Monday, June 20, 2011

Kecewa dengan RSBI

-- Herpratiwi

RINTISAN sekolah bertaraf internasional (RSBI) adalah sekolah yang mendapat kepercayaan oleh pemerintah untuk menjalankan program pembelajaran yang istimewa, berbeda dengan sekolah lain yang tidak mendapat julukan RSBI. Baik istimewa pada komponen raw input dan proses. Komponen input meliputi kurikulum, guru, murid, sarana, dan prasarana pembelajaran. sedangkan komponen proses menekankan pada pembelajaran dengan berbasis aneka sumber dengan memanfaatkan IT dan bahasa komunikasi dengan bahasa asing.

Siswa yang dapat menikmati sekolah di RSBI adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, menguasai IT, dan pintar berbahasa asing. RSBI juga memiliki sarana prasarana yang memungkinkan anak untuk dapat belajar dengan maksimal karena memang RSBI untuk sekolah yang memenuhi 8 standar nasional pendidikan. Dengan demikian, sekolah mampu menyelenggarakan program pembelajaran dengan sempurna.

RSBI ada karena adanya revolusi tuntutan kehidupan di era global, di mana anak harus memiliki strategi-strategi baru agar dapat beradaptasi, bertahan, dan mengikuti persaingan. Dari sinilah pengambil kebijakan mencipta program RSBI, yang kalau dianalisis masih banyak kelemahannya, terutama dari sisi penerapan prinsip keadilan dalam pendidikan.

Namun, mengapa sekolah yang sudah memenuhi semua standar/kriteria pembelajaran tidak mampu mengubah raw input menjadi output yang sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan sekolah tersebut, yaitu tentunya lulusan yang memiliki hasil belajar yang excellent. Wajar kalau akhir-akhir ini semua pihak berdiskusi tentang RSBI yang tidak mampu menghasilkan lulusan sesuai dengan harapan banyak pihak karena hasil UN siswa-siswa RSBI ada di bawah sekolah-sekolah lain yang tidak RSBI.

Salahkah masyarakat mendiskusikan hal tersebut? Salahkah RSBI jika tidak mampu menghasilkan lulusan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat? Masyarakat tidak salah kalau mendiskusikan kegagalan RSBI mencetak siswa yang tidak lebih baik dari sekolah yang tidak RSBI. Dengan kata lain, RSBI harus melakukan refleksi mengapa pihak sekolah tidak mampu menghasilkan lulusan yang "unggul". Di sisi lain, RSBI memiliki keunggulan disemua komponen pembelajaran.

Sekolah seperti ini menurut ahli pembelajaran Reigeluth bukan sekolah yang efektif, efisien, dan menyenangkan. Sekolah yang tidak mampu merubah siswanya menjadi lulusan yang lebih baik dari pada sebelum siswa tersebut menjalani pembelajaran, sekolah tersebut dapat dikatakan gagal atau tidak efektif.

Dengan kata lain, tidak ada peningkatan (gain) secara signifikan antara prestasi sebelum dan sesudah siswa dibelajarkan. Artinya, sekolah tidak dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Sekolah tidak mampu mengolah raw input dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki sekolah baik guru dan sarana prasarana. Guru adalah ujung tombak sekolah. Guru harus mamiliki kemampuan untuk tut wuri handayani dan mempertajam serta menambah warna yang sudah dimiliki oleh anak, bukan mengurangi dan justru mematikan warna tersebut. Kondisi seperti ini mengisyaratkan bahwa kita sudah membuang waktu bertahun-tahun dengan sia-sia, kerugian sarana dan prasarana dan yang paling dirugikan adalah anak.

Guru tidak responsif terhadap program, guru tidak mampu melakukan transformasi sehingga tidak mampu merekayasa pembelajaran dengan memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki siswa dan sekolah. Rutinitas dan kebiasaanlah yang dilakukan guru. RPP tidak disusun berdasarkan need analysis siswa, guru tidak menyadari bahwa yang dibelajarkan adalah bukan anak-anak yang memiliki kesamaan kebutuhan (walaupun RSBI). Dengan demikian, RPP yang disusun harus berbeda dengan RPP sebelumnya. Bahan ajar, media, perangkat penilaian tidak akan sama dengan yang dimiliki sebelumnya.

Jika RPP dan perangkat lainnya sesuai dengan apa yang siswa butuhkan, guru akan melakukan pembelajaran yang tentunya akan menarik bagi anak karena yang ia butuhkan ia peroleh dari gurunya di sekolah. Artinya, anak-anak harus dilayani secara khusus sesuai dengan kekhususannya. Mereka memerlukan guru khusus sehingga mereka akan berkembang sesuai dengan kekhususannya. Mudah-mudahan sekolah yang sampai sekarang diyakini sebagai satu-satunya organisasi belajar mampu membudayakan dan memberdayakan semua pihak, terutama pihak yang ada di dalam organisasi tersebut. Sehingga masyarakat tidak kecewa dan tetap percaya dengan sekolah.

Herpratiwi, Dosen FKIP Unila

Sumber: Lampung Post, Senin, 20 Juni 2011

No comments: