-- Sartika Dian Nuraini
TIDAK ada yang sanggup membantah bahwa memiliki buku menjadi sebuah kebanggaan. Sebuah hikayat pernah menceritakan tentang seseorang yang terlalu fanatis dengan buku. Setiap kali saat ia menginginkan untuk membaca buku itu, ia selalu melakukan ritual-ritual yang sakral. Dia membedakan perlakuan-perlakuannya terhadap buku-buku yang ia sentuh. Baginya, peristiwa bersama buku menjadi pertaruhan emosi dan jiwanya.
Chapman, seorang esais dari Oxford menuliskan, "Dia tidak menyembunyikan kebanggaannya dengan menjadi kolektor buku, tetapi kita hanya perlu melihat cara dia mengambil buku dari rak itu untuk tahu bahwa ia menganggap buku adalah harta yang abadi. Ada cara yang benar dan cara salah mengambil buku dari rak. Ia meletakkan jari di atas buku dan dengan lembut akan mendorong kembali setiap buku yang berdekatan, ia mencabut buku yang diinginkan dengan jari dan jempol. Setelah itu, sebelum membuka halaman, ia memakai saputangan untuk membersihkan semua debu yang menempel di permukaan buku itu. Baru kemudian membacanya halaman demi halaman. Ini adalah tanda-tanda dari sebuah penghormatan spiritual."
Hal ini, tentu saja, bukan sebuah perlakuan biasa dan sepele. Bukan sekadar menginginkan agar buku senantiasa tampil bersih dan awet, melainkan ini menunjukkan cinta seseorang yang terlalu berlebihan untuk itu, lebih dari cinta pada kemungkinan isi apa yang dipersembahkan oleh buku itu kepadanya. Ia tahu, buku akan memberinya sumber pengetahuan. Dalam hal ini, buku bisa menjadi teman dalam hidupnya, menjadi sekutu, menjadi penghiburan, dan bantuan.
Kisah buku ada semenjak manusia mulai menuliskan berlembar-lembar tulisan dan simbol di atas kertas. Buku-buku terbaik ditaburkan dalam jumlah yang sama selama rentang waktu tertentu, menjadi perekam peradaban. Daftar isi buku menentukan usia, jenjang pemikiran, dan martabat buku itu. Charles Richardson dalam The Choice of Books (1883) mengungkapkan bahwa buku adalah teman yang selalu berada di dekatnya, melintasi zaman, era, dan bangsa. Buku-buku membedakan dirinya yang di kabin dan di ladang, mengemban kehormatannya dengan segala pertaruhan hidup yang ia jalani. Mudah untuk memeluki buku, karena ia selalu ada dalam pelayanannya terhadap hari, dan buku selalu menemaninya ke mana pun yang ia sukai. Karena buku-buku itu tak pernah bermasalah dan selalu menjawab segala pertanyaannya. Beberapa di antaranya membawanya menyingkap misteri, mengarungi peristiwa-peristiwa sejarah, mengajarkannya bagaimana hidup dan mati. Buku-buku yang lincah itu juga menjadi kendaraan baginya untuk peduli akan semangat, ketabahan, dan independensi.
Buku telah membawa kita menjumpai hal-hal yang sama sekali berbeda dari diri kita, menjadi guru terbaik dalam membedakan pilihan dan mengambil setiap jalan. Budi Darma menceritakan pengalamannya bersama buku dengan analogi sejarah yang panjang. Ia dan buku bermukim dalam ruang dan waktu yang tiada batas. Ia menjadi pengembara bersama buku. Dalam Bukuku Kakiku, ia mempersembahkan kisah masa kecil yang penuh dengan gelimang cerita dari buku-buku sastra dan filsafat. Dia mengikrarkan betapa buku-buku sastra dan filsafat adalah buku-buku klasik, yang meminjam istilah dari Hazlitt dalam Round Table, adalah buku yang selalu dipakai sepanjang zaman, yang akan bertahan ditindas waktu dan usia, dibaca oleh pembaca dari berbagai generasi, bahkan bagi jiwa-jiwa yang belum sempat terlahirkan sekalipun.
Hazlitt juga meyakinkan kita bahwa dengan membaca buku klasik kita telah percaya ada sesuatu yang sangat besar dan sangat baik di dunia ini, yang masih hidup di atas guncangan kecelakaan dan fluktuasi pendapat, dan mengangkat kita di atas rasa takut dan menumbuhkan otoritas bagi kehidupan kita.
Buku klasik telah membantu kita merasakan adanya kekuatan yang memberikan keabadian untuk pikiran dan tindakan manusia, menangkap api antusiasme dari segala bangsa dan umur. Sehingga sulit sekali orang membentuk pikiran tentang cinta, keunggulan, dan keyakinan saat belum membaca karya-karya klasik.
Ralph Waldo Emerson sekali waktu pernah menasihati kita untuk tidak membaca buku-buku yang remeh-temeh. Ada tiga hal yang mesti diperhatikan pembaca dalam memilih buku yang harus dibaca dengan baik.
Pertama, jangan membaca buku yang belum genap usianya setahun. Kedua, jangan membaca buku yang tidak pernah dibaca oleh orang lain. Ketiga, jangan pernah membaca buku yang tak kamu sukai. Emerson sebenarnya menginginkan kita agar menjadi pembaca yang terorganisasi dan bertujuan jelas dengan buku yang kita baca. Karena, menurut dia, dunia ini sudah penuh dengan buku-buku yang “sepele, konyol, dan berbahaya.”
Kita harus selalu mengingat pesan yang diucapkan Emerson tentang buku. Sudah saatnya memilih dan memilah buku-buku yang bermutu. Seperti halnya Birrel mempertanyakan kefasihan buku saat buku-buku itu dicetak begitu banyak, “Is it possible to tell a good book from a bad one?” Selama ini, apa yang telah kita persembahkan kepada buku yang sudah terlalu banyak memberi pada kita? Akankah buku-buku yang turut membesarkan kita, mengajari kita segala hal, dan menjadi teman kita dalam segala hal, telah membuat kita peduli kepadanya?
Semoga peradaban tak lupa pada buku, yang lahir untuk menghidupi kita dan dunia.
Sartika Dian Nuraini, Mahasiswa Kajian Amerika UNS, bergiat di Bale Sastra Kecapi, Solo.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2011
No comments:
Post a Comment