Sunday, June 05, 2011

Realitas Penguasa/Pengusaha yang Membunuh (Melayu) Riau: Telaah Kumpulan Cerpen Sebutir Peluru dalam Buku karya Olyrinson

-- Musa Ismail


Sekapur Sirih, Seulas Pinang

Realitas memang tidak dapat dipisahkan dari genre sastra apapun. Seabsurd atau seirasional apapun karya sastra, sudah dipastikan memiliki sisi realitas di dalamnya. Istilah realitas berawal dari realisme. Sebagai istilah estetika, realisme pertama sekali digunakan dalam Majalah Mercure Francais di XIX Siecle pada 1826. Di majalah itu, realisme digambarkan sebagai “peniruan bukan dari karya seni tradisi, melainkan peniruan dari aslinya yang disajikan oleh alam” (Luxemburg dalam Mahayana, 2005:356).

Tentang realitas ini, pada seminar dan peluncuran buku bertajuk Pramoedya Ananta Toer: Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rabu (31/12/2010), Pramoedya menjelaskan, realisme sastra memberikan kemerdekaan kepada publik untuk mengambil kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang dituliskan oleh sastrawan. Dalam hal ini, setiap kali menuliskan karyanya, sastrawan harus membuktikan baik-buruknya sesuatu atau seseorang dengan berpijak pada kenyataan yang dilihatnya. Sastrawan harus berani menyodorkan fakta. Selain itu, juga membebasan sastrawan dan publik dari belenggu pemikiran, paham, tradisi, mitos, dan legenda yang tidak manusiawi. Dengan mengedepankan fakta-fakta sosial, berarti publik diberi hak untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu hal tanpa merasa didikte. Sementara itu, Zainul Milal Bizawie menguraikan, bagi realisme-sosialis, setiap fakta adalah proses dialektika yang berjalan terus-menerus menuju kebenaran. Realitas bukan tujuan atau kebenaran itu sendiri. Karena itu, karya sastra harus menunjukkan keberpihakannya pada rakyat.

Honoré de Balzac adalah novelis pertama yang menyuarakan gerakan realis lewat karya-karyanya seperti Eugénie Grandet (1833), Le Père Goriot (1834), dan karya monumentalnya, La comédie humaine (1842-1848). Kejeniusan novel Balzac ini memicu banyak penulis lain, namun dua saja yang menonjol. Yang pertama adalah Champfleury yang kemudian menuliskan sebuah manifesto resmi bagi arah baru gerakan sastra Perancis dalam kumpulan esainya, Le réalisme (1857), sehingga gerakan ini dinamai realis. Namun, penulis kedua yang justru lebih diakui bapak sastra realis dan gaya tulisannya diikuti banyak penulis sesudahnya. Dialah Gustave Flaubert yang pertama kali mengaplikasikan kejeniusan metode Balzac lewat Madame Bovary (1857), lalu L’éducation Sentimentale (1869) yang lebih mematangkan program realis.

Dalam perkembangan sastra kita, dinamika sejarah sastra dunia, sangat berpengaruh. Tengok Pujangga Baru, yang merupakan gema dari angkatan 80 di negeri Belanda. Angkatan Gelanggang atau Angkatan 45, yang digemari oleh sastra dunia yang memiliki konsepsi modernisme. Demikian juga dengan dekade 70-an, lewat eksistensialisme dan absurditas. Termasuk juga polemik sastra, karya sastra yang bersifat postmodernisme, yang merupakan gema yang sudah berkecamuk pada tahun 70-an di Eropa. Tak ketinggalan polemik sastra kontekstual, yang merupakan gema dari gerakan sastra multikultur yang menggejala di sastra dunia hingga kini.

Dalam perkembangan sastra kita selama satu abad ini, selalu dijiwai oleh sastra realisme, kita perhatikan semenjak Siti Nurbaya tahun 1920-an hingga para pemenang Lomba novel DKJ, 1998-2008, banyak didominasi oleh sastra realitas sosial yang berangkat dari pengalaman pribadi dan hasil penelitian. Laskar Pelangi (termasuk tetraloginya) karya Andrea Hirata pun bisa dikategorikan ke ranah ini. Dalam kondisi bangsa yang mengalami ketimpangan sosial, kemarjinalan, ketidakberdayaan kaum bawah, kapitalisme menyeruak, politik gelang karet, mafia kasus hukum, demokrasi semu, kehidupan ekonomi yang tidak stabil, kerusakan lingkungan hidup, dan goncangan-goncangan keterpecahan bangsa, serta masih kuatnya kuku kekuasaan.

Sastrawan Riau tidak begitu banyak mengangkat realitas kehidupan masyarakat negeri ini. Salah seorang di antara yang tidak banyak tersebut adalah Olyrinson, sastrawan keturunan Tionghoa-Nasrani, tetapi banyak mengangkat kehidupan Melayu, termasuk hal-ikhwal islami. Realitas-realitas yang diangkat Oly begitu rinci, dekat, deskriptif, dan eksploratif terhadap kehidupan-kehidupan di sekitar lingkungannya. Untuk lebih menukik, berikut ini saya mengajak pembaca untuk mengapresiasi karya-karyanya.

Sebilah Kacip

Sebutir Peluru dalam Buku (SPdB) merupakan kumpulan cerpen perdana Olyrinson yang diterbitkan Palagan Press, April 2011. Karena ragu beberapa hal, saya sempat sms-an dengan Oly —begitu saya menyapanya— sebelum mengulas cerpen-cerpen SPdB. Oly yang Tionghoa-Nasrani, bisa menyelinap sedikit ke realitas islami. Ya, terminologi realitas inilah yang dapat saya tangkap dengan begitu nyata dalam karya-karya cerpennya. ’’Semuanya itu realitas, Cikgu,’’ jawabnya terhadap pertanyaan saya. ’’Karena aku nggak ada ilmu sastra, Cikgu, jadi nggak bisa aku beraneh-aneh dalam menulis. Jadi, konvensional saja,’’ sambungnya. Namun, ternyata Oly punya pandangan tersendiri tentang karya-karya realis. Menurutnya, dengan realis, kita (sastrawan) bisa menyampaikan maksud tanpa perlu membuat pembaca bingung. Dengan realis, cerpen bisa kuat, penokohan dan karakter dibangun dengan struktur cerita, detailnya terjaga. Yang terpenting, cerpen-cerpen realis akan terasa jauh lebih indah (tentunya saya yakin Oly tidak mengerdilkan karya-karya yang non-realis). Dapat dikatakan, Oly memang realis (mungkin pengagum realisme) sejati. Ini dapat pula kita buktikan melalui kajian cerpen-cerpennya dalam SPdB.

Mahayana mengatakan, secara teknis, realisme merupakan aliran atau paham yang berusaha mematuhi fakta real yang terjadi. Real berarti yang aktual atau yang ada. Acuannya adalah benda-benda atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi dan kasat mata. Dalam bidang sastra, realis berarti gambaran tentang benda-benda atau kejadian yang tampak seperti keadaan sebenarnya. Yang terungkap di sana adalah gambaran terperinci kehidupan biasa yang sebenarnya, yang menyangkut kegiatan-kegiatan manusia secara konkret.

Karya sastra bukan idealisme, tetapi refleksi realitas. Itulah yang dapat kita tangkap dari cerpen-cerpen Oly. Melalui kumpulan cerpen SPdB, sastrawan yang sering memenangkan berbagai sayembara menulis ini, lebih banyak menekankan makna karyanya pada beberapa kenyataan ironis. Pertama, sikap para penguasa dan pengusaha terhadap masyarakat di sekitar lingkungannya. Kedua, ketertekanan kehidupan rakyat kelas bawah di tengah lingkungan para penguasa dan pengusaha. Ketiga, kemiskinan, kelaparan, kejahatan, dan marwah rakyat kelas bawah yang tercabik-cabik. Keempat, kontradiksi kehidupan kaya-miskin di negeri Melayu (yang kayat-raya ini). Semua ironisme ini dapat dirangkum dalam satu pernyataan: Cerpen-cerpen Oly mengangkat realitas para penguasa dan pengusaha yang membunuh (Melayu) Riau: membunuh lingkungan, membunuh harmonisasi, membunuh kemerdekaan, dan membunuh hak-hak masyarakatnya.

’’Beberapa tokoh dalam cerpen saya, masih hidup, Cikgu…’’ begitu Oly meyakinkan saya tentang objek realitas yang digarapnya. Secara etnik, tokoh-tokoh dalam SPdB ini sangat Melayu. Tokoh-tokoh inilah yang dihidupkan kembali oleh Oly dalam cerpen-cerpennya. Sebagian besar, tokoh-tokoh yang ’’dibungkusnya’’ berada dalam latar suasana susah, terjepit, tertekan, miskin, dan tidak mampu berbuat apa-apa. Paradoks realitas kehidupan masyarakat Melayu (Riau) dapat kita tangkap dengan amat jelas dalam kutipan cerpen “Rembulan Tengah Hari” berikut ini.

’’Orang-orang perusahaan minyak itu menyebut abah pencuri. Tapi bagi kami anak-anaknya abahku adalah pahlawan. Ia berjuang untuk menghidupi seorang isteri yang hamil tua serta lima orang anak yang masih kecil-kecil. “Tidak ada seorang pun yang mau dilahirkan sebagai pencuri, Ima,” Kata abahku suatu hari kepada emak. “ Begitu juga dengan aku. Jangan kau pikir aku senang melakukan semua ini. Tapi apa yang dapat aku lakukan. Tanah kita sudah habis terjual dan orang yang mengambil untungnya. Kita tidak pernah dapat kesempatan. Kita ditindas, dibilang bodoh, pemalas, tidak punya otak. Padahal, tanah kitalah yang mereka garap, hak kitalah yang mereka kangkangi. Berapa kali aku mencoba mencari kerja, tapi apa yang aku dapat? Orang lain juga yang menerima gajinya. Dengan apa akan kita beri makan anak-anak kita, Ima…?”

Cuplikan di atas merupakan deskripsi-realitas yang sangat dramatis dan tragis. Kondisi menyedihkan inilah yang terjadi di bumi Riau. Deskripsi ini merupakan masalah serius yang tidak pernah tuntas, baik oleh penguasa maupun pengusaha (perusahaan minyak bumi dan sawit) yang merampas hak-hak kehidupan rakyat. Akibat kekurangpedulian penguasa dan pengusaha, lahirlah kejahatan. Tidak dapat membedakan lagi antara pendosa (pencuri) dan pahlawan (pencari rezeki).
Paparan deskripsi-realitas-dramatis sangat dominan dalam SPdB. Selain gambaran tokoh-tokoh, pelukisan latar dan konflik juga sangat fokus dirincikan Oly, terutama jika dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat di sekitar perusahaan. Menurut saya, Oly secara tidak langsung telah memberikan catatan penting dalam peristiwa-peristiwa kehidupan nyata masyarakat yang bermukin di sekitar perusahaan. Cerpen-cerpennya ini merupakan hasil observasi yang sangat maksimal. Karena itu, secara tidak langsung, juga merupakan hasil penelitian yang dituangkan dalam bentuk rekaan yang minimal. Cerpen-cerpen Oly merupakan realitas kerakyatan.

Kenyataan-kenyataan yang dihadirkan dalam SPdB berkaitan dengan gambaran alam (latar tempat), keadaan fisik tokoh, dan pikiran serta perasaan tokoh. Sebagian besar latar tempatnya berada di lingkungan perkebunan sawit, HPH, dan perusahaan minyak yang dapat kita telusuri fakta-faktanya di Riau. Kondisi fisik, pikiran, dan perasaan tokoh jelas merupakan lukisan keadaan kejiwaan masyarakat yang tertekan dan tragis. Masyarakat yang bermastautin di sekitar latar tempat dalam cerpen-cerpen tersebut. Oly menggambarkan bagaimana kondisi pikiran dan perasaan masyarakat miskin, tertekan, didera kelaparan, dan keterpaksaan menjadi pencuri besi bekas di perusahaan-perusahaan. Gambaran kehidupan miris sangat kentara di dalam kumpulan cerpennya. Tentang kondisi tersebut, dapat kita kaji dalam cerpen “Bulan Ngapepekon”, “Konvoi”, “Emak”, “Jalan Sumur Mati”, “Malam Lebaran di Field”, “Menjual Trenggiling”, dan “Rembulan Tengah Hari” (sekedar menyebutkan beberapa judul).

Ada satu hal yang penting dalam pendeskripsian penokohan dalam karya-karya Oly. Kebanyakan karya-karyanya ini memfokuskan tokoh pada karakter anak kecil. Saya memandang ini suatu simbolisasi Oly yang bisa diartikan sebagai ’’masyarakat kelas bawah’’ atau ’’masyarakat kecil’’. Berarti pula bahwa Oly menyoroti masyarakat besar dan luas melalui penokohan anak kecil di dalam cerpennya. Simbolisasi dan metafora ini—disadari atau tidak oleh penulisnya—memberikan kekuatan tersendiri bagi pendeskripsian penokohan.

Aneka peristiwa yang hadir dalam SPdB merupakan fakta-fakta faktual masyarakat (Melayu) Riau. Jejak-jejak fakta tersebut dapat saja ditelusuri dalam kehidupan nyata sehari-hari. Panorama miris dan ironis dalam SPdB akan kita temukan pula jika kita mengamati kehidupan nyata masyarakat negeri ini. Secara sosiologi, fakta ini tidak terbantahkan. Yang lebih memprihatinkan, fakta ini tidak banyak mengalami perubahan. Kehadiran pengusaha dan penguasa ternyata belum bisa memberikan kehidupan harmonis di sekitar lingkungannya. SPdB merupakan hasil interpretasi Oly terhadap lingkungan, masyarakat, norma-norma kehidupan masyarakat (Melayu) Riau. Diakhir tulisan ini, saya mengajak untuk kembali merenungkan realitas kegetiran hidup masyarakat (Melayu) Riau alam cerpen “Menunggu Ayah Pulang Ninja”.

‘’Makanya kami lebih baik mati dari pada tertangkap. Kalau kami mati dengan dodos kami sendiri, kami bangga. Sebab kami berjuang mencari makan bukan untuk perut kami, tapi untuk keluarga kami, anak-anak kami dan sejauh kerabat yang dapat kami hidupi. Bagi kami orang yang mati dimakan dodos sendiri saat menjadi ninja adalah pahlawan. Setidaknya bagi keluarga kami. Karena orang yang mati dalam ninja bukan mati sebagai pencuri, tapi mati untuk menuntut kemerdekaan kami. Merdeka untuk mengelola tanah kami sendiri, hutan dan sungai kami sendiri.’

Musa Ismail, guru SMAN 3 Bengkalis, mahasiswa pascasarjana Prodi Manajemen Pendidikan, Universitas Riau. Menulis berbagai genre sastra, dan telah menerbitkan beberapa buku, termasuk tiga kumpulan cerpen. Tinggal di Bengkalis.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 5 Juni 2011

1 comment:

Unknown said...

artikel yang sangat bermanfaat

salam