BANDAR LAMPUNG (Lampost): Program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dinilai tidak memiliki dasar filosofis dan strategi kebudayaan. Akibatnya, program ini hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek dan bersifat pragmatis.
Hal itu dikatakan Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fajar Setiawan Roekminto dalam diskusi RSBI di kantor redaksi Lampung Post, Minggu (19-6).
Diskusi ini dihadiri Idris H.M. Noor dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), yang memiliki agenda melakukan penelitian tentang RSBI di Lampung.
Celakanya, kata Fajar, kebijakan RSBI juga tidak ditunjang dengan strategi pengembangan pendidikan bermuatan kebudayaan sehingga dapat dikatakan program ini bermuara kepada kegagalan. Bahkan, menurut dia, perkembangan RSBI justru bertentangan dengan program pemerintah yang saat ini mewacanakan dan menggembar-gemborkan pendidikan karakter dan kebangsaan.
"Bagaimana anak memiliki karakter yang baik, mampu menghargai dan menghormati orang lain, jika sedari kecil sudah diajari untuk bersaing tidak sehat dam tumbuh dalam iklim pendidikan yang diskriminatif," kata dia.
Fajar mencurigai motif berkembangnya RSBI di Indonesia adalah untuk mengomersialisasikan pendidikan karena RSBI yang nanti berhasil menjadi SBI tak ada bedanya dengan sekolah swasta. "Jika sudah menjadi sekolah SBI, mereka tidak lagi mendapat bantuan dari pemerintah dan memiliki kebebasan untuk memungut biaya dari masyarakat, dan yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan," kata Fajar.
Ia mengatakan dalam menjalankan kebijakan pendidikan, pemerintah harus berpegang pada filosofi dasar pendidikan mengangkat harkat derajat manusia setinggi-tingginya, yang tentunya dilakukan tampa ada unsur diskriminasi.
Dalam diskusi tersebut juga terungkap tentang kemampuan guru RSBI tidak jauh beda dengan guru di sekolah reguler. Kemampuan guru dalam berbahasa Inggris, misalnya, sangat kurang. Akibatnya, pelajaran Fisika yang diantarkan dengan bahasa Inggris menyulitkan siswa RSBI memahami apa yang dimaksud guru.
“Jangankan bahasa Inggris. Belajar Fisika menggunakan bahasa Indonesia saja masih sulit,” kata Idris.
Menurut Idris, RSBI akan dievaluasi dua tahun lagi, apakah layak dilanjutkan atau dihapus saja. “Kan, waktunya tujuh tahun untuk dievaluasi. Sekarang sudah lima tahun, tinggal dua tahun lagi. Masalahnya, kalau nanti dihapus, muncul pertanyaan selama tujuh tahun ini ngapain aja,” ujarnya sambil tertawa. (MG1/S-1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 20 Juni 2011
No comments:
Post a Comment