Wednesday, January 30, 2008

Ajip Rosidi: Dari Pantun Hingga Esai

PANTUN Anak Ayam (Pustaka Jaya, 2006) merupakan kumpulan puisi terakhir, yang selama ini terbit dari tangan Ajip Rosidi. Kumpulan puisi ini ditulis Ajip ketika masih tinggal di Jepang. Saya yakin, dalam memasuki usianya yang ke-70 di tahun 2008, Ajip masih menulis puisi. Namun puisi tersebut belum sempat diterbitkan, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk publikasi di media massa cetak, seperti koran dan majalah.

Seluruh puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi ini menggunakan pola pengucapan lama, yakni pola puisi pantun yang di dalamnya terdapat sampiran dan isi. Ajip menyebut puisi seperti itu adalah puisi asli nusantara. Di dalam sastra Sunda, puisi semacam ini disebut sisindiran. Berkait an dengan itu, pola penulisan puisi yang terdapat dalam Pantun Anak Ayam, sangat berbeda dengan pola penulisan puisi yang ditulis Ajip Rosidi dalam kumpulan puisi Surat Cinta Enday Rasidin kumpulan puisi ke tiga Ajip Rosidi yang terbit pada tahun 1960, setelah kumpulan puisinya yang ke dua, yang diberi judul Cari Muatan (1957) dan kumpulan puisi pertama, Pesta (1956) yang terbit tunggal. Dalam tiga kumpulan puisinya ini, dan kumpulan puisi lainnya, Ajip menggunakan pola penulisan puisi modern, yang meninggalkan gaya pengucapan pantun seperti yang terdapat dalam antologi puisi Pantun Anak Ayam.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ulrich Kratz (1988) salah seorang peneliti sastra Indonesia asal Barat sana, hingga tahun 1983, Ajip adalah pengarang puisi dan cerita pendek yang paling produktif, yang telah menghasilkan 326 judul karya yang dipublikasikannya dalam 22 majalah, seperti majalah sastra Horison, Kisah, Zenith, Mimbar Indonesia, dan Budaya Jaya. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai penyair, Ajip dikenal pula sebagai penulis cerita pendek, novel, dan naskah drama, yang ditulisnya tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa Sunda.

Sejumlah puisi lainnya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, antara lain dibukukan dalam antologi Jeram (1970), Ular dan Kabut (1973), Sajak-sajak Anak Matahari (1979), Nama dan Makna (1988), dan Terkenang Topeng Cirebon (1993). Kumpulan puisi tersebut belum termasuk yang dimuat dalam sejumlah antologi bersama, seperti dalam antologi Laut Biru Langit Biru, dan Ketemu di Jalan.

Sebagai penyair, sebagaimana dikatakan penyair Rendra, teman seangkatannya, Ajip mempunyai ciri yang mandiri dalam menulis puisi-puisinya, yang tidak segan-segan mengangkat nilai-nilai lokal Sunda secara mendalam. Hal itu dikatakan pula oleh seorang peneliti sastra asal Belanda, Prof. Dr. A. Teeuw. Salah satu puisi Ajip yang terkenal, yang sering dibacakan orang dalam berbagai acara sastra, yang dinilai para kritikus sastra mengandung nilai-nilai kearifan lokal itu adalah puisi Jante Arkidam. Puisi ini oleh Ajip Rosidi ditulis juga dalam bahasa Sunda, yang dimuat dalam antologi puisi Jante Arkidam (1967)

Penyair kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938 ini, mulai menulis kegiatannya dalam bidang sastra sejak usia belasan tahun. Pendidikan yang ditempuhnya hanya sampai tingkat SMA, itu pun tidak tamat. Walaupun demikian, Ajip mampu mengembangkan dirinya hingga mencapai tingkat yang cukup mengagumkan dan mencengangkan banyak pihak, yang ditempuhnya secara autodidak. Maka dari itu, tidak aneh kalau dalam perkembangannya Ajip dikenal sebagai salah seorang cendekiawan Indonesia terkemuka dalam bidang seni dan budaya di negeri ini.

**

SEBELUMNYA disebutkan bahwa selain dikenal sebagai penyair dalam penulisan sastra Indonesia modern, Ajip pun dikenal sebagai penulis cerita pendek, novel, naskah drama, dan esai. Kumpulan cerita pendeknya yang pertama terbit diberi judul Tahun-tahun Kematian (1955). Kumpulan cerpen tersebut lahir setelah Ajip memulai kariernya dalam bidang tulis-menulis pada tahun 1952. Hingga kini, jumlah buku yang ditulis oleh Ajip Rosidi lebih dari 110 judul, yang mencakup kumpulan puisi, drama, esai, cerita pendek, novel, dan biografi. Termasuk buku terbarunya, Hidup Tanpa Ijazah yang tebalnya lebih dari 1300 halaman.

Kumpulan cerita pendeknya yang lain adalah, Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957), Pertemuan Kembali (1961), Sunda Shigishi hi no yume (1988, diterjemahkan oleh T. Kasuya ke dalam bahasa Jepang), dan Mimpi Masa Silam (2000). Sedangkan novel yang sudah diterbitkannya antara lain, Perjalanan Penganten (1958) dan Anak Tanah Air (1985). Selain itu, naskah drama yang ditulisnya berjudul Masyitoh (1967) yang juga ditulis dalam bahasa Sunda. Selebihnya adalah puluhan buku esai, antolog puisi bersama, bacaan anak, memoar, biografi, dan sejumlah cerita rakyat Sunda yang ditulis ulang, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Sunda.

Melihat hal itu, maka jelas kemampuan Ajip dalam menulis tidak hanya menguasai satu bidang, tetapi banyak bidang. Namun demikian, orang mengenal Ajip tetap sebagai penyair yang pernah mendapat Hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) pada tahun 1955-1956 untuk kumpulan puisi yang ditulisnya, Pesta. Hadiah yang sama juga diterimanya pada 1967-1968 untuk kumpulan cerita pendek yang ditulisnya, yang diberi judul Sebuah Rumah Buat Hari Tua.

Dari para pengarang seangkatannya ini, hanya Ajip Rosidi lah yang paling produktif dalam menulis esai, selain menulis karya sastra. Esai-esai yang ditulis Ajip belakangan ini lebih banyak bicara soal Sunda dan nilai-nilai kesundaan. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 30 Januari 2008

Sosok: Ajip, Profesor tanpa Ijazah

SUDAH sejak awal kemunculannya di dunia sastra Indonesia modern pada tahun 1950-an, Ajip Rosidi dianggap sebagai anak ajaib. "Sejak masih muda, Ajip Rosidi sudah terkenal. Ia sastrawan dari tanah Sunda yang namanya saat ini tidak hanya dikenal di tingkat lokal dan nasional, tetapi juga di tingkat internasional," kata penyair Rendra, yang juga dikenal sebagai teaterawan terkemuka di negeri ini dalam percakapannya dengan penulis melalui saluran telefon, Kamis malam (24/1).

Ajip, anak sulung dari hasil perkawinan Dayim Sutawiria (1917-1990) dan Hj. Sitti Konaah (1921-2000), yang lahir pada 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, pada 31 Januari tahun ini akan menyelenggarakan acara syukuran ulang tahunnya yang ke-70 tahun di Graha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, mulai pukul 9.00 WIB hingga selesai.

Acara perayaan ulang tahunnya yang ke-70 itu ditandai dengan digelarnya diskusi buku Hidup tanpa Ijazah: Yang Terekam Dalam Kenangan ditulis oleh Ajip Rosidi sendiri. Hadir sebagai pembicara: Dr. (HC). H. Rosihan Anwar, Prof. Dr. Bambang Hidayat, dan Drs. Setia Permana dengan moderator Ahmad Syubhanuddin Alwy. Selain itu, digelar pula pengumuman Hadiah Sastra Rancagé 2006-2007 oleh Erry Riyana Hardjapamekas, serta pembacaan puisi Ajip Rosidi oleh penyair Taufiq Ismail, Rendra, Godi Suwarna, dan Ganjar Kurnia. Acara puncak, Renungan Tujuh Puluh Tahun oleh Ajip Rosidi.

Sebagai sastrawan, pendidikan yang ditempuh Ajip tidak sampai ke jenjang perguruan tinggi. Sekolah rakyat 6 tahun ditempuhnya di Jatiwangi (1950). Lalu, Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953), dan Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956, tidak tamat). Selanjutnya, otodidak. Di usia muda, Ajip menikahi (1955) dengan Fatimah Wirjadibrata. Dari hasil pernikahannya itu, Ajip dikaruniai enam anak. Masing-masing Hj. Nunun Nuki Aminten (1956), Hj. Titi Surti Nastiti (1957), H. Uga Percéka (1959), H. Nundang Rundagi (1961), H. Rangin Sembada (1963), dan Hj. Titis Nitiswari (1965).

Muncul tahun 1952

Sebagai penulis karya kreatif dalam dunia sastra, Ajip mulai mengumumkan tulisan berupa sajak, cerita pendek, roman, drama, dan lain-lain dalam bahasa Indonesia dan Sunda tahun 1952, dimuat di berbagai majalah terkemuka di Indonesia pada waktu itu, seperti Mimbar Indonesia dan Kisah (H. B. Jassin sebagai redaktur), Zenith, Gelanggang (ruang kebudayaan warta sepekan) Siasat (pimpinan Sudjatmoko dan H. Rosihan Anwar, dengan redaktur Asrul Sani, Rivai Apin, dan Nur’aini Sani), Indonesia (bulanan kebudayaan pimpinan Armijn Pane), Konfrontasi (dua bulanan pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana), Budaya (terbitan Bagian Kesenian Departemen P.P. dan K. Yogyakarta pimpinan Kusnadi), dan beberapa media massa cetak lainnya, termasuk koran.

Bukunya yang pertama terbit ketika usianya 17 tahun (1955) berjudul Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerita pendek) yang kemudian diikuti oleh buku-bukunya yang lain yang sekarang jumlahnya lebih dari 110 judul, baik kumpulan cerita pendek, kumpulan sajak, roman, drama, esai, kritik, yang asli tulisannya sendiri maupun terjemahan. Selain dalam bahasa Indonesia juga dalam bahasa Sunda. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, baik dimuat dalam majalah, dalam buku bunga rampai, maupun berbentuk buku antara lain ke dalam bahasa-bahasa Belanda, Cina, Hindi, Inggris, Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis, Rusia, Thai, dll.

Selain itu, dalam bidang penerbitan, Ajip pernah bekerja sebagai redaktur dan pemimpin majalah sejak masih bersekolah (SMP). Antara lain, menjadi redaktur dan memimpin majalah Suluh Peladjar (1953-1955) yang beredar luas di seluruh Indonesia. Tahun 1955, menerbitkan dan menjadi pemimpin redaksi bulanan Prosa yang mengkhususkan diri untuk cerita pendek. Tahun 1965-1967, mendirikan dan menjadi Pemimpin Redaksi Mingguan Sunda (kemudian Madjalah Sunda), majalah umum berbahasa Sunda di Bandung. Tahun 1968-1979, mendirikan dan menjadi Pemimpin Redaksi bulanan Budaja Djaja (kemudian Budaya Jaya) bersama Ilen Surianagara, Ramadhan K. H., dan Harijadi S. Hartowardojo yang merupakan majalah kebudayaan umum yang resminya diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Redaktur ruangan Kebudayaan Matahari dalam majalah Mimbar di Jakarta (1971-1973). Sejak 2004, menjadi pemimpin umum majalah bulanan bahasa Sunda Cupumanik. Hal itu belum termasuk dalam dunia penerbitan buku seperti Pustaka Jaya dan Kublat Buku Utama.

Menurut Rachmat Taufik Hidayat, Redaktur Penerbit Buku PT Kiblat Utama, Ajip aktif pula dalam berbagai organisasi. Antara lain pada tahun 1954, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) dan tahun 1960 dalam Kongres Kebudayaan di Bandung, terpilih menjadi anggota pengurus pleno organisasi tersebut. Tahun 1957-1963, turut mendirikan dan aktif dalam Studiklub Badan Pangulik Budaya (BPB) Kiwari, yang banyak membahas masalah kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah. Tahun 1956 menjadi anggota Lembaga Basa jeung Sastera Sunda (LBSS) dan dalam Kongres Bahasa Sunda 1956 terpilih menjadi anggota pengurus pleno organisasi tersebut.

Tahun 1963, turut mendirikan dan menjadi Sekretaris Yayasan Kebudayaan Indonesia di Bandung, tetapi mengundurkan diri pada tahun 1965. Tahun 1968, memberikan saran kepada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tentang perlunya pembentukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan terpilih menjadi anggotanya yang pertama. Tahun 1972-1981, terpilih sebagai Ketua DKJ (berturut-turut untuk tiga masa jabatan). Tahun 1966, turut memprakarsai pembentukan dan menjadi Ketua I Paguyuban Pangarang Sastera Sunda (PP-SS), dengan Ketua Umum Ki Umbara. Tahun 1975, ia mengundurkan diri sebagai ketua. Tahun 1996, mendirikan Yayasan PP-SS dan menjadi Ketua Dewan Pembinanya. Tahun 1993 dalam Kongres Basa Sunda di Bandung terpilih menjadi anggota Dewan Pembina LBSS, tetapi mengundurkan diri tahun 1996. Sebagai penerbit, dia aktif dalam Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dan dalam Kongres Ikapi 1973 di Jakarta terpilih sebagai ketua umumnya. Kemudian, terpilih lagi dalam Kongres 1976 untuk masa jabatan sampai tahun 1979. Dalam Kongres 1979, dia menolak untuk dipilih lagi karena hendak menerima fellowship dari The Japan Foundation untuk tinggal di Jepang. Terpilih menjadi anggota Akademi Jakarta (2001). Tahun 1993, mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancagé sebagai tindak lanjut dari kegiatannya memberikan Hadiah Sastra Rancagé setiap tahun kepada para pengarang dalam bahasa daerah, mula-mula hanya untuk sastra Sunda (sejak 1989), tetapi kemudian juga untuk sastra Jawa (sejak 1994), Bali (sejak 1998), dan berbagai kegiatan lainnya.

"Pendeknya Kang Ajip itu urang Sunda yang aktif dalam berbagai lini kebudayaan di negeri ini," jelas Rachmat Taufik Hidayat sambil menambahkan, di dunia pendidikan, Ajip pernah diangkat jadi dosen luar biasa dan lain-lain. Tahun 1981, diangkat sebagai visiting professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka, Jepang (sampai 2003). Tahun 1983-1994, menjadi guru besar luar biasa pada Tenri Daigaku, di Tenri, Nara. Tahun 1983-1996, menjadi guru besar luar biasa pada Kyoto Sangyo Daigaku di Kyoto. Pensiun dan pulang ke tanah air tahun 2003.

"Jika ada orang Sunda yang demikian aktif dalam memperjuangkan kehidupan seni dan budaya Sunda, termasuk bahasa Sunda di dalamnya, Ajip-lah orangnya. Nilai-nilai kesundaan digarapnya pula dalam sastra Indonesia yang ditulisnya," ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbupar) Jabar, Drs. H.I. Budhyana, M.Si, dalam percakapannya dengan penulis, sambil menambahkan daya juangnya layak diteladani. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 30 Januari 2008

Sunday, January 27, 2008

Esai: Sensor dan Kebebasan

-- Nirwan Ahmad Arsuka*

INDONESIA masih memerlukan sensor! Karena budaya masyarakat yang sangat beragam dan tingkat pendidikannya yang masih rendah, lembaga sensor masih perlu dipertahankan, bahkan sampai beberapa puluh tahun ke depan. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengeluarkan pernyataan ini dalam sidang pengujian Undang-Undang Perfilman yang diajukan oleh Masyarakat Film Indonesia di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (9/1) lalu.

Pernyataan Menteri Jero Wacik itu ditimpali oleh penegasan para ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), dan Persatuan Artis Sinetron Indonesia (PARSI). Mereka umumnya beranggapan bahwa tanpa sensor, bangsa Indonesia akan hancur berantakan, digerogoti oleh budaya asing. Banyak memang yang agaknya lupa bahwa media film dan sinetron, seperti halnya gagasan tentang republik dan Mahkamah Konstitusi (MK), adalah produk budaya asing—setidaknya, dirumuskan dan dikembangkan lebih awal oleh budaya asing itu. Sebelumnya, Lukman Hakim Syaefuddin, kuasa hukum DPR, menyatakan bahwa sensor adalah bentuk perlindungan negara pada masyarakat.

Dengan konteks yang berbeda, tapi dengan semangat yang mirip, pernyataan serupa pernah juga dikeluarkan di Tanah Air ini. Pernyataan itu datang dari Hendrikus Colijn, Ketua Anti Revolutionaire Partij, tokoh kolonial yang menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan lalu Perdana Menteri Kerajaan Belanda. Pada 1928, Colijn mengingatkan bahwa akan tiba masanya kaum inlander Hindia Belanda menuntut kemerdekaannya. Namun, kata Colijn, pemerintah kolonial harus berkata ”tidak” pada tuntutan itu. Bagi Colijn, rakyat tanah jajahan di Hindia Belanda itu belum cukup dewasa untuk merdeka dan memerintah dirinya. Kaum inlander berkulit coklat ini masih membutuhkan kekuasaan dan pemerintahan Kolonial Kerajaan Belanda, yang pusatnya yang mungil terletak jauh di separuh permukaan bumi. Kehadiran pemerintahan kolonial penting untuk kebaikan kaum inlander itu sendiri.

Meski terpaut oleh jarak hampir seabad, kedua gugus pernyataan di atas bertaut dalam sejumlah persamaan mendasar. Keduanya memandang bahwa masyarakat secara esensial lemah dan tak sanggup melindungi dirinya, dan bahwa kemerdekaan dan kebebasan hanya akan merusak kehidupan dan ketenteraman rakyat. Keduanya menganggap bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu adalah dua zat yang mustahil bersenyawa, dan kehadiran yang satu akan dengan sendirinya memusnahkan yang lain.

Indonesia bisa menjadi sebuah bangsa dan tanah air, antara lain karena sejumlah orang, awalnya hanya segelintir, menampik pandangan penguasa seperti Hendrikus Colijn itu. Colijn menandaskan bahwa kesatuan Indonesia yang diperjuangkan oleh para inlander yang akan menuntut merdeka itu hanyalah konsep yang kosong melompong. Masing-masing pulau dan daerah di Hindia Belanda adalah etnis yang terpisah-pisah dan begitu beraneka ragam sehingga masa depan tanah jajahan ini tak mungkin terbentuk tanpa memecah dan membaginya dalam wilayah-wilayah. Kaum muda yang menentang pernyataan Colijn itu menjawab dengan mengorganisasi sebuah kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Ketika pernyataan Colijn ditampik dan Sumpah Pemuda diikrarkan, belum semua memang penduduk Hindia Belanda punya kesadaran kebangsaan yang siap bergerak melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Sejumlah petinggi pribumi sendiri bahkan mungkin tak sanggup membayangkan bahwa pemerintah kolonial yang tampak baik dan pelindung itu sebaiknya ditentang saja.

Kini pandangan politik ala Meneer Colijn telah menjadi bagian dari masa silam, dan kolonialisme telah jadi aib yang tak lagi bisa diterima di mana pun. Namun, tak berarti bahwa penjajahan dan pembatasan kebebasan tak akan lagi menjelma dalam bentuk yang baru. Pembatasan kebebasan dan peremehan terhadap kemampuan belajar masyarakat tetap bisa terjadi bahkan ketika kedaulatan politik telah diperoleh dan kita diperintah oleh bangsa sendiri. Pembatasan kebebasan dan peremehan kemampuan masyarakat juga bisa datang dari masyarakat itu, bahkan dari mereka yang dianggap sebagai wakil masyarakat itu sendiri.

Orde Baru dikenang antara lain oleh kebiasaannya melakukan sensor, yang bahkan bisa lebih keras dari sensor Belanda, dan oleh kemampuannya merekayasa isi kepala banyak orang untuk menerima bahwa sensor memang mutlak dibutuhkan—dan bahwa pencurian aset negara perlu dimaafkan. Bersama dengan tumbangnya Orde Baru oleh Gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa, berbagai perangkat sensor mulai dibongkar. Pada 1988, Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) Nomor 1 Tahun 1984 tentang Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut. Tradisi panjang pemberangusan kebebasan pers yang berusia satu setengah abad dan ditanam Belanda sejak 1846 akhirnya dibongkar di republik ini dengan ditetapkannya UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers.

Mereka yang gerah pada kebebasan berekspresi orang lain dan ingin agar kebebasan itu dihambat kembali mungkin akan bertanya sengit: apa yang telah diperoleh dari kebebasan pers selama hampir satu dekade ini? Dari perjalanan kebebasan pers di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sejumlah suara kerap mengeluh bahwa deregulasi media ternyata membawa akibat buruk berupa pendangkalan wacana publik, pembiakan bahasa yang kasar dan banal, dan pemujaan pada hal-hal yang sensasional dan miskin substansi. Dalam sejumlah kasus, pers yang bebas bahkan tampak sibuk menyiarkan berita yang memperkelam konflik etnis, religius, dan politik di sejumlah wilayah.

Berbagai gejala miring yang dikaitkan dengan pers bebas di atas memang sulit diingkari kehadirannya, tapi mereka muncul bukan karena diperolehnya kebebasan, tapi karena terlambatnya kebebasan itu diraih. Seluruh konflik etnik, religius, dan politik yang tampak kian rusuh oleh pemberitaan pers yang bebas berakar dari zaman ketika represi masih bekerja dan sensor masih tak terlawan. Andaikan saja kebebasan diperoleh lebih awal, disertai pelembagaan dan edukasi yang lebih baik, akan banyak sekali soal, jika bukan seluruhnya, yang tak perlu lagi muncul seperti sekarang. Pers yang bebas dan berusia panjang, seperti yang terlihat di Eropa Barat misalnya, telah menjadi salah satu komponen paling esensial dari masyarakat demokratis, pilar kokoh yang menopang perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.

Di negeri-negeri yang telah lama melembagakan kebebasan, termasuk kebebasan pers, sejumlah pertanyaan yang kerap mengganggu kaum reformis dan intelektual publik kita tak lagi muncul mencemaskan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, meminjam rumusan David Celdran yang disampaikan dalam rangkaian acara The Asia-Europe Foundation (ASEF), antara lain adalah: mengapa kebebasan pers yang melonjak tak berjalan seiring dengan peningkatan berarti dalam partisipasi politik rakyat dan akuntabilitas para pemimpin mereka? Bagaimana mengukuhkan pers yang merdeka sembari melembagakan reformasi yang memungkinkan pers merdeka itu mengukuhkan diri secara terpercaya dalam ruang publik? Bagaimana pers bisa menjadi pengawas atas kekuasaan dalam lingkungan di mana tekanan pasar bersekutu dengan kekuatan ekonomi dan politik yang belum berkembang matang?

Kebebasan yang dikukuhkan oleh hukum yang taat asas adalah sarana ampuh untuk memecahkan berbagai soal dengan adil dan jernih, penopang penting masyarakat madani. Kritik terhadap tatanan hukum di Indonesia yang tak taat asas sudah lama dilontarkan, dan kian bertahan kesemrawutan itu kian sulit supremasi hukum ditegakkan. Sensor film adalah salah satu bentuk inkonsistensi itu. Alangkah lucu dan ngawur jika di satu sisi sensor pers sudah dicabut sejak satu dekade yang silam, sementara di sisi lain sensor film justru hendak diperkuat hingga beberapa puluh tahun ke depan. SIUPP mungkin memang tak persis sama dengan sensor film, tapi kemiripan keduanya sangat banyak sehingga jika institusi SIUPP dihilangkan, maka sensor film juga harus dihapuskan. LSF yang—secara sangat sepihak dan amat sulit diperkarakan—bisa menyensor, memotong-motong, bahkan melarang peredaran film memang harus segera direformasi.

Kesanggupan kita untuk menyelaraskan tatanan hukum di Tanah Air ditakar lewat kesungguhan mengikis dengan sistematis produk hukum yang inkonstitusional, yang secara jelas atau tersamar, melanggar hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Dari sinilah memang, kita antara lain bisa berharap—meminjam rumusan tertulis misi MK republik ini—tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.

* Nirwan Ahmad Arsuka, anggota MFI

Sunber: Kompas, Minggu, 27 Januari 2008

Horison: Sajak-sajak Mengalir di Tengah Ribuan Buruh Pabrik

RIBUAN buruh pabrik rokok itu bersorak ketika pentas baca puisi yang dipandu oleh penyair Kudus, Jumari HS, dimulai. Satu demi satu penyair nasional pun naik ke atas panggung untuk membacakan sajak-sajak mereka. Dan, dinding-dinding pabrik seperti tergetar ketika baris-baris sajak meluncur nyaring melalui pengeras suara.

Suasana makin heboh ketika penyair Diah Hadaning dan Chavcay Syaefullah turun panggung dan membaca sajak sambil berjalan menyusuri 'lorong' di antara deretan para buruh - hampir semuanya perempuan - yang sedang menggiling rokok. Seperti tak mau kalah, Fikar W Eda dan Davie's Sanggar Matahari mendekati para buruh, dan mengajak mereka menyanyi, ''Tak lelo, lelo lelo ledong....''

Suasana makin gempita ketika 'bintang tamu' yang ditunggu-tunggu, Sujiwo Tejo, naik panggung dan mengajak para buruh pabrik rokok Djarum Kudus itu bernyanyi bersama, '' Kalau aku jadi presiden di sini, yaiyo yaiyo....'' ''Ini pengalaman yang sangat mengesankan, dan takkan terlupakan,'' kata dosen Tokyo University of Foreign Studies, Shiho Sawai, yang menyertai kunjungan para sastrawan ke pabrik rokok yang terletak di Megawon, Kudus, Jawa Tengah, itu.

Menurut Jumari, yang juga karyawan perusahaan rokok tersebut, ada sekitar 2.500 buruh giling di pabrik yang dipakai untuk pertunjukan baca puisi tersebut. Secara keseluruhan, di Segawon, ada sekitar 14.000 buruh giling, dan sebagian besar perempuan. Saat baca puisi berlangsung, mereka tetap bekerja seperti biasa. Mereka bersorak, bertepuk, dan bernyanyi sambil tetap bekerja. ''Baru kali ini diadakan pentas baca puisi di tengah-tengah mereka. Karena itu, mereka sangat surprise,'' katanya.

Pentas baca puisi di tengah-tengah para buruh pabrik rokok itu menjadi agenda yang paling mengesankan dari wisata budaya yang 'menutup' Seminar Nasional dan Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, yang berlangsung pada 19-21 Januari 2008. Selain ke pabrik rokok, mereka juga mengunjungi Menara Kudus, Museum Kretek, dan pabrik jenang dodol Kudus, Mubarok.

Di pabrik rokok, rombongan diterima oleh Direktur Produksi PT Djarum Kudus Thomas Budi Santosa dan Yudi Eko Wicaksono dari Djarum Corporate Communication, manajer SKT Oi Riwayat Slamet, beserta sejumlah staf. Sedangkan di pabrik jenang dodol diterima oleh Direktur Utama PT Mubarok Food Cipta Delicia, Muhammad Hilmy SE. Para sastrawan sempat menyaksikan proses pengadukan jenang yang sudah serba mesin, serta proses pemotongan dan pembungkusan dodol yang masih manual.

Hampir semua penyair dari berbagai penjuru Tanah Air yang mengikuti wisata budaya ikut membacakan sajak-sajak mereka di tengah buruh pabrik. Mereka, antara lain Fatin Hamama, Mustafa Ismail, Mustafa W Hasyim, Ibnu PS Megananda, Dinullah Rayes, Irmansyah, Saut Situmorang, Bambang Widiatmoko, dan Yant Mudjianto.

Semua penyair berusaha menarik perhatian dengan sajak-sajak yang ringan dan akrab di telinga para buruh pabrik. Dan, sekitar satu jam, kata-kata puitis, sajak-sajak kepedulian sosial, mengalir di tengah pabrik rokok, mengajak ribuan buruh bergembira sesaat, di tengah rutinitas mereka menggiling rokok.

Pertunjukan baca puisi dan seni tradisi yang berlangsung dua malam berturut-turun di Gedung DPRD Kudus - tempat berlangsungnya Kongres KSI I 2008 -- juga tidak kalah menariknya. Begitu juga talk show yang disiarkan langsung oleh RRI secara nasional, serta perayaan komunitas dan Seminar Nasional Komunitas Sastra, yang berlangsung sehari suntuk dan membahas berbagai masalah komunitas sastra.

Perhelatan tiga hari yang didukung penuh oleh Djarum Bakti Pendidikan ini diawali dengan Kongres KSI yang menghasilkan pengurus baru periode 2008-2010, program kerja dan rekomendasi - Ahmadun Yosi Herfanda terpilih sebagai ketua umum menggantikan Iwan Gunadi.

Baru malamnya digelar acara pembukaan yang didahului talk show yang disiarkan langsung oleh RRI. Talk show menampilkan Dirut LPP RRI Parni Hadi, Direktur Kesenian Depbudpar Surya Yoga, Head of Corporate Affairs PT Djarum Kudus Suwarno M Serad, Adi Suyatno (Lemhanas), presiden penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, dan kritikus sastra Maman S Mahayana.

Sutardji menutup talk show dengan membaca puisi Tanah Air Mata. Surya Yuga lantas membuka kongres secara resmi dengan menabuh rampak bedug, dan keesokan malamnya kongres ditutup oleh Ketua Dewan Kesenian Kudus Ngatmin Alimanda. Puluhan penyair meramaikan malam baca puisi di Gedung DPRD Kudus, sejak penyair lokal sampai penyair nasional, seperti KHA Mustofa Bisri, Jose Rizal Manua, Thomas Budi Santosa, Mukti Sutarman SP, Anis Saleh Bahasin, Viddy AD Daery, Fatin Hamama, Diah Hadaning, Mustafa Ismail, Chavchay Saefullah, Sihar Ramses Simatupang, Jumari HS, Nuzumul Laily, Bambang Supriadi, Bambang Widiatmoko, dan Rohadi Noor, dengan bintang tamu Sujiwo Tejo. Pada malam penutupan, panggung juga dimeriahkan Tari Kretek karya koreografer Liliani, dramatisasi puisi bersama Teater Djarum, dan pertunjukan wayang klitik sampai pagi.

Berbagai topik penting didiskusikan dalam seminar dan perayaan komunitas, dengan pembicara Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugono, Korrie Layun Rampan, Maman S Mahayana, Habiburrachman El-Shirazy, Shiho Sawai, Saut Situmorang, Ahmadun, Micky Hidayat, Mukti Sutarman SP, Idris Pasaribu. Seminar dimoderatori oleh Kurnia Effendi, Viddy AD Daery, Jimat Kalimasodo, dan Suprapto. ayeha

Sumber: Republika, Minggu, 27 Januari 2008

Wacana: Demokratisasi Sastra Pasca-Kongres KSI

-- Dad Murniah*

KONGRES Komunitas Sastra Indonesia (KSI) 2008 di Kudus Jawa Tengah selama tiga hari (19-21 Januari 2008) baru saja usai. Penyair dan redaktur sastra Republika, Ahmadun Yosi Herfanda, terpilih sebagai Ketua KSI yang baru. Para peserta, dari berbagai penjuru Tanah Air, telah kembali ke kota masing-masing, kembali ke 'ruang sunyi' dunia penciptaan mereka sendiri yang penuh tantangan kreativitas.

Tentu, banyak hal bisa didapatkan dari kongres itu. Kongres telah menjadi ajang silaturahmi, saling tukar informasi, menambah jaringan dan teman di kalangan sastrawan seluruh Indonesia. Tetapi, selain hal-hal itu, rekomendasi Kongres KSI yang dibacakan 'ibu penyair' Diah Hadaning cukup menarik untuk dicermati.

Butir pertama dari rekomendasi itu, misalnya. Dalam butir ini diingatkan mengenai pentingnya nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme, misalnya kemandiriaan dan kenusantaraan dalam karya, sangat penting untuk kembali dibumikan di Tanah Air. Dalam kaitan ini, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk kembali mengingatkan dan menyadarkan sangat pentingnya nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme.

Kita tahu, sastra Indonesia modern terlahir bersamaan dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia. Jatuh bangunnya sastra Indonesia modern tidak terlepas dari dialektika sejarah terbangunnya nasionalisme itu sendiri. Tetapi harus kita ingat, bahwa tafsir atas nasionalisme tentu tidak terlepas dari dominasi kekuasaan suatu rezim politik sebagai bagian dari praktik politik hegemoni. Karena itu, tak mengherankan jika perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia seakan-akan tidak bisa terlepas dari rezimisasi kekuasaan politik.

Pluralisme

Butir lain dari rekomendasi Kongres KSI, antara lain menyebutkan bagaimana kebenaran hanya diklaim sebagai milik satu kelompok, satu golongan, satu suku, atau satu agama tertentu dan pihak lain seperti dipaksa menerima kebenaran versi mereka. Kebinekaan atau keberagaman laksana kehilangan pijakannya.

Bertolak dari kondisi seperti itu, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk menyuarakan sangat pentingnya kebinekaan atau keberagaman sebagai pijakan untuk saling menghormati dan bertoleransi.

Tapi, hal itu bukan berarti bahwa komunitas sastra tidak boleh mengidentifikasi diri secara spesifik, unik, atau khusus. Yang pokok, identitas yang spesifik dan unik tersebut tetap hidup dalam semangat inklusifisme. Semangat inklusifisme itulah yang diharapkan dapat menjadi tali penghubung atau jembatan yang mampu mengharmoniskan hubungan antarkomunitas sastra.

Memang banyak yang lupa, bahwa konsep pluralisme, inklusivisme, dan toleransi merupakan landasan dasar terhadap penghormatan hak-hak asasi manusia sebagai kerangka acuan konsep demokrasi. Konsep demokrasi yang paling kental terlihat dari prinsip-prinsipnya, yaitu musyawarah (perundingan), musawa (kesetaraan), dan syura (konsultasi dalam artian luas). Bukankah hampir tak seorang pun cendekiawan dewasa ini menolak ide demokrasi?

Gagasan civil society yang lebih dikenal dengan istilah masyarakat madani merupakan diskursus besar dalam menggulirkan wacana untuk mewujudkan kehidupan demokratis di negara kita. Tentu pemikiran ini tak lepas dari penelaahan secara objektif terhadap sisi sisi khas sosial budaya dan historis dari masyarakat kita.

Artinya, proses demokratisasi itu sendiri sangat erat hubungannya dengan pertanyaan terhadap pandangan masyarakat kita dalam memahami nilai-nilai demokrasi yang ada. Dan nilai-nilai itu sendiri merupakan faktor penting dalam gerakan implementasian dalam mencapai kehidupan demokratis secara langsung. Sebab ide demokrasi merupakan paradigma berfikir yang hanya memiliki kekuatan makna dalam nilai praktiknya, dan bukan merupakan teori belaka. Ini berarti, ia merupakan tantangan bagi para sastrawan untuk membuktikan dalam karya-karyanya.

Menarik juga butir rekomendasi yang menyebutkan tentang sejarah kesusastraan Indonesia. Sejarah kesusastraan Indonesia sepantasnya disusun berdasarkan realitas yang berkembang dalam perjalanan sejarah kesusastraan di negeri ini. Terhadap fenomena sejarah sastra mulai dari masa pasca1908, hingga tahun-tahun terakhir (sastra kontemporer) agar para pengamat dan sejarawan dari berbagai kalangan tak terpengaruh sejarah dominan yang memengaruhi kurikulum pendidikan sastra Indonesia.

Untuk itu, misalnya, kita terutama pemerintah dapat membentuk semacam dewan sejarah kesusastraan Indonesia yang mampu menyusun sejarah kesusastraan Indonesia yang benar-benar mencerminkan realitas perjalanan sejarah kesusastraan di Indonesia. Secara struktural, dewan tersebut bisa saja berada di bawah dewan sejarah kesenian Indonesia. Payung utamanya sendiri bisa berupa dewan sejarah kebudayaan Indonesia. Tentu, sebelum itu, kita terutama pemerintah harus lebih dulu menyusun strategi kebudayaan (nasional) Indonesia.

Memang, selama ini periodisasi sastra Indonesia selama ini telah dipetakan sangat beragam oleh ahli sastra Indonesia. Baik oleh HB Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, Ajip Rosidi, A Teeuw, maupun Ajip Rosidi. Periodisasi sastra Indonesia yang dibikin mereka memang layak dipertanyakan. Karena, banyak karya sastra berbahasa Melayu yang ditulis oleh orang-orang peranakan Cina di Indonesia, tetapi tidak pernah diperhitungkan oleh para ahli sastra dalam pembicaraan mengenai periodisasi sastra Indonesia.

Pemetaan periodisasi sastra Indonesia secara reduktif itu disebabkan oleh konstruksi kesejajaran atau analogi antara sejarah sastra dengan sejarah politik, sehingga tidak mengherankan jika masyarakat sastra Indonesia kehilangan kepekaan terhadap operasi kekuasaan kolonial yang terus berlangsung bahkan sampai pada masa yang jauh sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sebagai misal, penulisan dan diskusi mengenai sejarah sastra Indonesia sampai tahun 1970-an terpusat hanya pada karya-karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Poejangga Baroe, karya sastra yang disebut sebagai "sastra serius" dan sejenisnya. Padahal, sebagaimana yang kemudian mulai terbuka sejak 1980-an, di luar Balai Pustaka terdapat banyak penerbit, termasuk surat kabar, yang menerbitkan karya sastra yang sesungguhnya bisa dikategorikan ke dalam karya sastra Indonesia juga.

Akhirnya, setelah Kongres KSI 2008 yang hiruk pikuk itu, lalu apa? Setelah itu memang sebaiknya para sastrawan kembali ke dunia penciptaan yang sunyi namun penuh tantangan kreativitas itu.

* Dad Murniah, Peneliti pada Pusat Bahasa Depdiknas

Sumber: Republika, Minggu, 27 Januari 2008

Jeda: Berpuisi di Depan 8.000 Buruh Rokok

SETELAH lelah dua hari mengikuti Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008, ratusan sastrawan mengunjungi beberapa tempat di Kota Kudus, Jawa Tengah. Para sastrawan diajak ke Menara Kudus, Makam Sunan Kudus, Museum Keretek, Pusat Pembuatan, Pemasaran Jenang, dan tidak ketinggalan mengunjungi salah satu dari puluhan pabrik rokok Djarum.

Tepatnya di bilangan Kampung Megawon, Kudus, di hadapan 8.000 buruh yang tengah bekerja, para sastrawan benar-benar ditantang untuk bisa mendeklamasikan puisi-puisi mereka di hadapan para buruh tersebut.

Pasalnya, ketika para penyair dipersilakan membaca puisi-puisi mereka, para buruh tetap saja bekerja seperti biasa. Mereka tetap duduk di tempat masing-masing dan melinting tembakau di atas kertas rokok. Hanya mata mereka yang sesekali boleh menoleh ke panggung atau kepada penyair yang sedang membacakan puisinya sambil berjalan di antara lorong baris para buruh.

Para sastrawan yang semula dijadwalkan membacakan puisi-puisi mereka hanya tujuh orang, yakni Diah Hadaning, Fikar W Eda, Ahmadun Yosi Herfanda, Chavchay Syaifullah, Fatin Hamama, Saut Situmorang, dan Sujiwo Tejo. Tetapi, karena para buruh rokok keretek itu merasa terhibur dengan pembacaan puisi para penyair itu, mereka pun meminta diperpanjang. Akhirnya penyair-penyair lainnya pun ikut tampil, seperti Bambang Widiatmoko, Irmansyah, dan Ibnu vs Megananda.

Tanpa disangka para penyair dan buruh spontan terkomunikasikan dalam puisi. Sebentar-sebentar para buruh bersorak-sorai menjawab seruan penyair. Sayangnya, Wowok Hesti Prabowo yang dikenal sebagai 'Presiden Penyair Buruh' tidak bersedia membacakan puisi-puisinya meski beberapa rekannya sudah 'menyeretnya' ke atas panggung. Sementara itu, 'Presiden Penyair Indonesia' Sutardji Calzoum Bachri telah lebih dulu pulang menuju Jakarta.

Para buruh yang ditemui Media Indonesia mengaku terkejut dengan acara baca puisi di dalam pabrik itu. Meskipun terkejut, mereka umumnya mengaku senang.

''Waduh, ini baru pertama kali ada acara seperti ini. Tapi oke banget,'' kata seorang buruh yang telah bekerja lima tahun, Rastini, 24.

Seperti kawan-kawannya, buruh yang sedang hamil empat bulan itu mengaku senang dengan penampilan para penyair acara yang penuh spontanitas dan canda gurau itu.

Selepas acara pembacaan puisi, para penyair yang umumnya dikenal sebagai 'perokok berat' itu, masing-masing pulang membawa satu bungkus produk rokok dari Djarum. Tanpa ulur waktu, para penyair pun langsung membakarnya di lokasi itu juga.

''Waduh mantap sekali nih. Satu rokok, bisa jadi satu puisi. Untung saja tidak dikasih sepabrik,'' celetuk seorang penyair dengan canda. (CS/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Januari 2008

Jeda: Komunitas Sastra Kolektif

KOMUNITAS sastra di Indonesia sesungguhnya telah berkembang sejak zaman kolonial. Saat itu, para pecinta sastra kerap berkumpul untuk bisa membaca dan membahas buku secara bersama-sama. Itu lantaran cetakan buku pada zaman itu masih begitu sulit diakses khalayak. Kelompok seperti itu di zaman kolonial kerap disebut 'sanggar' atau 'studi klub'.

Kelompok tersebut biasanya memiliki sebuah tempat berkumpul tempat para anggotanya bisa saling belajar sambil berdiskusi untuk berkarya lebih baik. Istilah 'komunitas' itu sendiri baru mulai digunakan pada akhir 1980-an. Berbagai aktivitas komunitas mulai terlihat dalam masyarakat sejak awal 1990-an.

Demikian dijelaskan pengamat sastra Indonesia dari Tokyo University of Foreign Studies, Shiho Sawai, dalam acara Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2008 yang diselenggarakan di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari.

Shiho menjelaskan di negara lain, seperti di Prancis pada abad pertengahan atau di Jepang pada abad ke-19, komunitas sastra sebagai sarana memproduksi atau mengonsumsi sastra secara kolektif telah muncul dan bertahan.

''Keunikan di Indonesia adalah pada pola menikmati sastra secara kolektif yang tetap saja sangat digemari hingga kini meskipun buku sudah dapat diperoleh di masyarakat tanpa banyak kesulitan,'' jelas Shiho.

Menurut Shiho, ada enam jenis komunitas sastra yang kini bergerak di tengah-tengah publik sastra Indonesia, yaitu komunitas berbasis kampus, komunitas berbasis nonkampus, komunitas berbasis koran/majalah, komunitas berbasis milis, komunitas berbasis penerbit, dan komunitas berbasis gerakan literasi.

Komunitas sastra berbasis kampus umumnya terjadi di setiap kampus, terutama kampus yang memiliki jurusan bahasa. Tidak jarang dalam satu kampus terdapat lebih dari satu komunitas sastra. Namun, komunitas sastra di kampus tidak selalu terdaftar dalam struktur kelembagaan kampus.

''Akhir-akhir ini muncul komunitas berdasarkan penerbit. Sejak industri penerbitan berkembang, para penulis mendapat lebih banyak kesempatan untuk menerbitkan karyanya dalam buku, tanpa melewati proses pemasukan naskah ke koran atau majalah. Maka, penulis pemula pun cukup berurusan dengan redaksi penerbit secara langsung dengan mengirimkan naskahnya melalui e-mail,'' jelas Shiho.

Soal ideologi yang disandarkan oleh para aktivis komunitas sastra saat ini, menurut Shiho, terlihat lebih plural dan terbuka. Itu terlihat dari sebagian besar sastrawan yang tidak saja aktif dalam satu komunitas. Ia bahkan menandaskan komunitas semestinya menjadi ruang fleksibel yang dapat menjadi sumber ideologi yang plural bagi pelaku sastra.

''Akan lebih berguna jika kita berpikir bagaimana ideologi yang beragam ini bisa ditemukan dalam dialog daripada terjebak pada mitos bahwa ideologi komunitas bersifat kaku dan harus dipilih satu di antara yang lain,'' urainya.

Sementara itu, sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda menilai ideologi sastra sulit dihapuskan sebab hal tersebut telah menyangkut pada sang sastrawannya sendiri.

''Karya sastra tidak pernah bebas nilai dan para kreator karya sastra adalah sosok-sosok yang bermuatan ideologi. Maka karya sastra sesungguhnya merupakan media yang tidak terhindarkan dari pengembangan ideologi,'' jelas Ahmadun seraya menjelaskan dalam komunitas sastra soal ideologi itu hal biasa dan tidak perlu dinilai sebagai ajaran dasar yang kaku.

Pengamat sastra dari Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, lebih jauh melihat komunitas sastra saat ini sebaiknya mengambil peran untuk kembali menyemangatkan manusia-manusia Indonesia dalam memahami sastra sebagai disiplin ilmu budaya yang penting bagi revitalisasi makna kebangsaan.

''Pemerintah kita sampai saat ini belum berhasil memahami sastra sebagai disiplin ilmu yang strategis bagi gerakan kebangsaan. Karena itu, komunitas-komunitas sastra harus lebih dulu membuktikan itu,'' jelas Maman. (CS/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Januari 2008

Jeda: Seruan Sastrawan dari 'Kota Keretek'

KONGRES Komunitas Sastra Indonesia 2008 menghasilkan enam rekomendasi untuk penataan strategi kebudayaan Indonesia.

KONGRES Komunitas Sastra Indonesia 2008 yang berlangsung di Kota Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari, diikuti ratusan sastrawan dari berbagai daerah di Nusantara. Dalam kongres yang diselenggarakan di Gedung DPRD Kudus itu, mereka menggelar forum, acara bincang-bincang, seminar, pembacaan puisi, monolog, dan pergelaran ragam seni pertunjukan lainnya.

Geliat acara kaum penulis itu tidak saja telah menarik minat ratusan guru dan siswa untuk datang dan menyimak kata-kata para sastrawan. Namun, kongres itu juga telah melahirkan enam rekomendasi yang cukup segar bagi penataan strategi kebudayaan Indonesia.

Simak saja poin pertama yang berbunyi, "Krisis moneter pada 1997 telah memurukkan sendi-sendi perekonomian Indonesia." Salah satu dampaknya adalah aset-aset nasional harus dijual kepada pihak asing sehingga kepemilikan pihak asing terhadap aset-aset nasional makin menguat.

Para sastrawan menilai makin menguatnya kepemilikan asing tersebut tentu makin mengukuhkan nilai-nilai kebudayaan asing, terutama kebudayaan Barat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Karena itu, nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme, misalnya kemandirian dan kenusantaraan, dalam karya sastra menjadi sangat penting untuk kembali dibumikan di Tanah Air. Karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk kembali mengingatkan dan menyadarkan sangat pentingnya nilai-nilai kebangsaan.

Mereka juga menandaskan krisis multidimensi yang masih terasa hingga saat ini telah memicu konflik antarkelompok, antargolongan, antarsuku, dan antaragama. Kebenaran telah dimonopoli oleh satu kekuatan semata yang kemudian dipaksakan kepada pihak lainnya untuk diterima.

Bertolak dari kondisi seperti itu, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk menyuarakan sangat pentingnya kebhinekaan atau keberagaman sebagai pijakan untuk saling menghormati dan bertoleransi.

Dalam poin lainnya, para sastrawan juga meminta agar sejarah kesusasteraan Indonesia disusun berdasarkan realitas yang berkembang dalam perjalanan sejarah kesusasteraan di negeri ini. Mereka juga berharap kepada pengamat sastra dan sejarawan dari berbagai kalangan untuk tidak terpengaruh oleh sejarah dominan yang memengaruhi kurikulum pendidikan sastra Indonesia. Untuk itu, mereka menuntut dibentuknya semacam dewan sejarah kesusasteraan Indonesia yang mampu menyusun sejarah kesusasteraan Indonesia yang mencerminkan realitas perjalanan sejarah kesusasteraan Indonesia.

Dalam poin rekomendasi, dijelaskan lebih lanjut bahwa secara struktural, dewan tersebut bisa saja berada di bawah dewan sejarah kesenian Indonesia. Payung utamanya sendiri bisa berupa dewan sejarah kebudayaan Indonesia. Tentu, sebelum itu, harus lebih dulu disusun strategi kebudayaan Indonesia.

Terkait dengan meningginya harga kertas yang berimbas pada rontoknya sejumlah penerbit dan menyangkut pajak atas karya sastra, para sastrawan meminta agar penerbitan dan penyebarluasan karya sastra bisa lebih baik, perlu diciptakan kondisi-kondisi yang mendukung. Misalnya, pemerintah menurunkan harga kertas, menghapuskan pajak atas karya sastra, dan kemudahan-kemudahan lainnya.

Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus merupakan kongres yang baru digelar untuk pertama kalinya. Namun meski umur kongres terbilang masih 'bayi', tidaklah bisa disangkal poin-poin rekomendasi yang dihasilkan cukup strategis bagi penataan kebudayaan Indonesia yang lebih luas. Bagaimana penerapannya, tentu semua pihak harus ambil bagian.

Para sastrawan yang hadir dalam kongres di Kudus tentu saja harus berada di barisan terdepan membuktikan fungsi emansipatorik sastra di tengah perubahan sejarah. Para aktivis komunitas sastra yang menyebar di seantero Nusantara tidak bisa mengelak untuk lebih awal membuktikan komunitas sastra dapat melahirkan anak-anak bangsa yang kreatif, mandiri, dan berdaya saing internasional. (Chavchay Syaifullah/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Januari 2008

Khazanah: Kiai Kanjeng Melintasi Terowongan Budaya Barat

-- Muhammadun AS*

DARI berbagai grup musik di Indonesia, nama Kiai Kanjeng tidaklah asing. Kiai Kanjeng dianggap grup musik yang berbeda dari musik Indonesia pada umumnya. Kegiatan keliling Kiai Kanjeng merupakan bagian dari pekerjaan sosial Emha Ainun Nadjib langsung di masyarakat, terutama grassroot dan menengah bawah. Kegiatan itu multikonteks meliputi budaya, keagamaan, spiritual, social problem solving, dan pendidikan politik.

Eksplorasi musik Kiai Kanjeng hampir tidak membatasi diri pada jenis atau aliran musik. Karena secara musikal, alat Kiai Kanjeng memiliki berbagai kemungkinan. Untuk itu, pengembaraan cipta mereka sangat ragam. Dari eksplorasi musik tradisional Jawa, Sunda, Melayu, dan China, termasuk penggalian dari berbagai etnik lain seperti Madura, Mandar, dan Bugis (Kiai Kanjeng berulang kali tampil dalam Festival Gamelan Internasional) - Kiai Kanjeng juga tidak menutup diri untuk memainkan musik Barat modern, pop, blues, dan jazz (Kiai Kanjeng tampil juga dalam Festival Jak-Jazz).

Jangan lupa juga dangdut. Ketika tur ke enam kota di Mesir, Kiai Kanjeng mengkhususkan diri mengaransemen kembali lagu-lagu Si Bintang Timur Ummi Kultsum. Sebagai grup musik, Kiai Kanjeng telah melahirkan sejumlah album musik yakni Tombo Ati, Raja Diraja, Wirid Padang Bulan, Jaman Wis Akhir, Menyorong Rembulan, Perahu Nuh, Allah Merasa Heran, Cinta Sepanjang Jaman, Kepada-Mu Kekasihku, dan Maiyah Nusantara.

Tetapi, Kiai Kanjeng bukanlah kelompok musik sebagaimana biasanya kelompok musik. Terutama karena fokus utama kegiatannya bukanlah musik atau kesenian, melainkan proses dan komunikasi sosial yang komprehensif. Fenomena seperti itu tidak lazim sehingga Kiai Kanjeng hanya dikenal dari mulut ke mulut - namun relatif tidak dikenal di dalam konstelasi musik Indonesia, terutama konstelasi musik industri Indonesia. Kiai Kanjeng hadir sebagai salah satu strategi perjuangan Cak Nun dalam mendakwahkan nilai-nilai Islam dan nilai kemanusiaan. Kiai Kanjenglah yang menemani Cak Nun dalam berbagai forum, khususnya menemani acara maiyah setiap tanggal 17 setiap bulan di Kasihan. Juga, dalam acara Padhang Bulan di Jombang, Kenduri Cinta di Jakarta, dan berbagai wilayah lainnya.

Dengan ditemani Kiai Kanjeng, dalam berbagai forum pertunjukan Cak Nun selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah.

Dalam suatu maiyah di Kasihan, Cak Nun menyebut eksplorasi global Gamelan Kiai Kanjeng itu sebagai suatu bentuk sikap pascaglobalisme yang juga diterapkan di berbagai bidang kehidupan manusia dan masyarakat. Cak Nun dan Kiai Kanjeng tidak anti terhadap musik tradisional, namun tidak juga menolak musik modern dunia --tetapi tidak bersedia diperbudak oleh keduanya. Bertahan konservatif dalam budaya tradisi membuat manusia lenyap dari sejarah, tetapi menyediakan diri diseret oleh budaya globalisasi membuat manusia menjadi budak kebudayaan yang dipanglimai oleh kapitalisme industri. Melawan globalisasi tidak dengan puritanisme tradisional-lokal, tapi dengan memijakkan kaki di tanah tradisi sambil menelan tawaran globalisasi untuk diolah dengan kepribadian yang mandiri.

Bukan hanya dalam budaya musik saja Cak Nun dan Kiai Kanjeng mewujudkan sikap pascaglobalis, melainkan juga di segala bidang. Cak Nun dan Kiai Kanjeng bersentuhan terus menerus dengan berbagai segmen masyarakat dalam konteks budaya, keagamaan, teknologi, dan birokrasi - namun tidak terkooptasi oleh segmentasi itu. Bergaul terus-menerus dengan berbagai wilayah politik, namun tetap mempertahankan independensi, nasionalisme murni, dan nurani kemanusiaan sejati.

Spirit Kiai Kanjeng

Dihitung dari tahun keenam berdirinya, yakni sejak Juni 1998 hingga Desember 2005, Kiai Kanjeng telah mengunjungi lebih dari 21 provinsi, 376 kabupaten, 930 kecamatan, dan 1.300 desa di seluruh wilayah Nusantara. Tidak hanya itu, Kiai Kanjeng juga kerap kali diundang ke mancanegara, di antaranya adalah tur enam kota di Mesir, Malaysia, rangkaian ke Eropa yang meliputi Inggris, Jerman, Skotlandia, dan Italia. Maret 2006, Kiai Kanjeng kembali diundang Malaysia dan Brunei Darussalam. Akhir 2006, mereka melakukan serangkaian perjalanan ke Finlandia pada acara Amazing Asia dan Culture Forums atas undangan Union for Christian Culture.

Kesuksesan Kiai Kanjeng menembus terowongan budaya Barat dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam festival musik kelas dunia di Mekah-nya musik kelas dunia

Konservatorio Napoli. Di Napoli itulah, pentas musik kelas wahid dunia diselenggarakan. Sudah barang tentu, nama grup musik yang ikut serta akan tercatat dalam cakrawala musik dunia yang mengharumkan nama bangsanya. Tak mengherankan kemudian kalau Kiai Kanjeng mendapatkan undangan mengalir dari berbagai negara Eropa, termasuk Kanada, Amerika Serikat, dan Australia.

