Saturday, June 04, 2011

Yang Dikorupsi dari Reformasi

-- A.J. Susmana

BANYAK diskusi digelar untuk mengenang peristiwa 13 tahun lalu, yaitu saat rakyat bergerak menuntut perubahan politik dan perbaikan ekonomi atau kemajuan kesejahteraan rakyat kepada pemerintah yang dipimpin Jenderal Soeharto yang menamakan dirinya Orde Baru itu. Penamaan Pemerintahan Orde Baru ini jelas untuk membedakan dirinya dari pemerintahan sebelumnya yang disebutnya sendiri Orde Lama. Pembedaan ini tentu saja merupakan usaha propaganda untuk menghinakan pemerintahan Bung Karno yang mengampanyekan dan mencita-citakan terbangunnya sosialisme Indonesia dengan asas Pancasila. Yang bila diperas, menurut Bung Karno, sebagai penggali Pancasila itu, terhamparlah asas gotong royong yang merupakan alat persatuan nasional dan kerja bersama rakyat Indonesia. Perjuangan menuju cita-cita tersebut hanya berhasil bila menggunakan metode trisakti, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Bergeraknya rakyat menuntut perubahan di bawah Pemerintahan Orde Baru ini tentu saja wajar bila menengok 32 tahun berkuasanya Pemerintahan Orde Baru ternyata tidak memberikan kemakmuran yang nyata. Kemerdekaan yang dikenal sebagai jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran tak juga terwujud. Ancaman keterpurukan bangsa yang ditandai dengan krisis ekonomi di tahun 1997 itu justru semakin terasa. Ketaksanggupan pemerintah memenuhi tuntutan rakyat berakibat pada represi pemerintah yang memang menjadi gayanya dalam memerintah semenjak merebut kekuasaan dari Bung Karno pada 1965.

Namun, pemerintah ternyata salah perhitungan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, rakyat ternyata tidak mundur walau direpresi justru pemerintah yang menghalalkan kekerasan terhadap perlawanan rakyatnya sendiri itu tumbang. Para pendukung pemerintahan Orde Baru pun tercerai-berai dan berusaha mengonsolidasikan kembali kekuatan politiknya untuk naik ke panggung politik kembali dengan mengusung isu reformasi. Tiga isu reformis yang diusung, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme; disingkat KKN. Dalam hal tertentu justru menyudutkan kalangan mahasiswa yang merupakan bagian terbesar dari elemen yang bergerak melawan pemerintahan represif Soeharto. KKN sebelumnya dikenal sebagai singkatan dari kuliah kerja nyata yang merupakah salah satu usaha perguruan tinggi untuk menyentuh sentimen kerakyatan di kalangan mahasiswa dengan tinggal dan bekerja di kalangan rakyat selama hampir dua bulan. Terbukti, generasi KKN ini dalam arti kuliah kerja nyata itu cukup kritis terhadap pemerintah dan dengan berani bergerak menjatuhkan pemerintahan Jenderal Besar Soeharto yang represif.

Tiga isu reformasi: korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN terbukti berhasil meredam atau justru memecah belah gerakan perlawanan terhadap Pemerintahan Orde Baru yang berpotensi menjadi gerakan rakyat menuntut perubahan-perubahan radikal dan mendasar atas nasib rakyat dan bangsa yang terpuruk. Perubahan-perubahan radikal dan mendasar ini berarti menyelesaikan masalah penderitaan rakyat dan keterpurukan bangsa sampai ke akarnya, tak hanya masalah kulit dan tak sekadar tambal sulam saja. Dipahami bangkitnya Pemerintahan Orde Baru di tahun 1965 adalah juga merupakan usaha membelokkan arah pembangunan: yakni dari sosialisme Indonesia ke pangkuan dan cengkraman kapitalisme asing. Kemenangan pemerintahan yang menamakan Orde Baru karena itu bisa dikatakan juga sebagai usaha kembalinya para penjajah imperialis untuk menguasai bumi kaya-raya Nusantara.

Orde Baru sebenarnya memiliki momentum untuk menjadi kekasih rakyat, yaitu ketika kapitalisme global mengalami krisis di tahun 1997 dan mendesakkan program penyesuaian struktur penindasan baru, yaitu neoliberalisme untuk mengatasi keterpurukkannya. Sayangnya, Orde Baru bersama Soeharto tak mau mengambil momentum tersebut. Tapi justru tetap menindas gerakan demokratik, tak memberikan ruang demokratik bagi rakyatnya, dan justru terus berusaha menjalankan politik tarik-ulur terhadap kekuatan asing yang menghendaki perubahan tata dunia baru itu, terutama dalam soal liberalisasi perdagangan. Soeharto, karena itu mau tak mau harus dijatuhkan baik oleh gerakan rakyat yang menuntut kebebasan dan demokrasi maupun oleh kekuatan asing yang tak sabar pada dunia pasar bebas sebagai penyelamat dari krisis kapitalisme.

Sayang sekali, hampir tak ada elite politik yang terlibat dalam penjatuhan Soeharto waktu itu bergerak maju untuk menyampaikan tuntutan radikal. Para elite politik ini bersama agenda kekuatan asing mengarahkan gerakan menjadi sekadar perubahan reformasi. Problem keterpurukan rakyat dan bangsa yang secara radikal dipahami sebagai akibat dari penjajahan baru yang dijalankan sejak penjatuhan Bung Karno di tahun 1965 dikanalisasi sebagai akibat dari pemerintahan yang tidak bermoral; birokrasi yang bobrok saja seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Agenda neoliberalisme sebagai usaha menghindarkan kebangkrutan kapitalisme tidak dilihat sebagai persoalan pokok. Tapi jelas, para agen neoliberal, agen penjajahan baru ini mendesakkan kepada kita bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai persoalan pokok yang menyandera keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Berbagai diskusi yang kini digelar untuk mengenang peristiwa tiga belas tahun yang lalu dengan tema Melanjutkan agenda reformasi yang tertunda, seperti penuntasan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme jelas menunjukkan kaum pergerakan masih terseret dalam alur pusaran gelombang neoliberal. Tanpa perubahan sistem atau banting stir, seperti istilah Bung Karno, yaitu keluar dari alur neoliberalisme tapi justru terus berkutat pada isu-isu moral, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang jelas bukan akar persoalan pokok keterpurukan bangsa ini. Kita tak akan pernah sampai pada jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran sebagaimana cita-cita Revolusi Agustus 1945. Itu pun jelas merupakan tindakan yang mengorupsi atau menyelewengkan agenda penting dalam penjatuhan Soeharto: yaitu melawan dominasi asing (seperti juga dilansir Kompas, Senin, 23 Mei 2011, yang jelas menunjukkan keberadaan bangsa yang kembali ke situasi kolonial).

Tanpa kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya, bagaimana bisa Pemerintahan SBY-Budiono atau duet pemerintahan entah siapa nanti melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme sampai ke akar-akarnya? Bukankah pemerintahan yang tak berdaulat itu akan tersandera terus oleh kepentingan-kepentingan asing yang mendominasi dan menuntut terus pada pemerintah untuk didahulukan kepentingan-kepentingan politik dan ekonominya dengan begitu justru mengesampingkan kepentingan-kepentingan nasional yang seharusnya didahulukan?

Sementara itu, kita terus digambarkan dan menjadi bangsa bejat moral...karena korupsi yang tak henti-henti...tapi merajalela.

A.J. Susmana
, Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi, alumnus Fakultas Filsafat UGM

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 4 Juni 2011

No comments: