-- Ahmad Ubaidillah
KERUSAKAN moral yang menimpa bangsa Indonesia sudah melewati tahap yang sangat membahayakan karena kerusakan moral tersebut sudah masuk di segala bidang dan dilakukan hampir seluruh komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat umum.
Di sini kita menyaksikan adanya suatu fenomena sekaligus tragedi yang sungguh berseberangan dengan suasana keagamaan. Dengan mudahnya kita bisa menyaksikan perilaku pejabat pemerintah atau sekelompok orang yang tidak mau tahu dengan segala bingkai moral. Pelanggaran moral baginya dirasakan enteng saja meskipun pesan-pesan agama yang sering didengarnya mengecam perilaku tersebut. Dari dari ancaman yang ringan sampai ke tingkat yang sangat keras dan mengerikan. Bagaimanapun kecilnya pelanggaran moral, kalau hal itu menggejala dan sampai menjadi budaya suatu masyarakat, maka ia akan dapat merapuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Padahal bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Simbol-simbol untuk itu sangat jelas terlihat dari pernyataan keagamannya dalam KTP. Pembangunan tempat ibadah terus bertambah dari waktu ke waktu. Dari tempat-tempat suci tersebut berkumandang seruan dan ajakan untuk berbuat kebaikan. Jumlah orang yang naik haji dari tahun ke tahun tidak pernah berkurang. Media massa, baik cetak maupun elektronik, senantiasa memberikan tempat dan ruang untuk pencerahan agama. Bahkan dalam kurun terakhir, buku-buku yang bernuansa keagamaan banyak diminati.
Namun, kenapa perilaku-perilaku yang melabrak moral terus saja terjadi? Di sini negara dan moral harus disatukan. Artinya, seluruh komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat umum) harus mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan moralitas yang tinggi. Mereka tidak harus melakukan sesuatu tanpa landasan moral yang tinggi.
Kalau kita berbicara tentang negara dan moral, sejak zaman purba, para ahli sudah membicarakan hubungan negara dan moral. Para filsuf Yunani, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, telah membincangkan tentang moral dan moralitas dalam hubungannya dengan kehidupan manusia pada umumnya. Menurut mereka, moralitas bersifat naturalistik, rasionalistik, dan objektivistik.
Moralitas bersifat naturalistik, dalam arti bahwa moralitas dipandang sebagai bagian dari dunia alami dan umat manusia dipandang sebagai sangat peduli akan pencapaian hidup yang baik, di dunia kini maupun di dunia kelak. Moralitas juga bersiafat rasionalistik dan objektivistik, dalam arti bahwa mereka percaya dan meyakini akan adanya wujud kebenaran yang objektif, dan bahwa akal budi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dari kebenaran itu.
Di dunia Islam, antara lain muncul seorang al-Ghazali (1058—1111) dengan teorinya yang menggabungkan negara dengan moral, yang dinamakannya kemudian dengan Siyasatul Akhlaq atau negara moral. Bagi al-Ghazali, negara dan moral tidak lagi merupakan dua hal yang terpisah, tetapi keduanya harus disatupadukan menjadi satu badan yang kompak. Menurut dia, negara yang tidak mempunyai moral berarti keruntuhan; dan sebaliknya moral yang tidak sejalan dengan negara adalah kelumpuhan.
Munculnya tulisan ini yang mengaitkan negara dan moral tidak lain adalah kegelisahan penulis akan adanya bencana besar yang telah menimpa bangsa Indonesia saat ini. Seperti yang dikatakan al-Ghazali, ketika bangsa atau umat itu sudah dihinggapi oleh suatu penyakit yang berbahaya, yaitu krisis moral. Dalam waktu sekejap, penyakit ini akan mengancam keutuhan suatu bangsa atau umat tersebut. Krisis moral dengan sendirinya akan menyebabkan terjadinya krisis yang bersifat multikompleks, yaitu krisis di semua bidang kehidupan bangsa. Baik ekonomi, politik, hukum, maupun sosial.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, krisis moral akan membawa bangsa menuju kehancuran ekonomi. Kemiskinan dan pengangguran akan mewarnai kehidupan bangsa akibat salah kelola sumber daya ekonomi, seperti pertambangan, minyak bumi, dan batu bara.
Dalam bidang politik, krisis moral akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Para pejabat negara mempergunakan kekuasaannya secara salah. Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Kekuasaan dipergunakan untuk memenuhi nafsu serakah individu dan kelompoknya. Jika pihak atasan sudah berbuat demikian, para pegawai di tingkat bawah mengambil teladan atas perilaku buruk atasannya itu. Apabila yang terjadi demikian, pemerintahan merupakan suatu alat pengrusak di tangan orang-orang yang jahat dan rakus.
Krisis moral yang menimpa di ranah hukum pun tidak kalah dahsyat. Lihat saja misalnya banyaknya para penegak hukum (kejaksaan, kepolisian, kehakiman) yang terlibat korupsi dan suap yang saat ini santer diberitakan berbagai media massa. Kita juga tidak lupa akan krisis moral bangsa ini yang mengakibatkan kejujuran dikecam habis-habisan. Masih banyak krisis moral yang menimpa bangsa religius ini.
Oleh karena itu, pendidikan moral menjadi sangat penting bagi teguh dan kokohnya suatu bangsa. Pendidikan moral adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusianya untuk menjadi seorang yang memiliki kekuatan intelektual dan spiritual sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya di segala aspek dan menjalani kehidupan yang bercita-cita dan bertujuan pasti. Hal ini harus menjadi agenda pokok dalam setiap proses pembangunan bangsa.
Tidak kalah kalah penting adalah adanya teladan moralitas yang tinggi dari penguasa atau pemimpin. Seorang pemimpin, baik itu pemimpin negara, agama, suku, organisasi, dan seterusnya harus memiliki moral yang tinggi dan memberikan teladan kepada masyarakat dengan cara mewarnai kehidupan diri dengan moral yang baik dan mengajak masyarakat yang dipimpinnya untuk senantiasa berbuat baik.
Ahmad Ubaidillah, Mahasiswa Pascasarjana Magister Studi Islam UII Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 25 Juni 2011
No comments:
Post a Comment