-- Murparsaulian
SEBUAH hentakan serentak dari alat gesek, timpani, celo dan alat musik tiup mengawali pementasan 6 komposer Riau, Sabtu (11/6/2011) malam di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru dengan tajuk Cereka Bunyi (Sound Fiction). Sebuah peristiwa kontemplatif dari 6 orang seniman musik Riau yang membuka ruang kreatif dalam tiap diri mereka, dan ruang kreatif itu coba mereka tularkan ke setiap hati penonton yang memenuhi kursi Anjung Seni Idrus Tintin.
Adalah overture sebagai pembuka lawang pementasan yang ditaja oleh Bandar Serai Orchestra (BSO) ini. Didominasi oleh alat musik gesek; biola, biola alto dan celo. Overture yang diambil dari aria Opera Bulang Cahaya (akan dipentaskan) menelan semua bunyi yang ada di gedung itu, sehingga hanya ada bunyi dari komposisi komposer Zuarman Ahmad sekaligus sebagai konduktor BSO yang menyentak hadirin, menceraka bunyi-bunyian yang tersuguh malam itu. Overture Bulang Cahaya adalah napas pertama yang molek mengawali orchestrasi berikutnya.
Napas kedua dilanjutkan dengan For Zapin, karya dari Fanny Soufina. Tradisi marwas muncul dari komposisi ini. Marwas adalah zapin, dan zapin adalah marwas. Alat musik petik gambus dan marwas seakan membawa penonton ke sebuah tradisi khasanah Melayu yang menggambarkan kecepatan berpikir dan keriangan. Dan semua itu terdedah dalam sebuah komposisi orchestrasi yang unik dan hidup. Fanny Soufina yang dikenal sebagai pianis ini mengeksplorasi zapin sebagai sebuah fenomena musik dalam seni dunia, tidak hanya Melayu. Betapa Fanny telah mendedikasikan sebuah karya kreatif untuk zapin, yang tidak hanya sekadar rentak kaki, tapi juga rentak hati bila kita mencereka bunyi-bunyi yang terkomposisi itu dengan hati.
Napas ketiga dilantunkan Rizky Alparisyi dengan karya bertajuk Lagu Malam. Malam adalah katup pembuka inspirasi bagi komposer ini. Banyak hal yang bisa direnungkan dari sebuah malam. Sebagaimana halnya Mozart yang mencipta Eine Kleine Nachtmusik atau Chopin untuk Nocturno. Mengutip ulasan reviewer (pengulas) Hukmi, yang tampil bijak dan rancak mengulas pementasan malam itu. Banyak budaya musik dunia yang mengeksplorasi malam. Bahkan pada abad 20-an inspirasi malam tampil secara jazzy. Termasuk P Ramlee dengan lagunya “Nyanyian Jiwa”. Pun pada lagu balada, malam adalah harapan. Kehadiran reviewer ini berangkat dari pernyataan terkadang sebuah peristiwa apresiasi memerlukan bahasa verbal.
Napas keempat adalah Planet Zapin, buah kreasi Rino Dezapati. Komposisi ini tidak asing lagi menghiasi produk kreativitas musik, tidak hanya di Riau, namun juga di negeri tetangga, Malaysia. Komposisi ini juga dijadikan sebagai salah satu objek penelitian musik di negeri jiran itu. Kembali mengutip Hukmi, Planet Zapin adalah refleksi melihat culture melayu sebagai sebuah keterbukaan. Dari segi etnologis adalah orang Melayu menyapa segala hal. Komposisi ini merupakan eksplorasi dari melodi-melodi musik zapin dengan pendekatan teori syncope, yaitu modifikasi irama atau melodi dengan cara sinkopasi. Konsistensi Rino mendalami dunia musik bisa terlihat dari komposisinya yang mencecah hingga ke relung jiwa ini. Betapa sebuah musik tradisi, tidak hanya cukup menjadi tradisi, namun mampu melesat ke alam modern saat ini dengan sentuhan kreativitas melodi.
Kembali komposisi sang komposer dan konduktor Zuarman Ahmad mengisi napas kelima Cereka Bunyi (Sound Fiction). Preludium dari Opera Bulang Cahaya ini menghentak. Baritonis Risky Alfarisyi menyanyikan lirik dari kisah overture Opera Bulang Cahaya. Dominasi biola, biola alto dan celo ini menghentak serentak diiringi timpani dan alat tiup lainnya. Namun sentakan preludium ini iramanya agak melambat dari overture. Bethoven bekerja sama dengan Goethe sehingga hadir Simphony 9. Begitu juga Wagner dan Nietzsche yang saling mengagumi. Bukan tidak mungkin komposer memakai sajak-sajak penyair yang dikenal dengan istilah sajak filler. Begitulah, ada kisah dan lirik yang menyatu dalam orchestra ini.
Menceraka bunyi berikutnya adalah karya Arman Rambah. Komposer ini menyajikan komposisi bertajuk Flute, Piano and Quartet String. Sebuah komposisi musik yang absolut. Karya ini adalah luahan dari endapan memori yang lengket dalam dokumen memori komposer yang menamatkan studi magisternya di Institut Seni Indonesia (ISI) setahun silam ini. Arman yang tunak menukang nada demi nada ini mengkomposisikan sistem tangga nada modal. Arman dengan jujur mengatakan bahwa karyanya ini lahir dari setting masa kecil. Semua pengalaman dari kecil terwakili melalui Flute, Piano and Quartet String ini. Arman adalah salah seorang pendiri BSO yang konsisten berkarya di bidang seni musik.
Dan sebagai tutup lawang adalah karya Julisman dengan tajuk Bagan Siapiapi. Dari karya ini terlihat bagaimana sang komposer berpetualang menapaktilasi ceruk demi ceruk Bagan Siapiapi. Inilah pastoral simponi si komposer yang bersebati dengan alam dan sosial Bagan. Sebagaimana halnya Johann Sebastian Bach menggubah Kota Brandenburg menjadi komposisi musik Brandenburg Concerto. Atau sang komposer Amir Pasaribu melihat di kali Cikapundung Bandung, capung-capung bermain, beterbangan di sekitar permukaan kali. Akhirnya melahirkan karya Sonata for Piano.
Begitulah napas demi napas kreativitas bunyi berdegup kencang di Anjung Seni Idrus Tintin. Walaupun pembangunan gedung itu terbengkalai, namun karya yang dibentangkan di gedung itu tak pernah usai. Mengutip ucapan budayawan yang menakhodai BSO, Al azhar, seiring dengan proses kontemplasi seni anak negeri Sang Burung Waktu terus terbang di setiap sela Anjung Seni Idrus Tintin.***
Murparsaulian, sastrawan dan pengamat musik. Tinggal di Pekanbaru
Sumber: Riau Pos, Minggu, 19 Juni 2011
No comments:
Post a Comment