Saturday, June 11, 2011

Teori Semiotik Belum Banyak Dimanfaatkan

-- Gunoto Saparie

TEORI semiotik adalah di antara teori kritik sastra pascamodern yang penting dan banyak digunakan kini. Ia memahami karya sastera melalui tanda-tanda atau perlambangan-perlambangan yang ditemui di dalam teks. Teori ini berpendapat dalam sebuah teks itu terdapat banyak tanda dan pembaca harus memahami apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda tersebut.

Dalam pandangan semiotik - yang berasal dari teori Saussure - bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan tidak hanya menyaran pada sistem (tataran) makna tingkat pertama (first-order semiotic system), melainkan terlebih pada sistem makna tingkat kedua (second-semiotic system). Hal ini sejalan dengan proses pembacaan teks kesastraan yang bersifat heuristik dan hermeneutik.

Teori semiotik pada dewasa ini merupakan salah satu teori sastra (kritik sastra) yang terbaru di samping teori estetika resepsi dan dekonstruksi. Akan tetapi, teori ini belum banyak dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia. Pada umumnya kritik sastra atau apa yang dinamakan kritik sastra di Indonesia dewasa ini, yang sudah ketinggalan dalam perkembangan kemajuan studi sastra pada umumnya.

Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semieon adalah istilah yang digunakan oleh orang Greek untuk merujuk kepada sains yang mengaji sistem perlambangan atau sistem tanda dalam kehidupan manusia. Dari akar kata inilah terbentuknya istilah semiotik, yaitu kajian sastra yang bersifat saintifik yang meneliti sistem perlambangan yang berhubung dengan tanggapan dalam karya. Menurut Mana Sikana, pendekatan semiotik melihat karya sastra sebagai satu sistem yang mempunyai hubungan dengan teknik dan mekanisme penciptaan sebuah karya Ia juga memberi tumpuan kepada penelitian dari sudut ekspresi dan komunikasi.

Semiotik adalah sebuah disiplin ilmu sains umum yang mengaji sistem perlambangan di setiap bidang kehidupan. Ia bukan saja merangkum sistem bahasa, tetapi juga merangkum lukisan, ukiran, fotografi maupun pementasan drama atau film. Ia wujud sebagai teori membaca dan menilai karya dan merupakan satu disiplin yang luas wilayahnya. Karena sosiologi dan linguistik merupakan bidang kajian yang mempunyai hubungan di antara satu sama lain, semiotik yang mengkaji sistem tanda dalam bahasa juga berupaya mengkaji wacana yang mencerminkan budaya dan pemikiran. Justru, yang menjadi perhatian semiotik adalah mengkaji dan mencari tanda-tanda dalam wacana serta menerangkan maksud tanda-tanda tersebut dan mencari hubungannya dengan ciri-ciri tanda itu untuk mendapatkan makna signifikasinya

Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini, meskipun harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni: sastra, lukis, patung, film, tari, musik dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita. Dengan demikian, teori semiotik bersifat multidisiplin, sebagaimana diharapkan oleh Pierce agar teorinya bersifat umum.

Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu.

Semiotik boleh berhadapan dengan genre apa pun. Ia boleh untuk memberikan penilaian yang adil dan saksama. Teori semiotik beranggapan bahwa sebuah karya itu mempunyai sistemnya yang tersendiri, di mana, ia dapat diperlihatkan melalui sistem tanda dan kode yang terjelma di dalamnya. Oleh yang demikian, proses penciptaan yang melahirkan sistem karya itu juga menjadi penelitian. Ini termasuk sistem di luar karya yang dibawa masuk ke dalam karya; atau lebih tepat lagi kebudayaan seluruh masyarakat yang menjadi sumber inspirasi pengkaryaan tersebut.

Terdapat beberapa pengertian asas tentang perlambangan yang dikemukakan di kalangan ahli tokoh-tokoh semiotik terutama dalam bidang linguistik dan kesusasteraan umum. Sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini, teori semiotik sangat luas dan dipelopori oleh beberapa tokoh dengan skop yang berbeda. Maka, dalam pengkajian ini, teori semiotik yang dipelopori Pierce akan digunakan. Dengan itu, prinsip-prinsip seperti ikon, indeks dan simbol turut digunakan dalam kajian ini.

Pendekatan semiotik memerlukan penganalisis mencari penggunaan tanda-tanda dalam sebuah karya. Tanda-tanda tersebut diungkap melalui penanda, mengikuti paradoks dan kontradisksi penggunaan gaya dan mekanisme penciptaan sebuah karya yang dikuasai oleh pengarang. Maka, penganalisis menggunakan semiotik untuk memberikan makna bagi tanda-tanda dalam teks yang dikaji.

Semiotik melihat karya dalam perspektif yang lebih luas. Prinsip kedua daripada pendekatan semiotik menuntut penganalisis memperhatikan hubungan sistem sesebuah teks yang dikaji dengan sistem yang ada di luar teks tersebut; yaitu segala perkara yang membawa kepada lahirnya teks tersebut. Ini merangkumi sistem hidup dan kebudayaan masyarakat yang menjadi sumber inspirasi penghasilan teks yang dikaji.

Segala ungkapan atau tanda-tanda yang dicerakinkan dari dalam teks memainkan peranan yang penting bagi kewujudan satu bentuk sistem dalam pembinaan teks tersebut. Maka, prinsip ketiga dalam pendekatan semiotik memberi penghargaan terhadap pengarang dan keperangannya. Ini menjelaskan bahwa terdapat sebab bagi penggunaan ungkapan yang dihasilkan dalam teks kerana segalanya mempunyai pengertiannya yang tersendiri.

Sistem bahasa dan sastra merupakan dua aspek penting semiotik. Karya sastra merupakan sistem tanda yang bermakna mempergunakan medium bahasa. Preminger mengatakan bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama yang punyai arti (meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem semiotik tingkat kedua. Riffaterre mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.

* Gunoto Saparie, penyair dan Sekretaris Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)


Sumber: Suara Karya, Sabtu, 11 Juni 2011

No comments: