Saturday, June 11, 2011

Demokrasi Tak Penyakitan

-- Anjrah Lelono Broto

PERUBAHAN adalah pertanda hakikat peradaban manusia. Perubahan yang datang menuntut adanya optimisme multidimensi serta akselerasi lahir batin dalam beradaptasi. Perubahan juga terjadi dalam struktur demokrasi, datang dan perginya senantiasa diikuti ekspektasi berlimpah yang lebih dan lebih, baik dari perspektif dinamika, humanitas, dan hingga spirit nasionalisme berkewarganegaraan.

Dinamika demokrasi membawa pemahaman bahwa bagaimana sebuah bangsa mereduksi paham-paham baru, kreasi-inovasi yang aplikatif dan implementatif, serta ekspektasi yang mengarah pada Indonesia better yang tidak hanya pada tataran jargon semata. Muaranya adalah sebuah perubahan bermakna yang sempurna yang menyentuh pada hulu problematika.

Akselerasi perubahan memohon dengan hormat kehadiran pula instrumen pendukung, mekanisme tata perundangan, dan infrastruktur yang kooperatif. Kehadiran elemen-elemen ini tidak akan menjadi kenyataan andaikata sinergitas anak bangsa yang masih peduli akan masa ke-Indonesia-annya masih menjadi mimpi. Untuk mewujudkannya, sebagai anak bangsa, kita seyogianya menengok kembali sejarah perubahan besar dan mendasar perjalanan bangsa ini dan bangsa-bangsa lain yang kemudian kita serap-selektif dengan prinsip "tinggalkan yang buruk dan ambilah yang baik."

Bangsa adalah Satu Jiwa

Bangsa adalah satu jiwa (Ernest Renan dalam Poesponegoro, 1982). Sebuah bangsa tidak hanya dikonstruksi oleh identitas lahiriah, seperti ras, bahasa, kepentingan materiil dan teritorial, dll. Lebih dari itu, harus ada unsur spiritual yang memungkinkan eksisnya sense of unity, rasa senasib-sepenanggungan demi kepentingan bersama.

Ketika eksistensi jiwa berbangsa ini cenderung diabaikan, dengan membanjirnya aksi-aksi pragmatisme insidental, Indonesia sebagai bangsa sampai pada kondisi yang rentan terhadap beragam penyakit. Aksi bom bunuh diri, korupnya pejabat dan wakil rakyat kita, serta aksi anarkisme berbasis perbedaan keyakinan, dll. merupakan potret nyata betapa rentannya Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Sederet peristiwa memprihatinkan di atas jelas sebuah aksi primitif di mana hasrat dasar untuk menguasai manusia lain tengah bertakhta. Adalah sebuah kesepahaman bahwa meruapnya aksi-aksi seperti di atas akan menciptakan kebekuan simpul-simpul kebenaran serta menyulut keyakinan adanya kerumitan yang terstruktur di balik kerapuhan hukum di Tanah Air.

Tentu saja, negara demokratis menuntut adanya keadilan hukum. Hukum yang adil adalah hukum yang mampu berdiri sebagai penjamin hak-hak demokratis seluas-luasnya. Foucault (1979) mengatakan demokrasi tidak hanya terletak pada kehendak umum, tetapi juga pada sebuah strategi dalam kerja sama politik. Politik dalam konteks ini berposisi sebagai win-win solution untuk menyeimbangkan berjalannya roda pemerintahan negara. Dengan kata lain, esensi politik adalah pelayanan publik.

Demokrasi Kita yang Sakit

Satu hal yang kita sepakati bersama adalah demokrasi di tumpah darah ini sedang sakit. Sakit yang tak kunjung menjemput sembuh, bahkan terus berdatangan penyakit lain sehingga tampak sekali bahwa demokrasi kita adalah demokrasi yang penyakitan. Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, penyakit klasik yang namanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) ternyata tak jua dapat dibersihkan dari tubuh demokrasi kita. Pilkada menjadi lahan subur tumbuh kembang praktek-praktek ketidaksehatan demokrasi, bahkan seorang gubernur dengan nyaman memiliki bupati dan wali kota yang “kebetulan” adalah sanak familinya sendiri, sebagaimana di Provinsi Banten.

Bergulirnya Orde Reformasi menjadi tonggak ekspektasi untuk melakukan reposisi amanat konstitusi di mana negara kita berjalan atas dasar hukum (rechstaat) bukan hanya berlandaskan kekuasaan belaka (machstaat). Ikhtiar menyehatkan demokrasi menuntut kita terus membangun kesadaran bahwa bangsa kita hanya mungkin berkembang dan bisa keluar dari krisis jika kita mengusung demokrasi ke garda terdepan dalam berpolitik sehingga politik tak melenceng dari tujuan dasarnya, yaitu melayani rakyat.

Idealnya, partai politik merupakan piranti bukan tujuan dari kegiatan berpolitik. Partai politik menjadi piranti guna memperjuangkan aspirasi rakyat. Partai politik sebagai institusi politik diharapkan fasilitator, mediator, dan katalisator bagi masyarakat, bangsa, dan negara agar menjadi lebih baik. Akan tetapi, partai politik di tanah air justru menjadi tujuan kegiatan berpolitik. Politisi-politisi kutu loncat atau karbitan lahir dengan gemuk dan sehat mengarah pada partai-partai politik yang ada dalam koalisi kekuasaan. Partai politik di Indonesia hari ini pun berkembang menjadi intitusi tanpa -isme yang mendasari setiap gerak langkah politik mereka, beragam wacana hanya datang dan pergi jelang kelaparan akan kursi kekuasaan menemukan waktunya, saat pesta demokrasi.

Apabila fenomena ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin demokrasi di negeri ini akan kian tanpa arah. Pada momentum seperti inilah, sinergisitas semua elemen bangsa, terutama para politisi dan elite politik, menuntut direvitalisasi. Apalagi, sudah semestinya politisi mampu memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat Indonesia agar demokrasi kita tidak senantiasa nampak penyakitan.

Sediakah kita semua menyehatkan demokrasi Indonesia?


Anjrah Lelono Broto, Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI)


Sumber: Lampung Post, Sabtu, 11 Juni 2011

No comments: