-- Muhammad Subarkah
MALAYSIA dan Singapura mengalami persoalan serius dalam penggunaan bahasa Melayu.
Kegundahan akan menghilangnya bahasa nasional di Malaysia ternyata juga mulai terasa. Sastrawan dan pakar bahasa Melayu Prof Dr Siti Zainon Ismail mengaku galau atas cara orang Malaysia ketika mengungkapkan pikiran melalui bahasanya. Kalau di Indonesia dikenal berbahasa ala gado-gado, dia menyebutkan, di Malaysia cara berbahasa itu mirip memakan rujak.
"Yang paling degil adalah gaya bahasa kalangan bisnis. Mereka seenaknya saja mencampur-campur bahasa. Mereka berpikir bahasa nasional, yakni bahasa Melayu, sudah tak mampu lagi menampung kebutuhannya dalam menyampaikan perkembangan bisnis," kata Zainon.
Tak beda dengan di Indonesia, Zainon juga mengakui, kalangan pejabat negara mulai jengah untuk berbahasa Inggris dengan benar. Bahkan, mereka terlihat tak malu lagi untuk menggunakannya. Bahkan, tampak sekali mereka silau dengan terus memakai bahasa Inggris di banyak acara resmi. "Kalau jumpa pers, misalnya, ketika ada wartawan bertanya dalam bahasa Inggris, langsung saja percakapan berganti dengan Inggris. Padahal, pejabat negara sudah ada ketentuan mengenai penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional."
Dia menceritakan, sebenarnya semasa Anwar Ibrahim menjabat sebagai menteri pendidikan, sudah ada usaha pembakuan bahasa Malaysia yang akarnya merupakan bahasa Melayu Riau. Saat itu akhiran 'e' yang acap keluar dari kebiasaan percakapan, dalam percakapan formal tetap dibunyikan 'a'.
Zainon mengakui, keinginan untuk tetap mempertahankan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi tetap menyala di Malaysia. Kalangan para pegiat sastra dan budaya terus berusaha mempertahankannya sekuat mungkin. Tapi, hanya kalangan sekelompok 'elite' yang kini cenderung tak menghiraukannya. Bahkan, ketika ada usaha untuk membakukan bahasa Melayu, terdengar tuduhan bahwa itu adalah keinginan untuk meniru cara berbahasa orang Indonesia.
"Kalau di kalangan sastra dan budaya tetap terjaga dan menghormati bahasa Melayu, tapi ini berbeda bila di kalangan bisnis. Umpamanya, ketika ada peluncuran mobil baru. Di pentas, para pebisnis berbicara dengan bahasa Melayu, tetapi ketika konferensi pers, situasi menjadi lain. Soalnya, bila wartawan berbicara bahasa Inggris, menterinya pun akan menjawab dengan bahasa Inggris. Hanya satu menteri, yakni menteri warisan kami yang masih sopan. Kalau yang lain, tidak begitu lagi," tegas Zainon yang pernah mengecap pendidikan seni di Yogyakarta pada dekade 70-an.
Diakui Zainon, kini masyarakat di Malaysia juga mengalami perubahan tata nilai yang dahsyat. Imbas ini pun terjadi pada cara berbahasa kalangan muda dalam 10 tahun terakhir dengan dipakainya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar banyak mata kuliah di Universitas. Padahal sebelumnya, atas dukungan mantan PM Tun Abdul Razak pada 1969, bahasa Melayu digunakan sebagai pengantar dalam kuliah di kalangan perguruan tinggi di Malaysia. Saat itu banyak guru dari Indonesia juga didatangkan ke Malaysia untuk mengajar pelajaran sains di berbagai sekolah dan universitas.
Tetapi, akibat globalisasi, semua menjadi berubah. Pada zaman Mahathir Mohammad atau sekitar dekade 90-an akhir, dinyatakan bahwa sebagian mata pelajaran di kuliah diperbolehkan memakai pengantar bahasa Inggris. Akibat adanya kelonggaran, seolah-olah mulai saat itu, bahasa Inggris boleh digunakan dalam seluruh kuliah. Dan, itu terus terjadi hingga sekarang. "Suasana semakin berarti ketika kalangan muda ingin berbahasa Inggris sebagai cara untuk masuk dunia kerja. Bahasa Melayu pun mulai terlupakan," ujar Zainon.
Melihat kenyataan itu, Zainon dengan nada sedih menyatakan bila tetap dibiarkan tanpa kepedulian dalam beberapa dekade ke depan bahasa Melayu di Malaysia akan punah. Celakanya, kalau bahasa Melayu menghilang dari negerinya, identitas Malaysia sebagai bangsa pun ikut punah.
