Saturday, June 25, 2011

Gejala Disorientasi Pendidikan

-- Dwi Rohmadi Mustofa

BEBERAPA kasus pendidikan mencuat ke permukaan. Ia bagai bola salju yang kian membesar. Faktor yang mendukung adalah kian mudahnya publik mengakses media komunikasi, koran, televisi, radio, dan sebagainya. Bagi masyarakat, menyerap informasi melalui media, telah menjadi kebutuhan harian. Akhirnya, kasus-kasus yang diangkat merangsek ke ruang publik, dan dengan mudah menjadi polemik dan pembahasan banyak orang. Yang terasa jelas adalah gelombang pro dan kontra yang seakan tak berujung.

Dewasa ini, kasus apa pun yang dimuat media massa, akan mudah menjadi pembicaraan. Tak terkecuali, kasus-kasus menyangkut pelaksanaan pendidikan di Tanah Air, di samping berita-berita peristiwa, politik, sosial, ekonomi, olahraga, dan sebagainya.

Jika dicermati, kasus-kasus di bidang pendidikan tampaknya belum juga menemukan solusi komprehensif. Kalau tidak terulang, paling-paling kasusnya bergeser sedikit. Pelaksanaan ujian nasional, misalnya, belum menemukan titik temu yang mampu mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Demikian juga program sertifikasi guru, kurikulum lembaga pendidikan, kelembagaan pendidikan, bantuan operasional, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, akreditasi, penerimaan siswa baru, dan sebagainya.

Pendidikan sesungguhnya suatu sistem besar yang terdiri atas subsistem-subsistem. Cara pandang terhadap pendidikan harus menganut konsep sistem atau berpikir sistem. Mencuatnya berbagai kasus menyangkut pelaksanaan pendidikan dapat dipandang sebagai gejala disorientasi ataupun sebagai akibat dari cara pandang yang parsial. Ini bisa berlaku di level individual maupun di level kebijakan.

Di tingkat individual, misalnya, UN dijadikan ajang mencapai "yang terbaik", tanpa peduli proses. Potensi "penyakit" ini dengan mudah menghinggapi sebagian orang tua. Prestise menjadi agenda terselubung yang mengabaikan proses.

Di tingkat kebijakan, belum ada sinkronisasi maupun harmonisasi atas fungsi, maksud, dan tujuan dilaksanakannya UN. Contoh lain, program sertifikasi guru pada sebagian guru lebih mengedepankan harapan dana sertifikasi yang besarannya satu kali gaji pokok. Atau malah yang lebih miris lagi, kalau telah bersertifikat pendidik profesional, segalanya diukur dengan imbalan materi.

Akibatnya, tak jelas lagi batas mana sasaran akhir dan mana sasaran antara. Pemberian dana sertifikasi bagi guru yang telah bersertifikat adalah sasaran antara, di mana sasaran akhirnya adalah meningkatnya kualitas pendidikan.

Ujian nasional adalah alat evaluasi yang mengharuskan keadilan, kejujuran, dan objektivitas. Ia bukan menjadi alat untuk menghakimi. Dalam hemat penulis, intinya adalah perlunya dikedepankan nilai murni.

Contoh-contoh kecil tersebut mengindikasikan adanya disorientasi. Belum lagi kalau sampai terjadi politisasi. Tentu ada saja pihak yang mencoba meraih keuntungan secara politis atas setiap momen atau kasus.

Berpikir sistem dalam memandang pendidikan artinya memberikan ruang yang cukup bagi terlaksananya proses yang sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan. Lulus sekolah bukan hanya semata-mata lulus, melainkan harus melalui berbagai tahapan dan proses pendidikan dan pembelajaran. Meningkatkan kompetensi guru juga memerlukan waktu yang panjang. Menjaga dan meningkatkan kinerja guru memerlukan program pelatihan yang periodik.

Rasanya miris mendengar kabar, kinerja guru yang telah bersertifikat, belum sesuai dengan yang diharapkan, tetapi kemudian disuarakan sertifikat mereka akan dicabut. Jika mengharapkan kontibusi kinerja guru yang sesuai dengan maksud program, tentu perlu juga meninjau aspek kepemimpinan, sarana dan prasarana, kondisi lingkungan siswa, program lanjutan bagi guru yang telah bersertifikat, dan sebagainya.

Bagaimana guru akan mengimplementasikan berbagai kompetensinya, kalau ada "intervensi" atas otonominya mengelola kelas? Saat ia akan menerapkan kompetensi pedagogis, misalnya, banyak hal lain yang belum mendukung. Artinya, berbagai variabel tersebut hendaknya menjadi bahan pertimbangan yang matang, untuk melakukan evaluasi kinerja guru. Demikian pula pada subsistem-subsistem pendidikan yang lain; kurikulum, karakteristik pendidik dan tenaga kependidikan, kelembagaan, ketersediaan sarana dan prasarana, dan sebagainya.

Untuk terhindar dari gejala disorientasi terhadap pendidikan, dan agar tidak kian akut, setiap kita perlu melihat secara lebih cermat dan mencari sesuatu yang hakiki dari suatu proses pendidikan. Intinya adalah niat dan hasrat untuk mengikuti penyelenggaraan hendaknya didasarkan pada maksud-maksud yang positif. Jika demikian, cara yang dilakukan besar kemungkinan juga akan selalu terjaga, fokus, dan terarah.

Nilai pendidikan anak-anak bukan hanya ditunjukkan oleh angka-angka, tetapi oleh berbagai kinerja sekarang dan potensi yang berkembang di masa datang. Guru profesional bukan hanya ditunjukkan oleh sejumlah dana yang diterima, melainkan juga oleh kinerja yang penuh dedikasi.

Guru yang baik, dalam pandangan penulis, adalah yang mampu mengenali dan menggali potensi tersembunyi dalam diri siswanya, untuk kemudian difasilitasi untuk berkembang. Guru yang senantiasa mencari cara memotivasi belajar siswanya, sepenuh hati dalam membimbing, dan bukan yang sekadar mentransfer pengetahuan.

Lembaga pendidikan yang baik, bukan hanya ditunjukkan oleh kemegahan gedung dan sarana yang modern, melainkan bagaimana proses pendidikan dan pembelajaran dilaksanakan. Lembaga pendidikan yang baik adalah lembaga pendidikan yang senantiasa menciptakan dan menjaga budaya belajar, dan para pengelolanya memiliki integritas memajukan pendidikan.

Dwi Rohmadi Mustofa, Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan FKIP Unila


Sumber: Lampung Post, Sabtu, 25 Juni 2011

No comments: