bodoh. Dia merasa minder dan tidak ingin ketahuan bila tidak bisa mengucapkan kalimat Inggris. Namun, pada sisi yang lain juga disebabkan oleh buruknya cara pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah. Mereka hanya ditumpukkan untuk belajar tata bahasa belaka, bukan untuk belajar bagaimana menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat untuk mengekspresikan diri.

"Pelajaran bahasa Indonesia, baik tingkat dasar sampai tingkat akhir, banyak yang salah. Kalau saya baca buku-buku pelajaran kelas enam sekolah dasar, misalnya, di sana siswa diharuskan tahu mengenai apa itu subjek atau predikat. Nah, padahal ini apa gunanya. Yang penting kan siswa sekolah dasar itu dalam pelajaran bahasa Indonesia harus dididik supaya bisa mengemukakan pikiran dan perasaannya dengan bahasa itu," tandas Ajip.

Ancaman amnesia penggunaan bahasa Melayu pun kini sudah terjadi di Singapura dan Malaysia. Sastrawan terkemuka Singapura Suratman Markasan memperkirakan, pada 2020, sudah tak ada lagi orang di negeri itu yang menggunakan bahasa Melayu dalam percakapannya. "Saya menjangkakan ini mudah-mudahan tak terjadi. Melihat situasi yang ada, kira-kira pada tahun 2020 seluruh orang Melayu di Singapura akan ngomong memakai bahasa Inggris."

Hal yang sama juga dikatakan pakar bahasa dan sastrawan Malaysia Siti Zainon. Di kalangan elite, pelaku bisnis, dan pemuda ada kecenderungan menyepelekan penggunaan bahasa nasional, yakni bahasa Melayu. Cara berbahasa mereka campur-campur, mirip seperti makanan rujak. Papan nama atau reklame juga banyak bertebaran dengan bahasa Inggris campur Melayu.

"Di kalangan pejabat, hanya sedikit yang masih konsisten berbahasa nasional. Lainnya, campur-campur. Namun, yang paling degil adalah kalangan bisnis. Mereka cenderung tak hirau lagi akan bahasa nasional. Padahal, bahasa adalah jiwa bangsa. Kalau bahasa nasional sampai hilang, sebenarnya bangsa itu pun tak ada lagi keberadaannya," tegas Siti Zainon.

Sumber: Republika, Selasa, 28 Juni 2011

Monday, June 27, 2011

Cerpen Pilihan Kompas: Dodolitdodolitdodolibret Cerpen Terbaik

-- Pepih Nugraha

JAKARTA, KOMPAS.com - "Dodolitdodolitdodolibret" karya Seno Gumira Ajidarma terpilih sebagai cerita pendek (cerpen) terbaik Kompas 2010 yang diumumkan pada penganugerahan Penghargaan Cerpen Kompas 2011 di Bentara Budaya Jakarta, Senin (27/06/2011) malam. "Dodolitdodolitdodolibret" menyisihkan 17 cerpen lainnya yang dipilih dari 52 cerpen sepanjang tahun 2010.

Seno Gumira Ajidarma (Kompas/was)

Seperti tahun-tahun sebelumnya, ke-18 cerpen itu kemudian dibukukan dengan judul yang sama dengan karya terpilih Seno, "Dodolidodolidodolibret". Cerpenis lain yang karyawanya terpilih antara lain Budi Darma, Ratna Indraswari Ibrahim (alm), Indra Tranggono, Agus Noor, dan Timbul Nadeak.

Pesan singkat "Dodolitdodolitdodolibret" yang menurut pengamat sastra Arif Bagus Prasetyo tidak lebih dari 40 alinea itu mengenai pluratis makna kebenaran beragama. Lewat tokoh Guru Kiplik, cerpen ini memberi pesan kuat bahwa seseorang jangan mudah mengkalim agamanya sebagai paling benar dan menganggap sesat agama lain, juga jangan menganggap pemahaman diri tentang agamanya sebagai yang paling benar di antara pemahaman-pemahaman orang lain.

"'Dodolitdodolitdodolibret' adalah cerita yang sederhana, tetapi kompleks. Di dalamnya terkandung potensi kekayaan makna yang berlapis-lapis, yang mengundang pembaca untuk menggali dan mengaktualkannya lewat kerja interpretasi," tulis Arif dalam epilog buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini.

Lewat tokoh Guru Kiplik yang pandai mengajarkan orang lain "cara berdoa yang benar", sang guru kemudian menghadapi kenyataannya bahwa orang yang pernah diajarinya berdoa secara benar tetapi mereka merasa berdoa secara salah, justru karena cara berdoa yang salah itulah mereka bisa berjalan di atas air. Dalam paradigma dongeng, cara "berdoa yang salah" itulah yang justru benar. Cerpen yang singkat ini kemudian "diterjemahkan" dan dipentaskan oleh Teater Garasi.

Dalam kesempatan yang sama Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas St Sularto mengumumkan Penghargaan Kesetiaan Berkarya yang tahun ini jatuh kepada cerpenis Yanusa Nugroho. Penghargaan serupa sebelumnya diterima Kuntowijoyo, Danarto, Gus Tf Sakai, Budi Darma, dan Ratna Indraswari Ibrahim. Sedang Seno sendiri perrnah meraih penghargaan serupa (cerpen pilihan) sebelumnya di tahun 1993 dan tahun 2007.

Ketua Panitia penghargaan Cerpen Pilihan Kompas 2010, Putu Fajar Arcana mengungkapkan, setiap hari sedikitnya ada 10 cerpen diterima redaksi yang bila dirata-ratakan dalam setahun terkirim lebih dari 3.600-an cerpen. Padahal, hanya sekitar 50-an cerpen saja yang bisa dimuat Harian Kompas dalam setahun.

Acara Penghargaan Cerpen Kompas 2011 ditutup oleh kolaborasi tiga seniman berbeda tetapi menjadi "satu jiwa", yakni gitaris Dewa Bujana, komponis dan dalang Sujiwo Tejo, dan sinden kontemporer yang sedang naik daun, Soimah Pancawati.

Berikut 18 Cerpen Pilihan Kompas 2010, angka bukan menunjukkan peringkat:

1. Dodolitdodolitdodolibret (Seno Gumira Ajidarma), 2. Pengunyah Sirih (S Prasetyo Utomo), 3. Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap (Timbul Nadeak), 4. Ada Yang Menangis Sepanjang Hari (Agus Noor), 5. Kue Gemblong Mak Saniah (Aba Mardjani), 6. Menjaga Perut (Adek Alwi), 7. Di Kaki Hariana Dua Puluh Tahun Kemudian (Martin Aleida), 8. Sepasang Mata Dinaya Yang Terpenjara (Ni Komang Ariani), 9. Klown dengan Lelaki Berkaki Satu (Ratna Indraswari Ibrahim), 10. Solilokui Bunga Kemboja (Cecilia Oday), 11. Sonya Rury (Indra Tranggono), 12. Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku (Herman RN), 13. Ordil Jadi Gancan (Gde Aryantha Soethama), 14. Rongga (Noviana Kusumawardhani), 15. Lebih Kuat dari Mati (Mardi Luhung), 16. Ikan Terbang Kufah (TriyantoTriwikromo), 17. Sirajatunda (Nukila Amal), 18. Pohon Jejawi (Budi Darma).

Sumber: Oase Kompas.com, Senin, 27 Juni 2011

Sunday, June 26, 2011

Potret dan Imajinasi Kekuasaan

-- Bandung Mawardi

ALKISAH, sebuah kisah di suatu zaman saat politik menggelitik dan seorang penguasa mendefinisikan diri. Kebermaknaan kekuasaan, eksistensi diri, dan penghormatan simbolis masih ada. Semua diperantarai oleh potret. Representasi diri, tanda kehadiran. Potret memang bercerita, memiliki tuah kekuasaan. Orang merasai itu kala 1950-an dan 1960-an di sebuah negeri Indonesia.

Seorang polisi menemui Presiden, memberi laporan ganjil. Ia menjelaskan kabar baik tentang situasi politik, rakyat, dan martabat penguasa. Laporan diawali kalimat-kalimat impresif: "Rakyat sangat menghargai Bapak. Mereka mencintai Bapak. Dan terutama rakyat jelata. Saya mengetahui karena saya baru menyaksikan sendiri suatu keadaan yang menunjukkan penghargaan terhadap Bapak." Jeda, sela percakapan. Napas diembuskan, tanggapan Presiden dinantikan dalam tampilan wajah dan bahasa. Polisi itu telah menunaikan sejenis penghormatan. Kalimat-kalimat seolah memenuhi kodrat hamba memuliakan tuan, birokratis. Ungkapan "saya baru menyaksikan sendiri" adalah kunci ada kebenaran dalam laporan. Si pelapor adalah "mata peristiwa". Kesaksian penting dalam menjamin lakon kekuasaan dan kondisi psikologis-batiniah seorang penguasa.

Bukti rakyat mencintai Presiden? Si polisi melaporkan, inspeksi rutin ke sebuah kompleks pelacuran membuat aparat terperangah. Pada sebuah pemeriksaan ditemukan pemandangan mengejutkan, fakta. “Mereka (polisi) menyaksikan potret Bapak, Pak. Digantungkan di dinding,” kata si polisi. Kebenaran informasi ini membuat si polisi gugup, ada gemetar atas nama kekuasaan. Presiden terpancing meminta penjelasan komplet. Si polisi menyanggupi meskipun gugup: "Di tiap kamar, Pak. Di tiap kamar terdapat, sudah barang tentu, sebuah tempat tidur. Dekat tiap ranjang ada meja dan tepat di atas meja itu, di situlah gambar Bapak digantungkan."

Gugup menantikan perintah dan tanggapan Presiden. Sosok penguasa itu, Sukarno, menerima laporan dengan tenang dan mungkin takjub. Rakyat masih mencintai, menghormati, dan memuliakan si penguasa. Si polisi justru salah tingkah, merasa keberadaan potret-potret Presiden di kamar-kamar di sebuah kompleks pelacuran adalah ketidakwajaran, aneh. Si polisi memberi usulan dan minta perintah: "Apakah akan kami pindah gambar Bapak dari dinding-dinding itu?" Perintah jadi alasan pengabdian untuk hamba. Makna perintah adalah ukuran taat, setia, profesionalitas, dan nama baik.
"Tidak. Biarkanlah aku di sana. Biarkan mataku yang tua dan letih itu memandangnya," Sukarno menjawab lantang. Kharisma adalah jawab atas operasionalisasi kekuasaan, kebermaknaan penguasa, dan relasi intim manusiawi. Pelacur menghormati Presiden dengan cara menggantung poster di kamar. Sosok Sukarno hadir, dirasai sebagai bentuk pengakraban rakyat. Bimbang dan gugup polisi itu kehilangan alasan. Potret penguasa justru menemukan makna di sebuah kompleks pelacuran, antusiasme membaca kekuasaan dan bentuk serapan atas kharisma penguasa. Sukarno menerima laporan itu takzim, cerita menakjubkan untuk kondisi labil kekuasaan masa itu.

Kita mendapati percakapan itu dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1996) susunan Cindy Adams. Sukarno memang keramat tapi menceritakan diri tanpa sungkan. Buku itu bertaburan cerita-cerita mengejutkan. Ada mitos kekuasaan, ada puja perempuan, petualangan intelektual, selebrasi imajinasi, dan pengabdian politik. Sepenggal cerita potret Presiden di kompleks pelacuran dan kesan Sukarno adalah suguhan atas percik permenungan manusiawi dalam bingkai kekuasan.

Sukarno turut mengonstruksi Indonesia, memimpin, dan menanggung popularitas. Masa-masa terang itu pelan-pelan redup dalam lakon politik saat ada sekian resistensi dan desakralisasi atas sosok penguasa dan kekuasaan (Orde Lama). Sukarno mengakui cerita itu terjadi di masa sulit, rawan, dan gamang. "Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja mirip dewa," ujar Sukarno. Sosok ini memang kontroversial. Potret jadi nukilan dari biografi diri dan representasi nasib kekuasaan.

Mochtar Lubis pun mencatatkan ihwal potret dan Sukarno dalam sebuah cerpen satire, Potret (1982). Alkisah, Pak Darmo berusia 60 tahun, menekuni pekerjaan sebagai pedagang poster. Dagangan poster Sukarno, Mao Tse Tung, dan Aidit mendatangkan rezeki untuk menghidupi keluarga. Pak Darmo mafhum, rakyat gandrung pada Sukarno, presiden kharismatis. Mereka mau membeli dan memasang poster itu di dinding-dinding rumah, bukti representatif kehadiran sosok dan kekuasaan dalam intimitas keluarga. Rakyat memerlukan potret, memerlukan sesuatu untuk diimajinasikan dan dikisahkan.

Potret mengalirkan rezeki, potret Sukarno membuat seorang pedagang sanggup menafkahi keluarga. Laris dan digandrungi rakyat. Potret Sukarno mirip medium untuk identifikasi nasionalisme, fanatisme, patriotisme, dan heroisme. Keberadaan potret Sukarno di rumah-rumah rakyat menandai kekuasaan meresapi dalam takjub visual dan imajinasi-naratif. Potret turut menyebarkan dan menguatkan makna-makna kekuasaan. Masa itu, 1960-an, Sukarno tampil dalam keberlimpahan potret. Melihat potret Sukarno, melihat kekuasaan dan menikmati narasi besar sejarah Indonesia.

Rezim politik berganti, Orde Lama telah tamat dan Orde Baru ingin tegak. Pedagang poster tak sadar. Dagangan tak laku, tak ada rezeki. Rakyat tak mau membeli lagi potret-potret Sukarno. Pak Darmo tak curiga atas situasi tak menguntungkan, tak ada tanya. Ia cuma mengerti susah mendapat rezeki. Tuah Sukarno seolah musnah. Rakyat mulai mencari potret-potret Soeharto.
Pak Darmo tak mengerti. Di jalan-jalan, di kampung-kampung, ia tetap menjajakan potret-potret Sukarno kendati tak laku. Ulah ini membuat sekelompok orang marah dan menghina. Pak Darmo pun menjadi korban dari fanatisme politik. Cerita potret Sukarno adalah cerita getir di permulaan rezim Orde Baru.

Sekarang, kita mengenangkan Sukarno dan Soeharto melalui potret. Kita membaca sejarah kekuasaan, pasang surut politik, saat memandangi potret dan menautkan dengan pelbagai referensi politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Potret mengisahkan manusia, zaman, dan arus kekuasaan. Potret dua penguasa itu perlahan bersaing untuk mendekam di lubuk rakyat. Usai keruntuhan Orde Baru, potret-potret Sukarno melimpah sebagai simbol pandangan politik dan fanatisme.

Potret Soeharto berkurang, mendekam dalam ingatan tanpa tatapan mata. Potret-potret Soeharto jarang digantungkan di dinding rumah rakyat. Potret Sukarno masih berkisah karena situasi politik memungkinkan ada selebrasi imajinasi historis-politis. Potret-potret itu bisa mengadakan dan menghilangkan narasi kekuasaan. Begitu.

Bandung Mawardi
, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juni 2011

[Buku] Novel Sejarah Lamongan

Judul buku : Pendekar Sendang Drajat Memburu Negarakertagama

Penulis : Viddy A.D. Daery

Penerbit : Metamind (Tiga Serangkai), Februari 2011

Tebal : 146 halaman


PENERBITAN novel-novel bergenre sejarah tampaknya sedang menjadi tren belakangan ini. Jika menilik rak-rak di toko buku, banyak novel-novel sejarah, mayoritas berlatar Jawa di masa silam.

Sastrawan Viddy A.D. Daery menerbitkan novel serial Pendekar Sendang Drajat Memburu Kertagama. Setelah meneliti sejarah Sendang Duwur dan Lamongan, penulis yang sekaligus keturunan Sunan Sendang Duwur, kakek Sendang Drajat, kemudian merekonstruksinya ke dalam novel. Tentu bukan hal mudah merekonstruksi sejarah dan memberi interpretasi baru ke dalam bentuk karya sastra.

Novel yang berkisah seputar Kerajaan Majapahit abad XV dibuka dengan deskripsi tokoh Pendekar Sendang Drajat alias Raden Ahmad yang bertugas menjaga keamanan Kasunanan Drajat dan Sendang Duwur. Dia hendak menyunting Dewi mengajaknya berjalan di sekitar Pelabuhan Kemantren. Dalam tamasya itu, mereka memergoki perkelahian dua pihak yang terjadi dalam wilayah pengawasannya.

Salah satu pihak yang berkelahi ternyata rombongan pendekar dari Melayu; Tumenggung Ismail bersama empat anak buahnya. Para pendekar pengembara dari Johor itu ke tanah Jawa hendak menyepi dari kekacauaan politik di tempatnya. Selain itu, mereka hendak ke ziarah ke Candi Gajah Mada. Menurut mereka, dalam peti di Candi Gajah Mada ada buku kuno berjudul Desa Warnana atau Kertagama yang banyak diburu banyak pendekar Nusantara, seperti dari Pasai, Banjar, Bugis, dan sekitarnya.

Pangeran Sendang Drajat merasa malu karena sedikit sekali yang dia ketahui tentang Kerajaan Majapahit yang telah runtuh. Dia hanya tahu dua nama besar dari Majapahit, Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Beberapa hari setelah pernikahannya dengan Dewi, Pangeran Sendang Drajat langsung mengemban tugas. Dia hendak mengantar para tamu dari negeri jiran ke tempat yang dituju. Perjalanan mereka tak mulus. Banyak kendala dalam perjalanan, misalnya dihadang para begundal yang hendak merampas harta mereka, bertemu Ratu Buaya Jamang. Dari ratu buaya ini, para pendekar mendapat informasi tentang Kesultanan Demak yang telah berkali-kali membantu Kesultanan Johor berperang melawan Portugis.

Candi Gajah Mada berdekatan dengan makam ibunda Gajah Mada, tepatnya di atas bukit di Desa Modo. Untuk ke sana harus menempuh perjalanan sungai dan darat.

Langit Kresna Hariadi, penulis novel sejarah, dalam endosemen buku ini, belajar sejarah tanpa berniat belajar sejarah.
Novel ini menjadi pintu masuk untuk mengetahui sejarah Lamongan di masa silam yang terletak di sebelah utara Majapahit, dan dahulu bernama Pamotan Tuban. Sebelum memasuki cerita silat dan petualangan Raden Ahmad, pembaca buku ini juga bisa melihat sejarah singkat Kabupaten Lamongan, Kerajaan Majapahit, dan silsilah pemimpin-pemimpin kala itu.

Dengan bahasa yang komunikatif, buku ini bisa dibaca semua kalangan, terutama pelajar dan anak muda zaman sekarang yang mungkin telah abai pada sejarah bangsanya di masa silam. Novel ini menjadi jembatan untuk mengetahui sejarah tanpa harus mengerutkan dahi. Selain itu ada unsur wisata dan budaya.

Jika pembaca merasa jalan cerita novel ini terkesan berbau film atau seperti sinetron-sinetron di televisi, barangkali sesuai dengan pengalaman penulis dalam menggarap skenario.

Akhir novel ini tidak menjelaskan bagaimana ujung perjalanan Pangeran Sendang Drajat dan empat tamunya dari Malaka. Pembaca jadi penasaran mengetahui kelanjutan kisah. Sepertinya penulis sengaja menyimpan cerita dan menyiapkan akhir perjalanan Pendekar Sendang Drajat dan empat pendekar itu dalam sekuel novel selanjutnya.

Arman A.Z., pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Juni 2011

Mal Permainan Simbol Sosial, Pembentukan Identitas Kultural

-- Marhalim Zaini

HARI ini, banyak orang seperti keranjingan mall. Pusat perbelanjaan modern abad ke-21 itu, yang tumbuh menjamur di kota-kota, tampaknya telah demikian memikat hasrat banyak orang untuk mengunjunginya. Tidak hanya pada hari libur, tapi hampir setiap saat mall senantiasa ramai. Meskipun mall adalah sebuah pasar, tapi mereka yang datang ke mall tidak semata bertujuan melakukan transaksi jual-beli. Sebab rupanya, konsep jual-beli yang dimiliki oleh pasar alamiah telah dilampaui oleh konsep pasar yang dikembangkan mall. Sebuah konsep hiperkomoditi, yang mengembangkan ekstrimitas pasar, yang menyediakan “apa saja” yang dibutuhkan oleh manusia modern. Maka mall telah berkembang menjadi pusat pembentukan gaya hidup. Mall, menurut Yasraf A Piliang (2004), telah mengkonsentrasikan dan merasionalisasikan waktu dan aktivitas masyarakat, sehingga menjadi pusat aktivitas sosial dan akulturasi, tempat pembentukan citra dan eksistensi diri, sumber pengetahuan, informasi, tata nilai, dan moral.

Maka, orang betah berlama-lama di mall. Dua anak saya yang masih balita, langsung bersorak-sorai kegirangan begitu saya menyebut kata mall di telinga mereka. Analisa saya, yang membuat mereka girang adalah suasana mall yang ramai dan meriah, selain yang pasti mall adalah “syurga” mainan bagi anak-anak. Pelajar di beberapa SMA di Pekanbaru, tempat saya pernah memberi workshop kepenulisan dan teater misalnya, kerap saya temui nongkrong alias hang out di kafé mall, beberapa yang lain saya temui sedang shopping, yang lain lagi sedang asyik bermain game. Tentu, tak ketinggalan berbagai ragam status sosial telah demikian melebur dalam hiruk-pikuk keramaian mall dengan membawa “kepentingan”-nya masing-masing.

Artinya, setiap orang yang datang ke mall, sedang mendekatkan diri mereka dengan simbol-simbol sosial yang terkait (langsung atau tidak langsung) dengan dirinya. Simbol-simbol yang kemudian menghadirkan makna tersendiri bagi tiap orang. Sebab, makna dari suatu simbol, menurut Herbert Blumer dalam Symbolic Interactionisme, Perspective and Methode (1969), muncul setelah adanya interaksi antara seseorang dengan simbol tersebut. Bagi anak saya yang balita itu, beragam permainan yang tersedia di mall, adalah simbol yang bermakna baginya sehingga menimbulkan reaksi kegirangan dalam diri mereka. Para remaja, menemukan simbol-simbol permaknaan diri mereka di mall, dengan kafé sebagai “ruang publik” modern bagi representasi dunia pergaulan mereka, misalnya. Atau, gaya hidup shopping mall, tampak sedang memanjakan siapa saja untuk setiap saat disuguhi simbol-simbol (seperti merk sepatu, fashion, tas, alat-alat kesehatan, barang-barang elektronik, jenis makanan, dan lain-lain) untuk “kepentingan” pemenuhan hasrat berbelanja mereka.

Interaksi-interaksi yang melahirkan makna yang dimaksud Blumer itu menunjukan sebuah premis bahwa manusia melakukan berbagai hal (termasuk berbagai aktivitas mereka di mall, misalnya) atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Artinya, bukan “hal” itu yang membuat orang bereaksi, akan tetapi “makna”. Makna apakah yang ditimbulkan dari “hal” semacam merk sebuah produk HP, misalnya? Apakah seseorang membeli HP karena sekadar fungsinya sebagai alat komunikasi atau sesungguhnya ia sedang membeli sebuah “makna” tertentu dari merk HP sebagai simbol untuk kemudian menunjukkan status sosial, atau untuk masuk ke dalam persaingan “gaya hidup” modern. Maka, Blumer, hendak menunjukkan premis yang lain, bahwa “makna” dimodifikasi melalui sebuah proses penafsiran yang dilakukan oleh seseorang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang sedang dihadapi.

Simbol Gaya Hidup Konsumerisme
Persoalan berikutnya yang segera muncul adalah, simbol-simbol yang kini hadir di sebuah panggung sosial bernama mall itu, benarkah tafsir atas maknanya telah dimodifikasi oleh (hanya) “seseorang” sebagai konsumen? Tentu, secara lebih luas, kita harus kemudian melihatnya bahwa ada kekuatan besar di baliknya yang memodifikasi simbol, berikut maknanya. Yakni, kekuatan besar yang terkait dengan budaya konsumerisme yang kemudian membentuk gaya hidup seseorang. Dalam diskursus kapitalisme mutakhir, perkembangan masyarakat post-industri juga disebut sebagai masyarakat konsumer. Menurut Yasraf (2004), ada tiga kekuatan (kekuasaan) yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi objek-objek estetik; yakni kekuasaan kapital, kekuasaan produser, dan kekuasaan media massa.

Tiga kekuasaan besar tersebut, kemudian menghadirkan simbol-simbol “estetik” baru lewat produk-produk hiburan, informasi, bahasa, makanan, dan sebagainya, yang kemudian melahirkan gaya nonton, gaya makan, gaya berbicara, gaya berpakaian, gaya rambut, gaya sepatu, dan lain-lain. Dan mall, sebagai sebuah ruang sosial yang pluralistik, yang heterogen, dan global, adalah tempat di mana berbagai simbol dari gaya hidup itu menemukan signifikansinya. Maka boleh dikata mall sendiri adalah simbol representatif dari gaya hidup yang disebut “modern” itu, yang konsumtif itu. Produk-produk konsumer itulah kemudian yang menjadi medium pembentukan personalitas, citra, untuk menemukan makna hidup.

Karena consumer culture menempatkan “konsumsi” sebagai faktor penting dalam mengubah nilai dan tatanan simbolis, maka kecenderungan yang semacam ini, menurut Featherstone (1990), yang membuat identitas dan subyektivitas seseorang mengalami transformasi. Proses transformasi itu terjadi misalnya ketika seseorang mulai mengekspresikan gaya hidupnya dengan kepemilikan objek-objek dan penggunaan benda-benda, dengan penekanan utamanya tidak pada nilai fungsionalnya, akan tetapi pada nilai-nilai simbolisnya. Kenapa begitu? Menurut Irwan Abdullah (2007), ada tiga cara yang bisa menjelaskan ini; (1) kelas sosial telah membedakan proses konsumsi di mana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi dari nilai simbolis yang berbeda, (2) barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadiran, dan (3) konsumsi citra (image) di satu pihak telah menjadi proses konsumsi yang penting karena merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok.
Maka, di mall, proses transformasi itu lebih disebabkan oleh perebutan simbol-simbol sosial yang terus terjadi dalam proses konsumsi, dengan kecepatan tinggi, mengiringi kecepatan pasar global. Perebutan simbol-simbol sosial ini pada gilirannya justru menjadi semacam permainan yang diatur oleh sebuah sistem besar bernama kapitalisme. Sebuah permainan yang memperebutkan makna-makna dari nilai-nilai simbolis yang sesungguhnya “semu.” Betapa tidak, ketidakpuasan orang untuk memiliki benda/barang lebih dari satu dengan merek dan desain yang terus bergerak, misalnya, dapat menunjukkan yang “semu” itu. Dan jika kemudian memakai tiga cara Irwan di atas untuk melihat fenomena ini lebih jauh, maka proses identifikasi simbolis itu juga bisa jadi bernilai “semu.” Simbol-simbol dan citra (image) yang menjadi wakil dari kehadiran seseorang dari sebuah proses konsumsi, pun menjadi sebuah kehadiran yang “semu.”

Pembentukan Identitas Kultural
Tampaknya, kapitalisme paham betul bahwa melalui penguatan simbol-simbol dalam budaya konsumerisme, sebuah identitas kultural dapat dibentuk. Identitas yang ujung-ujungnya untuk mengukuhkan ekonomi kapitalisme itu sendiri agar dapat terus berputar. Bahwa melalui pembentukan gaya hidup konsumer-lah kemudian identitas kultural masyarakat modern itu terbentuk. Sebab, kita yakini bahwa kebudayaan itu merupakan sistem simbol, merupakan suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol (Geertz, 1973), yang ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu (Harris, 1968). Maka, agaknya, mengembalikan konsepsi manusia sebagai animal symbolicum dalam teorinya Ernst Cassirer (1987), dalam konteks ini menjadi niscaya.

Bahwa manusia-manusia yang datang ke mall itu, berasal dari berbagai identitas kultural mereka masing-masing, dengan membawa simbol-simbol “lokal” mereka masing-masing, adalah sebuah proses perebutan makna tersendiri. Di sana, sesungguhnya tengah terjadi tarik-menarik identitas simbol “lokal” dan simbol-simbol modern. Artinya, tidak juga sepenuhnya benar jika pemilik urban space semacam mall itu adalah masyarakat kelas menengah atas dengan identitas kultural kota yang berorientasi pada sifat-sifat yang lebih rasionalistik. Sebab, sebagai ruang terbuka yang bisa “melahap” siapa pun, mall tidak memilih orang, tapi berkomunikasi dengan bahasa konsumsi, barang dan uang. Maka, “orang kampung” pun kemudian menjadi “mangsa” paling dicari untuk menarik mereka ke dalam pusaran arus global kapitalisme. Dan bukti konkretnya, betapa ibu kota Jakarta misalnya, merasa demikian kewalahan membendung proses urbanisasi yang terus meningkat setiap tahunnya. Dan bukankah menjadi turut yakinlah kita bahwa pada tahun 2025, diprediksi 60,7 % masyarakat Indonesia akan berada di kota (Abdullah; 2004).

Justru pada perkembangannya, simbol-simbol lokal tradisional itu oleh kapitalisme direproduksi untuk menghadirkan ingatan kolektif orang atas masa lalu, atas kenangan-kenangan yang membangkitkan romantisme. Barang-barang lama yang “diberi” nilai antik, misalnya, adalah satu teknik reproduksi itu. Di sini, perebutan makna simbolik yang saya sebut di atas, telah berubah pola menjadi “permainan” simbolik yang seolah menunjukkan upaya kapitalisme untuk memberi ruang bagi yang tradisional untuk turut serta dalam pembentukan identitas kultural tersebut. Meskipun, kalau dilihat dengan lebih jeli, proses reproduksi lokalitas ini telah menempatkan “tradisi” sekedar menjadi barang, yang sudah pasti mengalami proses materialisasi. Upacara-upacara ritual tradisional misalnya, direproduksi untuk dikonsumsi sebagai “barang”, sebagai komoditi, yang menyebabkan terjadinya pendangkalan-pendangkalan nilai, mengalami proses desakralisasi. Dan jika dilihat dari kacamata eskploitasi budaya, kapitalisme sesungguhnya merupakan ancaman terhadap keutuhan dan keaslian budaya lokal beserta pilar-pilar identitas yang membangunnya (Piliang, 281).

Maka pembentukan identitas kultural yang seperti apakah yang terjadi dalam permainan simbolik semacam ini? Memang benar, jika identitas merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari kebudayaan, maka perubahan menjadi niscaya. Identitas budaya menurut Stuart Hall dalam bukunya Cultural Identity and Diaspora (1990) juga disebut sebagai identitas etnik, yang memang dapat dilihat dari dua sudut pandang: (1) identitas budaya sebagai sebuah wujud (identity as being) dan (2) identitas budaya sebagai proses menjadi (identity as becoming). Artinya, sebagai sebuah wujud, identitas itu memang tampak telah terbentuk, namun bentuk-bentuk itu kemudian tidak diam, tapi terus berubah dalam proses “menjadi.” Karena identitas menurut Jonathan Rutherford, adalah sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang. Yang artinya, identitas tidak bersifat a-historis. Ada proses sejarah yang membentuknya dalam kurun waktu yang bertahap.

Masyarakat Liminal dan Homogenisasi Budaya
Lalu, jika identitas dilihat sebagai proses “menjadi” mestinya kita harus pula sepakat bahwa tidak akan ada istilah “krisis identitas” itu, karena identitas itu belum selesai membentuk dirinya. Akan tetapi, ketika warisan kultural masa lalu yang dianggap stabil oleh masyarakat lokal, tiba-tiba harus digeser oleh pengaruh-pengaruh dari luar, maka identitas kemudian menjadi isu besar, yang berkonotasi dalam bebagai aspek kehidupan sosial-politik-budaya. Meskipun, pada kenyataan lain, perebutan identitas ini kadang tidak sepenuhnya dan lebih banyak tampak pada permukaan realitas sebagai sebuah perlawanan yang bersifat ideologis. Sebab, rupanya, diam-dam masyarakat kita memang cukup menikmati berada di wilayah antara (in between) ini, wilayah yang disebut oleh Victor Turner sebagai liminality dalam bukunya The Ritual Process, Structure and Anti-Structure (1966). Menurut Turner, dalam sebuah proses peralihan, posisi liminality berada di perbatasan, di antara preparation dan integration. Artinya, masyarakat yang liminal itu adalah masyarakat yang berada di wilayah antara tradisi dan modern, di antara pertanian dan industri. Sebuah posisi yang mestinya dapat dilalui dalam waktu yang singkat, sebuah wilayah transit.

Namun, pada kenyataannya, bukankah posisi liminal ini memberi sebentuk “identitas kultural” baru bagi masyarakat kita? Sebuah identitas abu-abu. Identitas yang bisa memberikan ruang yang bebas untuk bisa masuk ke mana pun. Inilah juga yang Turner sebut sebagai anti-structur itu. Posisi egaliter yang tak masuk dalam kategori struktur sosial mana pun, yang sesungguhnya secara tidak langsung dapat menandai adanya proses perjalanan menuju perubahan status seseorang dari satu komunitas ke komunitas yang lain. Apakah kemudian perubahan itu berhasil atau tidak, tampaknya tidak lagi menjadi penting. Yang pasti, berbagai upaya untuk menandai yang “abu-abu” ini sebagai identitas kini telah pun banyak dilakukan komunitas-komunitas di Indonesia yang selama ini termarjinalisasikan, semisal perjuangan kaum gay. Maka apakah mall, dengan konsep fetisisme komoditinya, juga sedang menggiring masyarakat ke arah pembentukan identitas yang liminal itu? Atau, justru mengarah pada homogenisasi budaya dalam konsep global culture?

Apa yang dimaksud sebagai homogenisasi di sini adalah bahwa ada kecenderungan proses penyeragaman budaya dalam bingkai imperialisme budaya. Sosok mall sebagai simbol industri kapitalis, tampak hadir sebagai tawaran penyeragaman konsumsi. Meskipun, kadang penyeragaman tersebut dikaburkan oleh konsep familiarisasi terhadap keanekaragaman kultural, yang seolah mall sedang memfasilitasi dan mengakomodasi berbagai kekayaan kultural yang ada di masyarakat. Namun pada kenyataannya, model dan strategi yang dipakai kapitalisme tidak dapat meyakinkan sebuah keanekaragaman akan bisa duduk berdampingan dalam sistem kapital. Maukah misalnya lembaga ekonomi global semacam IMF (International Monetary Fund) memahami kompleksitas relasi-relasi kultural tersebut? Justru, kesan yang kemudian muncul adalah lembaga tersebut memaksakan model budaya ekonomi yang seragam di berbagai tempat (Piliang, 2004).

Maka, proses pembentukan identitas kultural dalam permainan simbol-simbol sosial yang ditawarkan oleh kapitalisme hari ini, dapat dikatakan cenderung mengarah pada penyeragaman (homogenisasi). Meskipun, harus pula diakui bahwa sifat kebudayaan yang memang terbuka terhadap perubahan itu, dapat memberi jalan alternatif bagi terbentuknya identitas-identitas kultural baru, yang justru tidak diprediksi sebelumnya. Sebuah karakter identitas yang bisa jadi memang liminal, bisa jadi juga rasional sekaligus kadang bisa irasional. Bisa menjadi modern dan bisa juga menjadi tradisional pada saat-saat tertentu. Dan, mall, tetap saja menjadi sebuah ruang alternatif bagi proses “pematangan” sebuah identitas kultural dalam proses pembentukannya, yang terus bergerak.

Marhalim Zaini, sastrawan Riau, pemerhati sosial-budaya, sedang studi di Pascasarjana Antropologi UGM. Tinggal di Jogjakarta

Sumber: Riau Pos, Minggu, 26 Juni 2011

Saturday, June 25, 2011

Krisis Moral dan Kehancuran Bangsa

-- Ahmad Ubaidillah

KERUSAKAN moral yang menimpa bangsa Indonesia sudah melewati tahap yang sangat membahayakan karena kerusakan moral tersebut sudah masuk di segala bidang dan dilakukan hampir seluruh komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat umum.

Di sini kita menyaksikan adanya suatu fenomena sekaligus tragedi yang sungguh berseberangan dengan suasana keagamaan. Dengan mudahnya kita bisa menyaksikan perilaku pejabat pemerintah atau sekelompok orang yang tidak mau tahu dengan segala bingkai moral. Pelanggaran moral baginya dirasakan enteng saja meskipun pesan-pesan agama yang sering didengarnya mengecam perilaku tersebut. Dari dari ancaman yang ringan sampai ke tingkat yang sangat keras dan mengerikan. Bagaimanapun kecilnya pelanggaran moral, kalau hal itu menggejala dan sampai menjadi budaya suatu masyarakat, maka ia akan dapat merapuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Padahal bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Simbol-simbol untuk itu sangat jelas terlihat dari pernyataan keagamannya dalam KTP. Pembangunan tempat ibadah terus bertambah dari waktu ke waktu. Dari tempat-tempat suci tersebut berkumandang seruan dan ajakan untuk berbuat kebaikan. Jumlah orang yang naik haji dari tahun ke tahun tidak pernah berkurang. Media massa, baik cetak maupun elektronik, senantiasa memberikan tempat dan ruang untuk pencerahan agama. Bahkan dalam kurun terakhir, buku-buku yang bernuansa keagamaan banyak diminati.

Namun, kenapa perilaku-perilaku yang melabrak moral terus saja terjadi? Di sini negara dan moral harus disatukan. Artinya, seluruh komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat umum) harus mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan moralitas yang tinggi. Mereka tidak harus melakukan sesuatu tanpa landasan moral yang tinggi.

Kalau kita berbicara tentang negara dan moral, sejak zaman purba, para ahli sudah membicarakan hubungan negara dan moral. Para filsuf Yunani, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, telah membincangkan tentang moral dan moralitas dalam hubungannya dengan kehidupan manusia pada umumnya. Menurut mereka, moralitas bersifat naturalistik, rasionalistik, dan objektivistik.

Moralitas bersifat naturalistik, dalam arti bahwa moralitas dipandang sebagai bagian dari dunia alami dan umat manusia dipandang sebagai sangat peduli akan pencapaian hidup yang baik, di dunia kini maupun di dunia kelak. Moralitas juga bersiafat rasionalistik dan objektivistik, dalam arti bahwa mereka percaya dan meyakini akan adanya wujud kebenaran yang objektif, dan bahwa akal budi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dari kebenaran itu.

Di dunia Islam, antara lain muncul seorang al-Ghazali (1058—1111) dengan teorinya yang menggabungkan negara dengan moral, yang dinamakannya kemudian dengan Siyasatul Akhlaq atau negara moral. Bagi al-Ghazali, negara dan moral tidak lagi merupakan dua hal yang terpisah, tetapi keduanya harus disatupadukan menjadi satu badan yang kompak. Menurut dia, negara yang tidak mempunyai moral berarti keruntuhan; dan sebaliknya moral yang tidak sejalan dengan negara adalah kelumpuhan.

Munculnya tulisan ini yang mengaitkan negara dan moral tidak lain adalah kegelisahan penulis akan adanya bencana besar yang telah menimpa bangsa Indonesia saat ini. Seperti yang dikatakan al-Ghazali, ketika bangsa atau umat itu sudah dihinggapi oleh suatu penyakit yang berbahaya, yaitu krisis moral. Dalam waktu sekejap, penyakit ini akan mengancam keutuhan suatu bangsa atau umat tersebut. Krisis moral dengan sendirinya akan menyebabkan terjadinya krisis yang bersifat multikompleks, yaitu krisis di semua bidang kehidupan bangsa. Baik ekonomi, politik, hukum, maupun sosial.

Dalam bidang ekonomi, misalnya, krisis moral akan membawa bangsa menuju kehancuran ekonomi. Kemiskinan dan pengangguran akan mewarnai kehidupan bangsa akibat salah kelola sumber daya ekonomi, seperti pertambangan, minyak bumi, dan batu bara.

Dalam bidang politik, krisis moral akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Para pejabat negara mempergunakan kekuasaannya secara salah. Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Kekuasaan dipergunakan untuk memenuhi nafsu serakah individu dan kelompoknya. Jika pihak atasan sudah berbuat demikian, para pegawai di tingkat bawah mengambil teladan atas perilaku buruk atasannya itu. Apabila yang terjadi demikian, pemerintahan merupakan suatu alat pengrusak di tangan orang-orang yang jahat dan rakus.

Krisis moral yang menimpa di ranah hukum pun tidak kalah dahsyat. Lihat saja misalnya banyaknya para penegak hukum (kejaksaan, kepolisian, kehakiman) yang terlibat korupsi dan suap yang saat ini santer diberitakan berbagai media massa. Kita juga tidak lupa akan krisis moral bangsa ini yang mengakibatkan kejujuran dikecam habis-habisan. Masih banyak krisis moral yang menimpa bangsa religius ini.

Oleh karena itu, pendidikan moral menjadi sangat penting bagi teguh dan kokohnya suatu bangsa. Pendidikan moral adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusianya untuk menjadi seorang yang memiliki kekuatan intelektual dan spiritual sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya di segala aspek dan menjalani kehidupan yang bercita-cita dan bertujuan pasti. Hal ini harus menjadi agenda pokok dalam setiap proses pembangunan bangsa.

Tidak kalah kalah penting adalah adanya teladan moralitas yang tinggi dari penguasa atau pemimpin. Seorang pemimpin, baik itu pemimpin negara, agama, suku, organisasi, dan seterusnya harus memiliki moral yang tinggi dan memberikan teladan kepada masyarakat dengan cara mewarnai kehidupan diri dengan moral yang baik dan mengajak masyarakat yang dipimpinnya untuk senantiasa berbuat baik.

Ahmad Ubaidillah
, Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 25 Juni 2011

Gejala Disorientasi Pendidikan

-- Dwi Rohmadi Mustofa

BEBERAPA kasus pendidikan mencuat ke permukaan. Ia bagai bola salju yang kian membesar. Faktor yang mendukung adalah kian mudahnya publik mengakses media komunikasi, koran, televisi, radio, dan sebagainya. Bagi masyarakat, menyerap informasi melalui media, telah menjadi kebutuhan harian. Akhirnya, kasus-kasus yang diangkat merangsek ke ruang publik, dan dengan mudah menjadi polemik dan pembahasan banyak orang. Yang terasa jelas adalah gelombang pro dan kontra yang seakan tak berujung.

Dewasa ini, kasus apa pun yang dimuat media massa, akan mudah menjadi pembicaraan. Tak terkecuali, kasus-kasus menyangkut pelaksanaan pendidikan di Tanah Air, di samping berita-berita peristiwa, politik, sosial, ekonomi, olahraga, dan sebagainya.

Jika dicermati, kasus-kasus di bidang pendidikan tampaknya belum juga menemukan solusi komprehensif. Kalau tidak terulang, paling-paling kasusnya bergeser sedikit. Pelaksanaan ujian nasional, misalnya, belum menemukan titik temu yang mampu mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Demikian juga program sertifikasi guru, kurikulum lembaga pendidikan, kelembagaan pendidikan, bantuan operasional, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, akreditasi, penerimaan siswa baru, dan sebagainya.

Pendidikan sesungguhnya suatu sistem besar yang terdiri atas subsistem-subsistem. Cara pandang terhadap pendidikan harus menganut konsep sistem atau berpikir sistem. Mencuatnya berbagai kasus menyangkut pelaksanaan pendidikan dapat dipandang sebagai gejala disorientasi ataupun sebagai akibat dari cara pandang yang parsial. Ini bisa berlaku di level individual maupun di level kebijakan.

Di tingkat individual, misalnya, UN dijadikan ajang mencapai "yang terbaik", tanpa peduli proses. Potensi "penyakit" ini dengan mudah menghinggapi sebagian orang tua. Prestise menjadi agenda terselubung yang mengabaikan proses.

Di tingkat kebijakan, belum ada sinkronisasi maupun harmonisasi atas fungsi, maksud, dan tujuan dilaksanakannya UN. Contoh lain, program sertifikasi guru pada sebagian guru lebih mengedepankan harapan dana sertifikasi yang besarannya satu kali gaji pokok. Atau malah yang lebih miris lagi, kalau telah bersertifikat pendidik profesional, segalanya diukur dengan imbalan materi.

Akibatnya, tak jelas lagi batas mana sasaran akhir dan mana sasaran antara. Pemberian dana sertifikasi bagi guru yang telah bersertifikat adalah sasaran antara, di mana sasaran akhirnya adalah meningkatnya kualitas pendidikan.

Ujian nasional adalah alat evaluasi yang mengharuskan keadilan, kejujuran, dan objektivitas. Ia bukan menjadi alat untuk menghakimi. Dalam hemat penulis, intinya adalah perlunya dikedepankan nilai murni.

Contoh-contoh kecil tersebut mengindikasikan adanya disorientasi. Belum lagi kalau sampai terjadi politisasi. Tentu ada saja pihak yang mencoba meraih keuntungan secara politis atas setiap momen atau kasus.

Berpikir sistem dalam memandang pendidikan artinya memberikan ruang yang cukup bagi terlaksananya proses yang sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan. Lulus sekolah bukan hanya semata-mata lulus, melainkan harus melalui berbagai tahapan dan proses pendidikan dan pembelajaran. Meningkatkan kompetensi guru juga memerlukan waktu yang panjang. Menjaga dan meningkatkan kinerja guru memerlukan program pelatihan yang periodik.

Rasanya miris mendengar kabar, kinerja guru yang telah bersertifikat, belum sesuai dengan yang diharapkan, tetapi kemudian disuarakan sertifikat mereka akan dicabut. Jika mengharapkan kontibusi kinerja guru yang sesuai dengan maksud program, tentu perlu juga meninjau aspek kepemimpinan, sarana dan prasarana, kondisi lingkungan siswa, program lanjutan bagi guru yang telah bersertifikat, dan sebagainya.

Bagaimana guru akan mengimplementasikan berbagai kompetensinya, kalau ada "intervensi" atas otonominya mengelola kelas? Saat ia akan menerapkan kompetensi pedagogis, misalnya, banyak hal lain yang belum mendukung. Artinya, berbagai variabel tersebut hendaknya menjadi bahan pertimbangan yang matang, untuk melakukan evaluasi kinerja guru. Demikian pula pada subsistem-subsistem pendidikan yang lain; kurikulum, karakteristik pendidik dan tenaga kependidikan, kelembagaan, ketersediaan sarana dan prasarana, dan sebagainya.

Untuk terhindar dari gejala disorientasi terhadap pendidikan, dan agar tidak kian akut, setiap kita perlu melihat secara lebih cermat dan mencari sesuatu yang hakiki dari suatu proses pendidikan. Intinya adalah niat dan hasrat untuk mengikuti penyelenggaraan hendaknya didasarkan pada maksud-maksud yang positif. Jika demikian, cara yang dilakukan besar kemungkinan juga akan selalu terjaga, fokus, dan terarah.

Nilai pendidikan anak-anak bukan hanya ditunjukkan oleh angka-angka, tetapi oleh berbagai kinerja sekarang dan potensi yang berkembang di masa datang. Guru profesional bukan hanya ditunjukkan oleh sejumlah dana yang diterima, melainkan juga oleh kinerja yang penuh dedikasi.

Guru yang baik, dalam pandangan penulis, adalah yang mampu mengenali dan menggali potensi tersembunyi dalam diri siswanya, untuk kemudian difasilitasi untuk berkembang. Guru yang senantiasa mencari cara memotivasi belajar siswanya, sepenuh hati dalam membimbing, dan bukan yang sekadar mentransfer pengetahuan.

Lembaga pendidikan yang baik, bukan hanya ditunjukkan oleh kemegahan gedung dan sarana yang modern, melainkan bagaimana proses pendidikan dan pembelajaran dilaksanakan. Lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga pendidikan yang senantiasa menciptakan dan menjaga budaya belajar, dan para pengelolanya memiliki integritas memajukan pendidikan.

Dwi Rohmadi Mustofa, Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan FKIP Unila


Sumber: Lampung Post, Sabtu, 25 Juni 2011

Nada Puisi

-- Alex R. Nainggolan

"Puisi datang pertama kali kepada kita lewat nadanya..."

DEMIKIANLAH Goenawan Mohammad menulis sebuah esai tentang sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo. Puisi seperti menemukan artinya sendiri tanpa dituntun sekalipun. Ia barangkali mirip susunan nada musik yang nyentrik. Ia seperti orang buta yang mendengar susunan bunyinya sendiri.

Bunyi mistis yang magis. Magis yang terus mendebarkan rasa keingintahuan paling jauh, untuk menemukan makna terdalam dari sebuah kata. Tak mengherankan acapkali berdengung di kepala, meninggalkan semacam jejak untuk memberi penafsiran selanjutnya. Ia menyisakan jejaknya sendiri yang kerap terangkai antara satu kata dengan lainnya.

Maka kita mendapati puisi-puisi yang (semacam) memiliki nada tersendiri. Ia merupa alunan lagu, yang sebentar, berdenting lalu menjemput sebaris hening. Rangkaian diksi seperti berbunyi dengan sendiri. Ia mengoyak segala yang dianggal kecil dan remeh. Merebutnya, membukakan ruang yang baru.