"Bila bahasa nasional Melayu hilang, bangsa Malaysia juga akan hilang. Sebab, keturunan dari jiwa adalah melalui bahasa. Nah, bahasa mau cantik itu karena kita menjiwainya. Jadi, bahasa adalah simbol dari hati nurani dan kecintaan terhadap bangsa. Sebab, tidak ada suatu bangsa yang bisa berdiri dan mandiri dengan menggunakan bahasa asing," tegasnya.
Tak beda dengan Malaysia, ancaman kepunahan bahasa Melayu di Singapura kini semakin mencolok. Apalagi, besaran etnis Melayu di negeri itu hanya sedikit, yakni sekitar 15 persen dari populasi warga negara secara keseluruhan. Bahasa Melayu kini hanya dipakai di kalangan orang tua. Anak muda etnis Melayu di Singapura kini mengalami keminderan serius ketika menggunakan bahasa ibunya. Bila bercakap dalam bahasa Melayu, mereka merasa sebagai orang bodoh dan dari kalangan kelompok orang tak berpunya.
Pada sisi lain, seperti dikatakan sastrawan terkemuka Singapura, segala bentuk ideal mengenai sosok pahlawan dan tatanan norma yang dahulu merupakan pokok ajaran orang tua yang menjadi sistem nilai hidup sehari-hari anak keturuan puak Melayu pun hilang tak berbekas. Tak ada lagi cerita mengenai penyair kondang Hamzah Fansuri atau kisah yang ditulis Abdulkadir Munsyi.
"Sekarang ini sudah sulit sekali. Anak-anak muda sudah masuk dalam sekolah aliran Inggris. Tak ada aliran bahasa Melayu, Cina, atau Tamil. Dengan memasuki aliran Inggris itu, bahasa Melayu dipelajari sebagai satu bahasa dan tarafnya sebagai bahasa kedua. Melalui survei dalam 10 tahun terakhir, hanya tinggal 2,5 persen orang Singapura yang masih memakai bahasa Melayu dalam percakapan kesehariannya. Lainnya sudah total berbahasa Inggris," kata Suratman. Dia pun memperkirakan pada 2020 di Singapura tak ada lagi orang yang bercakap dalam bahasa Melayu.
Menurut Suratman, gencarnya penggunaan bahasa Inggris di Singapura dimulai sekitar tahun 1980-an. Hal itu ditandai dengan mulai totalnya pemakaian bahasa Inggris di setiap lapisan masyarakat. Pindahnya pemakaian ke dalam bahasa Inggris itu karena alasan praktis, yakni agar mudah mendapat pekerjaan. "Tapi, niat itu kini juga tak menjadi kenyataan. Sebab, kalau hanya ingin mudah mendapat pekerjaan karena bisa berbahasa Inggris, sekarang sudah tak bisa lagi. Ini karena mesti ada kemampuan lain yang harus mereka kuasai juga. Apalagi setiap orang kini semuanya hampir bisa berbahasa Inggris."
Bukah hanya itu, lanjut Suratman, seiring dengan hilangnya bahasa Melayu, sastra Melayu di Singapura pun akan punah. Waktunya juga diperkirakan tidak terlalu lama, hanya 10-20 tahun lagi. "Nah, tanda-tanda ini sudah terlihat. Kecenderungan sekarang, bahasa Melayu hanya dipakai sebagai sarana lulus ujian bila ingin melanjutkan ke universitas atau mendapat pekerjaan tertentu. Itu saja digunakan layaknya password untuk mencapai hal itu."
Bagaimana perhatian Pemerintah Singapura? Suratman mengakui pemerintah cenderung tak peduli karena mereka menfokuskan warga Singapura sebagai warga negara dunia yang itu berarti harus bisa berbahasa Inggris. "Meski begitu, kami akan tetap berjuang. Generasi muda kami persilakan bicaralah dengan bahasa Inggris yang benar-benar Queen English."
"Namun, pada saat yang sama, kami juga berpesan agar kekuatan bertutur dengan berorientasi pada bahasa ibunda kami harus tetap dikekalkan. Sebab, nantinya saya percaya hanya orang Singapura yang pintar yang masih bisa berbicara bahasa Melayu dengan baik," tandas Suratman Markasan. Tak akankah Melayu hilang di bumi?
Sumber: Republika, Selasa, 28 Juni 2011
No comments:
Post a Comment