-- Iwan Gunadi
SEORANG penulis cerita pendek (cerpen) dongkol lantaran cerpennya yang dimuat di dua media cetak berbeda digugat seseorang. Gugatan dalam salah satu surat pembaca yang muncul di media cetak yang terakhir memajang cerpennya itu menyalahkan pemuatan ganda tersebut. Kata si penggugat, pemuatan ganda itu merugikan pembaca dan cerpenis lain. Pembaca kehilangan kesempatan untuk menikmati cerpen atau informasi yang berbeda. Sementara cerpenis lain kehilangan peluang untuk ikut dimuat di media cetak itu.
Yang makin membuatnya dongkol, si penggugat itu adalah temannya sendiri. Ia bukan cerpenis, melainkan penulis puisi. Ia memang tak pernah mengirimkan puisi ke dua media cetak sebelum salah satunya menyatakan menolak. Tapi banyak temannya sesama penulis puisi tak melakukan hal serupa. Akhirnya, banyak puisi yang sama dimuat di lebih dari satu media cetak. Yang bikin ia keki, tak seorang pun yang pernah mempermasalahkannya. “Diamput, ini benar-benar standar ganda,” makinya seraya merobek-robek koran yang memuat surat gugatan itu.
Kekesalan sang cerpenis adalah sebuah fakta. Satu cerpen yang sama dimuat di lebih dari satu media cetak —biasanya di dua media cetak berbeda— juga fakta. Fakta yang lebih sering lagi adalah pemuatan satu puisi yang sama di lebih dari satu media cetak —bahkan bisa di tiga sampai dengan lima media cetak berbeda.
Yang lebih jarang terjadi adalah publikasi satu esai atau kritik sastra yang sama di lebih dari satu media cetak. Tapi, sebaliknya, tak jarang satu esai nonsastra, terutama esai yang berisi opini, dimuat di lebih dari satu media cetak.
Waktu pemuatannya bisa sama. Kalau itu yang terjadi, pembaca mudah menengarai dan menginformasikannya, termasuk ke redaksi media cetak yang memuat tulisan tersebut. Tapi, kalau waktunya berbeda, apalagi dengan rentang yang sangat jauh, tak mudah bagi pembaca untuk menengarai dan menginformasikannya. Di sini, pembaca cenderung berfungsi sebagai pengontrol.
Redaktur yang bertanggung jawab meloloskan tulisan-tulisan itu sendiri tak mungkin mengontrol dan mendata semua tulisan yang pernah dimuat media cetak lain dengan beban kesibukan yang dipikulnya. Jangan-jangan, ada media cetak yang tak mendata tulisan-tulisan, terutama dari luar, yang telah dimuatnya sendiri. Buktinya, masih ada media cetak yang memuat tulisan, termasuk cerpen, sampai lebih dari sekali —biasanya dua kali— tanpa bermaksud menyengajanya.
Boleh jadi, setiap redaktur tak bermaksud menerapkan standar ganda untuk cerpen, esai sastra, dan esai nonsastra di satu sisi dan puisi di sisi lain. Pemuatan ganda cerpen, esai sastra, dan esai nonsastra biasanya diganjar masuk daftar hitam orang-orang yang tulisannya tak lakak dipublikasikan lagi. Itu dilakukan setelah pemuatan ganda itu diketahui redaktur. Sebaliknya, pemuatan ganda puisi seperti tak pernah diganjar “hukuman” setimpal. Penyebabnya tampaknya lebih bukan lantaran redaktur tak mau melakukannya, melainkan karena tak tahu. Pembaca pun nyaris tak ada yang menginformasikannya.
Pemuatan ganda sendiri terjadi karena penulisnya mengirimkan tulisan yang sama ke lebih dari satu media cetak. Tulisan tersebut biasanya dikirim dalam rentang waktu berbeda. Setelah menunggu sekian waktu tak dimuat juga di satu media cetak, penulis mengirimkannya ke media cetak lain. Pemuatan ganda tak mungkin terjadi jika penulis menginformasikan ke redaktur tentang penarikan tulisan itu sebelum dikirim ke media cetak lain atau redaktur tak telat menerima informasi penarikan tersebut.
Namun, ada juga penulis yang sengaja tak memberi tahu redaktur tentang penarikan tulisan itu. Penulis seperti itu biasanya memang masih berharap tulisannya dimuat media cetak tersebut. Bahkan, ada penulis puisi yang sengaja mengirimkan puisi yang telah lama dimuat di satu media cetak ke media cetak lain dengan harapan mengutip honorarium ganda.
Di sisi lain, pemuatan ganda sendiri kadang-kadang disengaja. Ini biasanya berlaku bagi tulisan dari pihak luar media cetak yang diterima bukan karena penulisnya mengirimkan ke banyak media cetak. Tulisan semacam ini dimuat ganda —kurang dipedulikan apakah media cetak lain telah memuatnya atau belum— lantaran pentingnya isi tulisan tersebut atau pentingnya orang yang menulisnya dan media cetak tersebut tak perlu membayarnya. Misalnya, naskah pidato presiden pada kesempatan tertentu (poin c Pasal 13 Undang-Undang UU RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta —selanjutnya disebut UU Hak Cipta— yang mulai berlaku sejak 29 Juli 2003 lalu).
Persoalannya, apakah pemuatan ganda itu menyalahi peraturan? Setahu saya, tak ada satu peraturan pun yang mengakomodasi secara khusus masalah pemuatan ganda di media cetak. Meski begitu, ada pasal dalam UU Hak Cipta yang mengarah ke pengesahan pemuatan ganda.
Sebab, Pasal 46 UU tersebut menyebutkan, “Kecuali diperjanjikan lain, pemegang hak cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga…” Pasal tersebut dapat ditafsirkan, penulis sebagai pemegang hak cipta boleh mengirim satu tulisan yang sama ke lebih dari satu media cetak dengan konsekuensi dimuat di lebih dari satu media cetak pula, baik dimuat secara serempak atau dalam waktu yang berbeda.
Memang, di sana ada klausa “Kecuali diperjanjikan lain”. Tapi, persoalannya, perjanjian yang mana? Lazimnya, perjanjian melibatkan dan disepakati kedua belah pihak yang berjanji. UU Hak Cipta pun cenderung mendefinisikan perjanjian seperti itu. Bahkan, UU tersebut mewajibkan perjanjian lisensi wajib dicatatkan di Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Cipta agar mempunyai akibat hukum kepada pihak ketiga (Pasal 47, ayat [2]).
Kalau perjanjian seperti itu yang dimaksud, saya tak pernah tahu bahwa ada penulis cerpen, puisi, esai sastra, atau bentuk tulisan lain sebagai pemegang hak cipta menandatangani perjanjian dengan pihak media cetak tentang pelimpahan hak eksklusif dari penulis kepada media cetak untuk mengumumkan atau memperbanyak tulisannya. Apalagi kalau sampai dicatatkan di Ditjen Hak Cipta.
Yang ada biasanya hanyalah ketentuan yang dibikin sendiri oleh pihak media cetak bahwa tulisan tidak pernah dimuat media cetak atau media massa lain. Ketentuan yang melarang pengiriman tulisan ke media cetak atau media massa lain nyaris tidak ada—untuk tak menyebut tak ada sama sekali.
Ketentuan yang melarang mengirim tulisan yang pernah dipublikasikan itu pun tak diketahui setiap penulis. Sebab, ketentuan itu tak pernah dimuat secara permanen atau terus-menerus di setiap media cetak. Penulis biasanya hanya tahu dari surat balasan bila tulisannya ditolak untuk dimuat. Padahal, tak semua media cetak menolak tulisan dengan cara seperti itu.
Kalau ketentuannya seperti dalam UU Hak Cipta, apa pihak media cetak tak dirugikan? Dengan prosedur seperti sekarang, pemuatan ganda sedikit banyak merugikan pihak media cetak, apalagi pihak media cetak yang memuatnya bukan pada kesempatan pertama.
Namun, dengan mempertimbangkan motif masyarakat Indonesia membeli media cetak, seberapa besar sih anggota masyarakat yang membeli media cetak hanya dengan alasan ingin membaca karya sastra, termasuk esai atau kritik sastra? Meski angka pastinya tak ada, jumlahnya diyakini sangat kecil. Apalagi masing-masing media cetak diasumsikan punya target pasar berbeda.
Dengan asumsi yang sama, pembeli media cetak pun berpeluang sangat kecil untuk dirugikan. Kalau dia ternyata biasa membeli lebih dari satu media cetak dengan asumsi target pasar yang berbeda itu dan membeli dengan motif tunggal ingin membaca karya sastra, toh, dia masih punya hak untuk tak membeli media cetak yang memuat karya sastra yang sama.
Namun, kesempatan tampil karya sastra penulis lain jadi berkurang? Betul. Tapi itulah pilihan redaksi media cetak yang bersangkutan. Itulah hak prerogatifnya, walau mungkin kemudian disesalinya karena ternyata dimuat juga media cetak lain. Di sisi lain, itulah hasil kompetisi: karya siapa yang dianggap bagus di mata redaksi, karya itu pula yang dimunculkan.
Nyatanya, yang lebih banyak dirugikan secara ekonomis adalah penulis. Masih banyak media cetak yang tak memberikan honorarium —UU Hak Cipta hanya menyebut royalti— kepada penulis. Padahal, meski diawali dengan klausa “Kecuali diperjanjikan lain”, Pasal 45, ayat (3), UU tersebut mewajibkan pemberian royalti kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi. Tak sedikit pula media cetak yang memberikannya dalam jumlah alakadarnya.
Masih ada pula media cetak yang menghanguskan honorarium yang tak diambil penulis secara langsung dalam jangka waktu tertentu—biasanya paling telat tiga bulan. Ini biasanya berlaku untuk penulis yang sekota dengan kantor (pusat) media cetak itu atau berdekatan dengan kota kantor tersebut. Padahal, media cetak tersebut tak pernah memberitahukan ihwal pemuatan tulisannya.
Ujungnya, urusan pemuatan ganda menjadi kelihatan repot di mata penulis cerpen dan penulis puisi tadi. Tapi mereka berdua tak lagi saling dongkol. Mereka tak lagi mengirimkan tulisannya ke media cetak.
Maklum, media cetak tak lagi menyediakan ruang bagi mereka. Sebab, media cetak pun pusing kalau harus mengontrol tulisan di semua media cetak lain dan mematuhi ketentuan UU Hak Cipta. Padahal, niat mereka menyediakan ruang itu hanya untuk “ibadah”. Kalau untuk “ibadah” saja dibikin pusing dan repot, ngapain “ibadah” kalau akhirnya nggak ikhlas.
Iwan Gunadi, eseis dan peneliti sastra. Pernah menjadi Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Tinggal di Tangerang, Banten.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 19 Juni 2011
No comments:
Post a Comment