Bahkan tak jarang melompat dari satu kekosongan ke kekosongan lain. Setelah itu memang ada tema-tema kehidupan yang masuk. Berkisah tentang pengalaman penyair atau sekadar pemantauannya terhadap sekeliling. Tidak tertutup kemungkinan pula bila sebuh puisi disusun secara sistematis dari guguran bunyi yang telah tersusun dengan harminis. Maka menikmati puisi sesungguhnya pula menikmati kata-kata itu sendiri.

Puisi mulanya adalah bunyi. Gaung kata, yang mengandung pengertian itu sendiri, demikian Sutardji Calzoum Bachri berucap. Tak bisa dikoyak, tak akan bisa dirubah. Ia tak bisa dipaksa untuk menciptakan pengertian-pengertian yang lain. Ialah pengertian itu sendiir: sebuah kata. Yang ada hanyalah tinggal kita menikmati skaligus meresapi apa yang dikandungnya.

Seperti menikmati sebuah musik, kita akan melayang dalam sebuah simponi yang tak terganti. Pun baik atau buruknya tergantung cita rasa. Engkau bisa bilang jenis musik dangdut, blues, atau rock adalah yang terbaik. Tetapi di satu sisi, orang lain lebih menikmati punk, jazz, atau pop.

Akhirnya selera pula yang berbicara. Meskipun puisi itu memang baik, setiap orang pasti akan mengakuinya, terlepas ia suka jenis musik yang berbeda.

Rangkaian diksi yang tersusun lebih mengisyaratkan hal tersebut. Ia akan terus beranjak, menempuh cara pembacaan masing-masing dan meninggalkan jejak di benak si-pembacanya. Bila Acep Zam-Zam Noor menyebut ukurannya adalah bulu kuduk, agaknya ia benar. Kekayaan kata yang ada dalam puisi bisa sekejap lebur dan lulur hinggap di mata batin. Tentunya, sebagaimana yang diharapkan dari kerja sastra itu memberikan sedikit pencerahan bagi pembacanya. Ia bisa merangkum dan meramu sekaligus setiap bentangan peristiwa yang dipenuhi luka. Ia bisa asik bersembunyi di dalam kamar, tanpa mesti bersedih. Ia bisa terus berdetak seirama dengan degup jantung. Dan nada-nada yang dibentuknya seakan meremas semua cabikan duka juga bisa juga semacam gumam yang berdoa.

Beragam nada itu terus menggema, bahkan setelah puisi selesai ditulis. Ia akan mengembara melewati jejak kata-katanya sendiri. Ia seperti melayang dan menelusup ke setiap gaung kesadaran. Dan dalam pembacaan sajak yang panjang, kita seperti menikmati hamburan bunyi itu. Seakan-akan membentuk alunan nadanya sendiri yang terasa merdu, menguliti seisi kepala. Ia seperti mengguncangkan setiap kesadaran dan bertahan di dalam kepala. Meskipun puisi tersebut dibaca dengan perlahan, ia tetap saja menyisakan nadanya sendiri semacam sebuah hentakan yang terus saja menguntit, lalu membangunkan kesadaran dari dalam diri.

Mungkin ada benarnya juga, jika kerja sastra adalah sebuah proses yang berkesinambungan. Suatu upaya yang tak kenal lelah, katakanlah untuk membangun jiwa dalam manusia itu sendiri. Memberi semacam pintu untuk dimasuki. Dan sayapun terkenang pada sejumlah sajak yang membicarakan sajak itu sendiri. Semacam yang ditulis Joko Pinurbo dalam "Pelajaran Puisi", ia menyebut begini: "Puisi itu hutan rimba," ia memulai pelajaran. "Kalian mau jadi anak rimba?". dengan memasuki puisi, yang bagi Pinurbo adalah hutan rimba kita juga dihadapkan dengan beragam peristiwa yang mesti diresapi, didengar layaknya sebuah lagu. Ia semacam usaha untuk membuka rangkaian nada-nada yang ada, menemukan jenis musik yang diingini. Setiap jalinan kata yang sarat makna itu akan terus menggema.

Mengendap, menelusup saat dibaca. Dengan topangan kata-kata yang terikat, seperti menciptakan sebuah simfoni. Semacam ingin membumbung tinggi, menyelinap ke setiap benak dan mengembara. Mungkin, pembaca sendiri juga yang akan turut mengembara, mengikuti perjalanann kata-kata itu sendiri. Dan puisi seperti menghentak unsur keterjagaan, menyingkap semua gelombang sunyi yang terpancar dari helai-helai diksi.

Seorang penyair agaknya memiliki cara sendiri untuk menuliskan sajaknya. Barangkali apa yang diniatkan merupakan sebuah alur pemikiran yang diolah dari batin bawah sadarnya. Maka sajak-sajak yang lahir merupakan potret tersendiri dari perjalanan hidupnya, atau katakanlah sebagai catatan pribadi. Jika memang ia bertemu dengan luka kehidupan, sajak-sajak yang ditulisnya akan berkisah banyak. Luka yang mengendap seperti memberi bisikan tersendiri, luka juga yang membuat seorang Chairil Anwar mencipta "Aku"-nya. Gaung luka yang akan terus menggema, sampai jauh.

Maka bunyi itupun seperti menjerit, menyingkap gaung sunyi yang tertahan di sana. Ia melingkupi setiap diksi yang ada, membuka auranya tersendiri. Untuk itu, tak heran pula jika banyak puisi yang digubah jadi lagu. Sebab pemetaan bunyi dalam puisi begitu tertib, ia seperti melengkapi setiap celah yang tersembunyi. Dan berdenting menjemput segala hening. Dengan jejak rekam kata yang saling bersinttaksis, ia bisa menjelma obat bagi kesunyian atau kesedihan itu sendiri.

Artinya, puisi memang sebuah lagu. Lagu tentang gembira maupun sedih. Lagu yang berhubungan dengan karsa atau alam bawah sadar. Bagi pembaca atau pencipta (penyair)-nya. Ia semacam denting yang terus berdengung, hingga sebuah puisi habis dibaca. Membuka auran bunyi yang lainnya. Ia seperti menghidupkan segenap peristiwa yang mungkin ditulis dengan perasaan gamang yang amat sangat, dengan penuh gairah, atau jiwa yang sedang gelisah. Dengan demikian, secara lugas puisi berupaya merengkus semua auran bunyi yang ada. Dari sebuah decak, katakanlah mungkin ia bisa merentas ke segala situasi. Semacam ingin memberi kabar pada dunia. Mudah-mudahan pula ia akan menjelma dalam keabadian yang akan berteriak, bahkan hingga seribu tahun lagi (meminjam ungkapan Chairil Anwar).

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 25 Juni 2011

Monday, June 20, 2011

Pendidikan: RSBI Tak Punya Filosofi

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dinilai tidak memiliki dasar filosofis dan strategi kebudayaan. Akibatnya, program ini hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek dan bersifat pragmatis.

Hal itu dikatakan Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fajar Setiawan Roekminto dalam diskusi RSBI di kantor redaksi Lampung Post, Minggu (19-6).

Diskusi ini dihadiri Idris H.M. Noor dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), yang memiliki agenda melakukan penelitian tentang RSBI di Lampung.

Celakanya, kata Fajar, kebijakan RSBI juga tidak ditunjang dengan strategi pengembangan pendidikan bermuatan kebudayaan sehingga dapat dikatakan program ini bermuara kepada kegagalan. Bahkan, menurut dia, perkembangan RSBI justru bertentangan dengan program pemerintah yang saat ini mewacanakan dan menggembar-gemborkan pendidikan karakter dan kebangsaan.

"Bagaimana anak memiliki karakter yang baik, mampu menghargai dan menghormati orang lain, jika sedari kecil sudah diajari untuk bersaing tidak sehat dam tumbuh dalam iklim pendidikan yang diskriminatif," kata dia.

Fajar mencurigai motif berkembangnya RSBI di Indonesia adalah untuk mengomersialisasikan pendidikan karena RSBI yang nanti berhasil menjadi SBI tak ada bedanya dengan sekolah swasta. "Jika sudah menjadi sekolah SBI, mereka tidak lagi mendapat bantuan dari pemerintah dan memiliki kebebasan untuk memungut biaya dari masyarakat, dan yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan," kata Fajar.

Ia mengatakan dalam menjalankan kebijakan pendidikan, pemerintah harus berpegang pada filosofi dasar pendidikan mengangkat harkat derajat manusia setinggi-tingginya, yang tentunya dilakukan tampa ada unsur diskriminasi.

Dalam diskusi tersebut juga terungkap tentang kemampuan guru RSBI tidak jauh beda dengan guru di sekolah reguler. Kemampuan guru dalam berbahasa Inggris, misalnya, sangat kurang. Akibatnya, pelajaran Fisika yang diantarkan dengan bahasa Inggris menyulitkan siswa RSBI memahami apa yang dimaksud guru.

“Jangankan bahasa Inggris. Belajar Fisika menggunakan bahasa Indonesia saja masih sulit,” kata Idris.

Menurut Idris, RSBI akan dievaluasi dua tahun lagi, apakah layak dilanjutkan atau dihapus saja. “Kan, waktunya tujuh tahun untuk dievaluasi. Sekarang sudah lima tahun, tinggal dua tahun lagi. Masalahnya, kalau nanti dihapus, muncul pertanyaan selama tujuh tahun ini ngapain aja,” ujarnya sambil tertawa. (MG1/S-1)

Sumber: Lampung Post
, Senin, 20 Juni 2011

Pendidikan: 90% RSBI bakal Terlikuidasi

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Nasib 1.075 rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di Indonesia ditentukan tahun ini. Sedikit sekali RSBI yang lolos menjadi SBI dan yang gagal akan kembali menjadi sekolah biasa.

"Saya kira di bawah 10% yang bisa lolos menjadi SBI," ujar Idris H.M. Noor dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional saat berkunjung ke kantor redaksi Lampung Post, Minggu (19-6).

Berdasarkan data Balitbang Kemendiknas, inisiatif pengembangan RSBI dari tahun 2006 sampai 2010. Pada 2010 jumlah RSBI untuk masing-masing satuan pendidikan mencapai 1.075 sekolah: 195 SD, 213 SMP, 320 SMA, dan 247 SMK. "Balitbang sendiri sudah melakukan studi awal evaluasi RSBI di 18 provinsi di Indonesia. Hasil kajian, kami merekomendasikan agar RSBI dievaluasi dan pemberian izin RSBI baru dihentikan," kata dia.

Idris mengatakan pemerintah memberikan 5—7 tahun bagi RSBI untuk menjadi SBI. Namun, Balitbang merekomendasikan agar RSBI dievaluasi tahun ini. "Sekolah yang potensial diteruskan dan yang tidak layak dihentikan," ujarnya.

Idris mengaku prihatin dengan kemampuan guru-guru RSBI. Ia mencontohkan kemampuan bahasa Inggris pendidik dan tenaga kependidikan RSBI sebagian besar masih pada level novice (skor 10—250), yaitu sekitar 50%. Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI saja sebagian masih pada level novice (skor 10—250), yaitu sekitar 51%. "Padahal, menurut persyaratan, kepala sekolah SBI dituntut memiliki kemampuan bahasa Inggris aktif, minimal skor TOEFL-nya 450. Kepala sekolah yang memenuhi persyaratan baru mencapai 18,4%," kata Idris.

Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fajar S. Roekminto yang turut hadir dalam kunjungan itu mengatakan dari hasil evaluasi Balitbang sebaiknya RSBI dihentikan. (MG1/U-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 20 Juni 2011

Kecewa dengan RSBI

-- Herpratiwi

RINTISAN sekolah bertaraf internasional (RSBI) adalah sekolah yang mendapat kepercayaan oleh pemerintah untuk menjalankan program pembelajaran yang istimewa, berbeda dengan sekolah lain yang tidak mendapat julukan RSBI. Baik istimewa pada komponen raw input dan proses. Komponen input meliputi kurikulum, guru, murid, sarana, dan prasarana pembelajaran. sedangkan komponen proses menekankan pada pembelajaran dengan berbasis aneka sumber dengan memanfaatkan IT dan bahasa komunikasi dengan bahasa asing.

Siswa yang dapat menikmati sekolah di RSBI adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, menguasai IT, dan pintar berbahasa asing. RSBI juga memiliki sarana prasarana yang memungkinkan anak untuk dapat belajar dengan maksimal karena memang RSBI untuk sekolah yang memenuhi 8 standar nasional pendidikan. Dengan demikian, sekolah mampu menyelenggarakan program pembelajaran dengan sempurna.

RSBI ada karena adanya revolusi tuntutan kehidupan di era global, di mana anak harus memiliki strategi-strategi baru agar dapat beradaptasi, bertahan, dan mengikuti persaingan. Dari sinilah pengambil kebijakan mencipta program RSBI, yang kalau dianalisis masih banyak kelemahannya, terutama dari sisi penerapan prinsip keadilan dalam pendidikan.

Namun, mengapa sekolah yang sudah memenuhi semua standar/kriteria pembelajaran tidak mampu mengubah raw input menjadi output yang sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan sekolah tersebut, yaitu tentunya lulusan yang memiliki hasil belajar yang excellent. Wajar kalau akhir-akhir ini semua pihak berdiskusi tentang RSBI yang tidak mampu menghasilkan lulusan sesuai dengan harapan banyak pihak karena hasil UN siswa-siswa RSBI ada di bawah sekolah-sekolah lain yang tidak RSBI.

Salahkah masyarakat mendiskusikan hal tersebut? Salahkah RSBI jika tidak mampu menghasilkan lulusan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat? Masyarakat tidak salah kalau mendiskusikan kegagalan RSBI mencetak siswa yang tidak lebih baik dari sekolah yang tidak RSBI. Dengan kata lain, RSBI harus melakukan refleksi mengapa pihak sekolah tidak mampu menghasilkan lulusan yang "unggul". Di sisi lain, RSBI memiliki keunggulan disemua komponen pembelajaran.

Sekolah seperti ini menurut ahli pembelajaran Reigeluth bukan sekolah yang efektif, efisien, dan menyenangkan. Sekolah yang tidak mampu merubah siswanya menjadi lulusan yang lebih baik dari pada sebelum siswa tersebut menjalani pembelajaran, sekolah tersebut dapat dikatakan gagal atau tidak efektif.

Dengan kata lain, tidak ada peningkatan (gain) secara signifikan antara prestasi sebelum dan sesudah siswa dibelajarkan. Artinya, sekolah tidak dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Sekolah tidak mampu mengolah raw input dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki sekolah baik guru dan sarana prasarana. Guru adalah ujung tombak sekolah. Guru harus mamiliki kemampuan untuk tut wuri handayani dan mempertajam serta menambah warna yang sudah dimiliki oleh anak, bukan mengurangi dan justru mematikan warna tersebut. Kondisi seperti ini mengisyaratkan bahwa kita sudah membuang waktu bertahun-tahun dengan sia-sia, kerugian sarana dan prasarana dan yang paling dirugikan adalah anak.

Guru tidak responsif terhadap program, guru tidak mampu melakukan transformasi sehingga tidak mampu merekayasa pembelajaran dengan memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki siswa dan sekolah. Rutinitas dan kebiasaanlah yang dilakukan guru. RPP tidak disusun berdasarkan need analysis siswa, guru tidak menyadari bahwa yang dibelajarkan adalah bukan anak-anak yang memiliki kesamaan kebutuhan (walaupun RSBI). Dengan demikian, RPP yang disusun harus berbeda dengan RPP sebelumnya. Bahan ajar, media, perangkat penilaian tidak akan sama dengan yang dimiliki sebelumnya.

Jika RPP dan perangkat lainnya sesuai dengan apa yang siswa butuhkan, guru akan melakukan pembelajaran yang tentunya akan menarik bagi anak karena yang ia butuhkan ia peroleh dari gurunya di sekolah. Artinya, anak-anak harus dilayani secara khusus sesuai dengan kekhususannya. Mereka memerlukan guru khusus sehingga mereka akan berkembang sesuai dengan kekhususannya. Mudah-mudahan sekolah yang sampai sekarang diyakini sebagai satu-satunya organisasi belajar mampu membudayakan dan memberdayakan semua pihak, terutama pihak yang ada di dalam organisasi tersebut. Sehingga masyarakat tidak kecewa dan tetap percaya dengan sekolah.

Herpratiwi, Dosen FKIP Unila

Sumber: Lampung Post, Senin, 20 Juni 2011

Sunday, June 19, 2011

Hormat kepada Buku

-- Sartika Dian Nuraini

TIDAK ada yang sanggup membantah bahwa memiliki buku menjadi sebuah kebanggaan. Sebuah hikayat pernah menceritakan tentang seseorang yang terlalu fanatis dengan buku. Setiap kali saat ia menginginkan untuk membaca buku itu, ia selalu melakukan ritual-ritual yang sakral. Dia membedakan perlakuan-perlakuannya terhadap buku-buku yang ia sentuh. Baginya, peristiwa bersama buku menjadi pertaruhan emosi dan jiwanya.

Chapman, seorang esais dari Oxford menuliskan, "Dia tidak menyembunyikan kebanggaannya dengan menjadi kolektor buku, tetapi kita hanya perlu melihat cara dia mengambil buku dari rak itu untuk tahu bahwa ia menganggap buku adalah harta yang abadi. Ada cara yang benar dan cara salah mengambil buku dari rak. Ia meletakkan jari di atas buku dan dengan lembut akan mendorong kembali setiap buku yang berdekatan, ia mencabut buku yang diinginkan dengan jari dan jempol. Setelah itu, sebelum membuka halaman, ia memakai saputangan untuk membersihkan semua debu yang menempel di permukaan buku itu. Baru kemudian membacanya halaman demi halaman. Ini adalah tanda-tanda dari sebuah penghormatan spiritual."

Hal ini, tentu saja, bukan sebuah perlakuan biasa dan sepele. Bukan sekadar menginginkan agar buku senantiasa tampil bersih dan awet, melainkan ini menunjukkan cinta seseorang yang terlalu berlebihan untuk itu, lebih dari cinta pada kemungkinan isi apa yang dipersembahkan oleh buku itu kepadanya. Ia tahu, buku akan memberinya sumber pengetahuan. Dalam hal ini, buku bisa menjadi teman dalam hidupnya, menjadi sekutu, menjadi penghiburan, dan bantuan.

Kisah buku ada semenjak manusia mulai menuliskan berlembar-lembar tulisan dan simbol di atas kertas. Buku-buku terbaik ditaburkan dalam jumlah yang sama selama rentang waktu tertentu, menjadi perekam peradaban. Daftar isi buku menentukan usia, jenjang pemikiran, dan martabat buku itu. Charles Richardson dalam The Choice of Books (1883) mengungkapkan bahwa buku adalah teman yang selalu berada di dekatnya, melintasi zaman, era, dan bangsa. Buku-buku membedakan dirinya yang di kabin dan di ladang, mengemban kehormatannya dengan segala pertaruhan hidup yang ia jalani. Mudah untuk memeluki buku, karena ia selalu ada dalam pelayanannya terhadap hari, dan buku selalu menemaninya ke mana pun yang ia sukai. Karena buku-buku itu tak pernah bermasalah dan selalu menjawab segala pertanyaannya. Beberapa di antaranya membawanya menyingkap misteri, mengarungi peristiwa-peristiwa sejarah, mengajarkannya bagaimana hidup dan mati. Buku-buku yang lincah itu juga menjadi kendaraan baginya untuk peduli akan semangat, ketabahan, dan independensi.

Buku telah membawa kita menjumpai hal-hal yang sama sekali berbeda dari diri kita, menjadi guru terbaik dalam membedakan pilihan dan mengambil setiap jalan. Budi Darma menceritakan pengalamannya bersama buku dengan analogi sejarah yang panjang. Ia dan buku bermukim dalam ruang dan waktu yang tiada batas. Ia menjadi pengembara bersama buku. Dalam Bukuku Kakiku, ia mempersembahkan kisah masa kecil yang penuh dengan gelimang cerita dari buku-buku sastra dan filsafat. Dia mengikrarkan betapa buku-buku sastra dan filsafat adalah buku-buku klasik, yang meminjam istilah dari Hazlitt dalam Round Table, adalah buku yang selalu dipakai sepanjang zaman, yang akan bertahan ditindas waktu dan usia, dibaca oleh pembaca dari berbagai generasi, bahkan bagi jiwa-jiwa yang belum sempat terlahirkan sekalipun.

Hazlitt juga meyakinkan kita bahwa dengan membaca buku klasik kita telah percaya ada sesuatu yang sangat besar dan sangat baik di dunia ini, yang masih hidup di atas guncangan kecelakaan dan fluktuasi pendapat, dan mengangkat kita di atas rasa takut dan menumbuhkan otoritas bagi kehidupan kita.

Buku klasik telah membantu kita merasakan adanya kekuatan yang memberikan keabadian untuk pikiran dan tindakan manusia, menangkap api antusiasme dari segala bangsa dan umur. Sehingga sulit sekali orang membentuk pikiran tentang cinta, keunggulan, dan keyakinan saat belum membaca karya-karya klasik.

Ralph Waldo Emerson sekali waktu pernah menasihati kita untuk tidak membaca buku-buku yang remeh-temeh. Ada tiga hal yang mesti diperhatikan pembaca dalam memilih buku yang harus dibaca dengan baik.

Pertama, jangan membaca buku yang belum genap usianya setahun. Kedua, jangan membaca buku yang tidak pernah dibaca oleh orang lain. Ketiga, jangan pernah membaca buku yang tak kamu sukai. Emerson sebenarnya menginginkan kita agar menjadi pembaca yang terorganisasi dan bertujuan jelas dengan buku yang kita baca. Karena, menurut dia, dunia ini sudah penuh dengan buku-buku yang “sepele, konyol, dan berbahaya.”

Kita harus selalu mengingat pesan yang diucapkan Emerson tentang buku. Sudah saatnya memilih dan memilah buku-buku yang bermutu. Seperti halnya Birrel mempertanyakan kefasihan buku saat buku-buku itu dicetak begitu banyak, “Is it possible to tell a good book from a bad one?” Selama ini, apa yang telah kita persembahkan kepada buku yang sudah terlalu banyak memberi pada kita? Akankah buku-buku yang turut membesarkan kita, mengajari kita segala hal, dan menjadi teman kita dalam segala hal, telah membuat kita peduli kepadanya?

Semoga peradaban tak lupa pada buku, yang lahir untuk menghidupi kita dan dunia.

Sartika Dian Nuraini
, Mahasiswa Kajian Amerika UNS, bergiat di Bale Sastra Kecapi, Solo.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2011

[Buku] Habis Prahara Terbitlah Khuruj Fi Sabillilah

Judul : Seribu Sujud Seribu Masjid

Penulis : Tandi Skober

Editor : Aminah Mustari

Penerbit : Salsabila Kautsar Utama

Cetakan : I, November 2010

Tebal : 275 hlm

MEMPERHATIKAN pertarungan global di ranah publik dunia antara fundamentalis agama dan kelompok sekularisme liberal mengingatkan saya akan tulisam Eric Kaufmann dalam buku Shall the Religious Inherit the Earth? (London, 2010). Kaufmann berpendapat bahwa lingkungan komunitas pendukung paham fundamentalisme agama mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan komunitas sekuler. Hal ini memungkinkan kelak sebelum tahun 2050 kekuatan agama akan mendominasi percaturan politik dunia.

Benarkah fundamentalisme agama terkesan liar? Pertanyaan dapat dikesampingkan pada saat membaca novel Seribu Sujud Seribu Masjid karya Tandi Skober. Jika membaca judulnya Seribu Sujud Seribu Masjid tentunya kita akan langsung menduga bahwa ini adalah novel bernuansa religi. Betul, tapi tak hanya itu saja karena dalam novel ini pembaca juga akan diajak masuk dalam nuansa politik, intrik, romantisme, dan humor yang dikemas sedemikian rupa, sehingga menghasilkan sebuah novel religi yang tak hanya berisi dakwah, tetapi juga memiliki latar kisah yang menarik untuk disimak hingga lembar terakhir novel ini.

Inilah kisah religi yang mengajak pembaca berselancar dalam makna istikamah tanpa terkesan menggurui. Gaya satire Tandi penuh dengan simbol-simbol cerdas yang dikemas dalam sense of humor yang baik. Gaya bahasanya yang lincah memudahkan pembaca memvisualisasikan plot-plot cerita dalam kepala, persis seperti film yang bergerak sendiri.

Perjalanan Kiara mencari cinta saat mudik Lebaran September 2009 menjadi prolog novel ini. Kiara tidak menemukan cinta di Indramayu, tetapi ia temukan sejarah muram ketika Sekober tahun 1965 dilanda prahara politik. Dikisahkan Kasdi dan Zum dibesarkan di daerah pesisir Sekober, Indramayu. Zum adalah anak gundik Bah Ceh Nong, tokoh PKI di Sekober. Kasdi adalah anak seorang seniman Tarling yang bernama Camang. Kedua anak itu bersahabat dengan akrab.

Ketika prahara politik merembet hingga ke wilayah Sekober, nasib dua bocah itu berubah drastis. Bah Ceh Nong ditemukan mati mengambang di Sungai Cimanuk. Sedangkan Camang yang bekerja sebagai pembantu di rumah Bah Ceh Nong dicurigai sebagai salah satu antek PKI. Walaupun Kasdi mengatakan pada tentara bahwa ayahnya itu adalah muslim dan sudah disunat, Camang tak luput dari hukuman mati. Saat hendak dieksekusi, Camang selamat, melarikan diri, menggelandang dari masjid ke masjid. Anak-anak Bah Ceh Nong dan Camang bertahan dalam menjalani kerasnya kehidupan. Zum dan Kasdi menjadi pencopet cilik di bawah kekuasaan Zaki. Sementara Zum dan Zaki masih berada dalam dunia hitam, Kasdi pensiun menjadi copet.

Ia berjualan bandros seraya mengurus surau peninggalan kakeknya. Kasdi percaya bahwa suatu saat ayahnya akan pulang dan sujud di surau itu.

Di surau itulah Kasdi bertemu dengan lelaki tua bernama Pardi yang mengajarkan amalan-amalan soleh di masjid. Mereka berdua tak pernah berhenti berdakwah mengajak orang-orang yang melewati surau tersebut untuk menepi dan salat. Tak banyak yang tertarik pada ajakan mereka berdua kecuali bocah cerdas bernama Kana dan Citro, mantan pejabat dan pengusaha kaya yang bertobat dan menyerahkan sisa hartanya sebesar Rp100 juta. Uang itu sebagai uang biaya hidup di surau sekaligus biaya penguburannya jika ia meninggal dunia nanti.

Kasdi, Kana, dan Citro menjadi tiga sekawan yang menempuh jalan Allah, mereka tinggal bersama di surau sambil mempertebal iman dan berdakwah secara sederhana di bawah bimbingan Pardi. Walaupun Kasdi telah mengantongi uang sebesar 100 juta, kehidupan mereka bertiga tetap bersahaja dan damai. Hingga akhirnya Zaki, kawan lama Kasdi yang kini telah menjadi konglomerat, berniat membeli tanah surau tersebut.

Melalui Zum yang sebenarnya mencintai Kasdi, Zaki mencoba membujuk Kasdi untuk menjual surau tersebut. Zaki berani membeli surau tersebut seharga Rp500 juta untuk dijadikan mal dan stasiun televisi global. Kasdi menolak. Di sinilah konflik terjadi. Gagal dengan iming-iming uang, Zaki dan Zum bersekongkol mencari cara lain yang diperkirakan ampuh meluluhkan Kasdi untuk menjual surau tersebut. Kasdi memerintahkan Zum untuk berpura-pura menjadi wanita muslimah yang soleh agar Kasdi jatuh cinta pada Zum dan merelakan surau peninggalan kakeknya jatuh ke tangan Zaki.

Bagian paling menarik di novel ini adalah di bab-bab awal saat kisah bergulir di tahun 1965 ketika huru-hara politik melanda wilayah Sekober. Ketika itu sebuah pilihan politik menjadi raja dan merasa bisa menjadi Tuhan sehingga berhak mengambil nyawa siapa saja yang diinginkan. Sebuah gambaran kekuasaan dan perbedaan pilihan politik di suatu era yang merenggangkan bulu kuduk. Ada korban dan tentu saja ada generasi terbuang.

Di bagian ini pembaca diajak melihat bagaimana dan apa yang dirasakan rakyat kecil akibat kekisruhan yang dilakukan para elite politik negeri ini.

Selain itu, terungkap juga bagaimana kelamnya suasana saat itu, terlebih saat Camang ditangkap dan hendak dieksekusi para tentara. Bagi saya bagian ini merupakan bagian yang sulit terlupakan. Sebagai novel religi tentunya novel ini mengandung banyak sekali dengan pesan-pesan keagamaan tapi penulis mengemasnya dalam dialog-dialog yang segar dan lucu sehingga pembaca tak merasa digurui penulisnya.

Nilai-nilai religi islami yang tertuang dalam novel ini sangat universal dan bisa dipahami dan dimaknai oleh semua pembaca tanpa harus terbatasi oleh sekat-sekat agama.

Selesai membaca buku ini, saya seperti meneguk air segar. Ada sesuatu yang meleleh di pojok hati. Mungkin ini yang dimaksud Franz Kafka, seorang novelis Jerman, bahwa A Book must be an ice-axe to break the seas frozen inside our soul.

Tantri Pranashinta
dan Tanzil Hernadi, pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2011