Kesuksesan Kiai Kanjeng menembus budaya Barat tanpa harus kehilangan pijakan kebudayaan Nusantara merupakan catatan prestasi yang layak dicatat bangsa Indonesia. Kiai Kanjeng bisa membuat bangsa Indonesia bangga karena bisa sejajar dengan berbagai negara maju. Dengan khazanah kebudayaan Nusantara yang melimpah, Kiai Kanjeng bisa membawa Indonesia sejajar dengan Barat. Kiai Kanjeng bukan sekadar capaian sukses grup musik, lebih dari itu, Kiai Kanjeng merupakan capaian sukses sebuah kebudayaan dan peradaban Indonesia. Jejak-jejak spirit Kiai Kanjeng itulah yang selayaknya menjadi spirit generasi bangsa untuk menghadirkan Indonesia sebagai bangsa yang berkebudayaan dan dengan peradaban tinggi.

* Muhammadun AS, Pemerhati Budaya, Pengelola Perpustakaan Al-Hikmah Pati

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Januari 2008

Esai: Tafsir Budaya Mistisisme

-- E Tryar Dianto*

BUDAYA bukanlah sesuatu yang asli (genuine), tapi hasil konstruksi manusia setiap jamannya. Karena itu,setiap masa memiliki tafsir sendiri tentang kepemilikan budaya. Salah satu budaya yang mengakar kuat di masyarakat adalah mistisisme.

Dalam masyarakat Indonesia,budaya mistisisme hampir bisa ditemukan dalam setiap jengkal kehidupan. Masyarakat Jawa, misalnya, mengenal adanya upacara-upacara adat (slametan), kepercayaan terhadap makhluk halus (memedi, lelembut, tuyul, demit), dan keyakinan berbau sihir (santet, pesugihan, pelet). Khusus tentang mistisisme Jawa, Clifford Geertz mengeksplorasi dengan baik dalam karyanya The Religion of Java dan Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.

Dalam perkembangannya,budaya mistisisme ini dicuri oleh kehadiran industri.Fenomena mistis mengalami kapitalisasi setelah hadir dalam beragam tayangan mistis. Bahkan, acara-acara mistis ternyata mendapat animo cukup besar di kalangan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya acara serupa.Mulai dari film Bangsal 13, Jelangkung, Pocong, Suster Ngesot, Hantu Jeruk Purut, Bangku Kosong,Kuntilanak, Jembatan Casablanca,sampai dengan reality show yang pernah laris, seperti Dunia Lain, Gentayangan,danPemburu Hantu.

Dengan adanya “kapitalisasi mistis”, masyarakat Indonesia terpaksa menerima begitu saja (take for granted) tayangan tak rasional yang menumpulkan akal pikiran. Padahal, jelas bahwa fenomena demikian menurut indra dan akal –secara filosofis sebagai sumber pengetahuan? tak dapat diterima. Hal ini tentu akan berpengaruh buruk terhadap generasi ke depan. Tentu semua pihak tidak bisa tinggal diam. Harus ada upaya merebut makna mistisisme dari kontaminasi kapitalisasi yang menjerumuskan. Salah satunya dengan membajak tafsir budaya mistisismenya.

Mistisisme yang berkembang di masyarakat jangan lagi ditafsirkan sebagai kepercayaan terhadap eksistensi kekuatan mistis yang jelas tidak rasional. Ia harus ditafsirkan sebagai kearifan lokal, ikatan sosial masyarakat, dan kebutuhan akan nilai kebersamaan. Cara pandang ini jelas tidak menolak atau menghilangkan mistisisme. Mistisisme tetap diterima, tetapi dimaknai sebagai kebutuhan untuk menjaga harmonisasi hubungan masyarakat.

Upacara slametan, misalnya, tetap diterima, tapi dalam pemahaman sebagai upaya harmoni sosial. Slametan menjadi mekanisme untuk memelihara nilai-nilai lokal seperti kebersamaan,kekerabatan,dan kerukunan. Bukan dijadikan sebagai perantara meminta kekuatan di luar manusia (mistis) untuk memberi keselamatan. Dengan demikian,adanya slametan tetap bisa sebangun dengan perkembangan modernitas jaman.

Esensi Menafsirkan Mistisisme

Demi menyelamatkan generasi mendatang, sepatutnya dilakukan upaya membongkar nalar mistis menjadi nalar ilmiah.Dalam pengamatan penulis, selama ini tak banyak yang konsen terhadap isu ini.Usaha untuk mengubah cara berpikir dari nalar mistis ke nalar ilmiah tampaknya masih jarang sekali tersentuh.Padahal, jika kita tengok sejarah, revolusi Industri di Eropa 1700-an silam sebenarnya diawali dengan gelombang penolakan terhadap hal-hal takhayul.

Bagaimana kita mengharapkan tunas bangsa Indonesia menemukan teknologi baru, ide-ide cerdas, dan segudang penemuan lainnya, jika nalar mistis telah ditanamkan sejak kecil. Persoalan yang biasanya dihadapi adalah mereka yang berpikir rasional akan dituduh sebagai atheis. Seolah kepercayaan terhadap Tuhan berarti harus percaya kepada semua fenomena mistis. Jika menolak mistisisme, sama artinya tak percaya terhadap Tuhan (atheis), padahal kedua kepercayaan tersebut adalah sesuatu yang berbeda.

Contoh menarik seperti yang dilakukan Andre Kole, seorang pesulap (illusionist) sekaligus pendeta taat, bersama David Copperfield melalui Campus Crusade for Christ telah lama mewacanakan antimistis dengan pendekatan secara agamis. Dalam berbagai ceramahnya, dirinya selalu mengingatkan akan bahayanya berpikir ala mistisisme dan secara agama (Nasrani),mistisisme itu bertentangan. Melalui metodenya mind games,Andre Kole sering kali membongkar kepercayaan masyarakat Barat mengenai unidentifiedflyingobject(UFO),keahlian para cenayang,penampakan hantu,dan keajaiban-keajaiban lainnya.

Perkembangan dunia sulap, hipnotis, neurolinguistic program (NLP), ditambah pendekatan lain seperti psikologi, etnografi, dan sebagainya, kini mampu memberi penjelasan teoritis bagaimana proses mistis semacam itu bisa terjadi. Kekuatan semacamkebalapi,senjatatajam,tidur di atas paku, berjalan di atas serpihan kaca,kini tak harus dilihat sebagai ilmu kebatinan tingkat tinggi.

* E Tryar Dianto, Peneliti di Indonesia Rasionalist Institute (IRIs) Bidang Kajian Mystical Phenomenon

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 27 Januari 2008

Saturday, January 26, 2008

Budaya Kreatif: Pemerintah dan Industri Kurang Beri Perhatian

JAKARTA, KOMPAS - Di abad audio visual sekarang, kesadaran pemerintah dan industri Indonesia akan pentingnya pendidikan budaya kreatif masih rendah.

Budayawan Garin Nugroho mengatakan hal itu di Jakarta, Jumat (25/1), menanggapi ”keluh-kesah” Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang mengemuka pada acara Malam Harapan Fakultas di Hotel Nikko, Jakarta, Kamis malam. Presentasi yang rencananya disampaikan Agni Ariatama dibatalkan karena yang hadir sekitar sepertiga jumlah undangan.

Agni, pengajar di Fakultas Film dan Televisi IKJ, mengatakan, para mahasiswanya mengalami hambatan menyelesaikan studi tepat waktu karena terkendala dana, terutama untuk menyelesaikan tugas akhir.

”Untuk tugas akhir secara kelompok, mahasiswa butuh dana Rp 20 juta-Rp 60 juta. Akibatnya, hanya sekitar seperlima jumlah mahasiswa tiap tahun bisa selesai studi tepat waktu. Jika dana cukup, semestinya dua pertiga mahasiswa bisa selesai,” ujarnya.

Malam itu seorang pengusaha memberi bantuan Rp 150 juta dan seorang pengusaha film mengizinkan studionya digunakan mahasiswa untuk editing.

Garin menjelaskan, Amerika menanamkan investasi untuk pendidikan budaya kreatif karena akan menggerakkan industri budaya. Di Korea ada ratusan sekolah film. Di Indonesia, dengan 220 juta lebih jiwa, hanya ada satu sekolah film, di IKJ. (NAL)

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Januari 2008

Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia

-- Koh Young Hun*

TIGA puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang sama.

Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai lima tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji bahwa dalam masa jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7, yang berisikan bahwa 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita, dan negara ke-7 terbesar dari segi ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada hemat saya, Indonesia juga bisa, karena negara ini punya kemampuan.

Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.

Dalam teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam bukunya, The Logic of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang lain. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama, yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.

Adapun aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang kemiskinan dan keterbelakangan suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan oleh kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan bahwa teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah Melayu-nya, karena awak tak bisa menari, lantai pula yang disalahkan.

Etos Korea

Kita semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif singkat telah menjelma menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.

Kemajuan Korea ini telah membuat banyak orang berdecak, terpukau seperti melihat keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya, resep apa gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan bangsa yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea dalam rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, ”sikap rajin bekerja”. Lebih menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk tetapi tiada pelaksanaannya.

Kedua, ”sikap hemat”, yang tumbuh sebagai buah dari sikap rajin bekerja tadi. Ketiga, ”sikap self-help”, yang didefinisikan sebagai berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih tepat; berusaha mengembangkan sifat mandiri dan rasa percaya diri. Keempat, kooperasi atau kerja sama, cara untuk mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan mempersatukan individu serta masyarakatnya.

Inilah picu laras yang memacu jiwa kerja bangsa Korea. Bila kita perhatikan, keempat butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur bangsa Indonesia. ”Rajin pangkal pandai...” dan ”sedikit bicara banyak kerja” adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.

Adapun nilai self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam nilai religi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa dalam Al Quran menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Sedangkan setiap usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam telah memberinya nilai tambah; digolongkan pada perbuatan ibadah. Sementara sifat yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya Indonesia yang amat menonjol. Kooperasi atau gotong royong tetap dipelihara dan dilestarikan.

Burung garuda

Sebagai penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak burung garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari hari ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama ayam kampung. Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang zoologist itu terkejut.

”Ah!” pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. ”Sungguh mengherankan burung garuda itu!” ujarnya kepada pemburu.

”Dia bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, tetapi dia kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!” balas sang pemburu mantap.

”Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung garuda!” bantah si ahli unggas itu.

Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh.

”Betul, kan?” ujar si pemburu. ”Dia bukan garuda lagi!”

Kembali si ahli unggas itu menangkap garuda, dan mengapungkannya lagi. Kembali garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu kembali mencemooh dan semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.

Dengan penuh penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan lembut membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: ”Garuda, dalam tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu, terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat indah. Terbanglah! Membubunglah!” Burung dilepas, dia mengepak. Semula tampak kaku, kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung tinggi, karena dia memang garuda.

Nah, barangkali cerita ini ada persamaannya dengan bangsa Indonesia. Bukti kejayaan masa lampau telah membuat mata dunia takjub. Borobudur satu bukti karya perkasa. Kini camkanlah bahwa Anda sekalian mampu, Anda punya kemampuan. Korea saja bisa, apalagi Indonesia.

* Koh Young Hun, Profesor di Program Studi Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Januari 2008

Kongres KSI: Karya Sastra Berperan Besar Menyadarkan Nasionalisme

[JAKARTA] Karya sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk kembali mengingatkan dan menyadarkan pentingnya nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme. Kebhinekaan atau keberagaman adalah pijakan untuk saling menghormati dan bertoleransi. Oleh karena itu, identitas sastra budaya Indonesia yang spesifik dan unik harus tetap hidup dalam semangat inklusivisme.

Hal itu menjadi salah satu rekomendasi yang dilahirkan Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang berlangsung pada 19-21 Januari 2008 di Kudus, Jawa Tengah. Rekomendasi Kongres KSI ditujukan bagi perkembangan sastra Indonesia.

Dari hasil kongres, KSI juga melihat dampak krisis moneter 1997 yang berujung pada krisis multidimensi, telah memicu konflik antarkelompok, antargolongan, antarsuku, dan antaragama di Indonesia. Kebenaran hanya diklaim sebagai milik satu kelompok, satu golongan, satu suku, atau satu agama tertentu dan pihak lain seperti dipaksa menerima kebenaran subjektif.

"Diharapkan, dengan semangat inklusivisme dapat menjadi tali penghubung atau jembatan yang mampu mengharmoniskan hubungan antarkomunitas sastra. Karya sastra dan komunitas sastra harus mampu menjadi bagian dari langkah maju dengan semangat baru untuk kemajuan sendi kehidupan bangsa Indonesia," kata Wowok dalam siaran persnya.

Kongres KSI juga menekankan kesusastraan sebagai aset kebudayaan bangsa yang harus dipelihara karena bernilai penting bagi kebangsaan. Hal ini berkaitan dengan klaim negara lain atas kepemilikan aset-aset budaya Indonesia. Oleh karena itu, KSI menuntut pengembalian aset-aset nasional, terutama karya sastra yang berpindah ke negara asing.

Dalam konteks kesusastraan Indonesia, sejarah kesusastraan Indonesia sepantasnya disusun berdasarkan realitas yang berkembang dalam perjalanan sejarah kesusastraan. Terhadap fenomena sejarah sastra mulai dari masa pasca-1908, hingga tahun-tahun terakhir (sastra kontemporer) KSI meminta agar para pengamat dan sejarawan dari berbagai kalangan tak terpengaruh sejarah dominan yang mempengaruhi kurikulum pendidikan sastra Indonesia. KSI juga meminta, agar penerbitan dan penyebarluasan karya sastra bisa lebih baik.

"Perlu diciptakan kondisi yang mendukung misalnya pemerintah menurunkan harga kertas, menghapuskan pajak atas karya sastra dan kemudahan- kemudahan lainnya," katanya. [DLS/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 26 Januari 2008

Ajip Rosidi: Manusia "Bebas Aktif"

-- Irfan Anshory*

Usia tiga dua
tak djadi apa!
Adakah masih djauh
perdjalanan jang kan kutempuh?


DEMIKIANLAH antara lain isi hati Ajip Rosidi pada sajaknya "Mendjelang Usia 32" dalam majalah Budaja Djaja bulan Agustus 1970. Ternyata, berkat rahmat Allah, perjalanan hidup yang ditempuh sastrawan kondang kelahiran 31 Januari 1938 itu sudah melampaui life expectancy rata-rata orang Indonesia.

Ketika Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawannya menerbitkan majalah Konfrontasi, dalam edisi perdana Juli-Agustus 1954 dimuat beberapa sajak seorang penyair muda berusia 16 tahun yang bernama Ajip Rossidhy. Pada kata pengantarnya Takdir menulis, "Rossidhy telah sangat mudah mengutjapkan perasaannja…. Ia mempunjai bakat untuk mendjadi penjair jang berarti."

Ramalan Takdir benar. Dan bukan hanya puisi atau sajak yang dihasilkan putra Jatiwangi, Majalengka ini. Dia juga penulis yang paling produktif dengan spektrum sangat luas, sajak, cerita pendek, esai bahasa dan sastra nasional, bahasa dan sastra daerah, masalah keislaman, dan masalah politik kenegaraan.

Kiprah Ajip Rosidi bukan semata-mata di Indonesia saja. Dia cukup banyak melanglang buana ke berbagai pelosok dunia. Sajak dan cerita pendeknya banyak yang diterjemahkan ke bahasa-bahasa asing. Cukuplah di sini disebutkan bahwa ketika Universitas Cornell di Amerika Serikat menerbitkan majalah tengah-tahunan Indonesia, yang kini merupakan majalah ilmiah tentang keindonesiaan yang sangat bergengsi, dalam nomor perdananya (No.1, April 1966) dimuat cerita pendek Ajip Rosidi, "Among the Family", terjemahan dari naskah asli "Di Tengah Keluarga" yang ditulis Ajip ketika muda remaja.

Menarik untuk dicatat bahwa di masa mudanya dia menggunakan nama yang rada ngepop, Ajip Rossidhy. Pada September 1954, Menteri PP dan K Muhammad Yamin pernah menegurnya, "Naha nulis ngaran téh maké y sagala?" Dengan tangkas Ajip muda membalas, "Apan nurutan Pa Yamin!" Mendengar jawaban itu, Yamin tertawa ngakak.

Entah kapan Ajip kembali ke "khittah" dengan menulis namanya Rosidi. Saya tidak pernah menanyakan hal ini kepadanya. Barangkali awal tahun 1960-an. Yang jelas, nama Ajip Rossidhy masih dipakainya ketika menulis sajak "Djante Arkidam" dalam majalah Sastra Indonesia terbitan BMKN pada Januari 1958. Lalu pada tulisannya "Muhammad Yamin: Tanah Air" dalam majalah Basis bulan Mei 1962 dia sudah memakai nama Ajip Rosidi.

***

JIKA kita ingin mendeskripsikan Ajip Rosidi dengan istilah sesingkat mungkin, dia adalah "manusia bebas-aktif". Istilah yang diciptakan Mohammad Natsir ketika menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia tahun 1950 untuk menjelaskan sifat politik luar negeri negara kita, kiranya sangat tepat kita gunakan untuk menjelaskan sifat Ajip Rosidi.

Ajip Rosidi betul-betul manusia "bebas". Dia tidak pernah terikat dalam birokrasi pegawai negeri. Dia tidak merasa berkewajiban untuk menyelesaikan suatu pendidikan formal, bahkan dengan bangga menyatakan diri "hidup tanpa ijazah". Meskipun jiwa Islamnya sangat kuat, dia sejak mudanya tidak berminat untuk menjadi anggota suatu organisasi keislaman. Dia bergaul bebas dan akrab dengan semua kalangan dari berbagai spektrum ideologi, dari tokoh-tokoh santri sampai tokoh-tokoh komunis.

Di sisi lain, Ajip Rosidi betul-betul manusia "aktif". Di samping aktif menulis puluhan buku dan ratusan karya tulis, baik bidang sastra-budaya maupun bidang-bidang lain, dia juga aktif melahirkan hal-hal yang memperkaya budaya Indonesia, antara lain menerbitkan Ensiklopedi Sunda yang merupakan eksiklopedi etnis pertama di Indonesia, mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancagé yang setiap tahun memberikan hadiah bagi buku-buku sastra berbahasa Sunda, Jawa, dan Bali yang dinilai terbaik, serta mendirikan berbagai lembaga penerbitan. Bahkan, Ajip Rosidi sangat aktif dalam arti fisik. Meskipun berdiam di Pabelan, Jawa Tengah, setiap bulan dia mondar-mandir Bandung-Jakarta sehingga banyak yang bertanya-tanya obat kuat apakah gerangan yang dikonsumsi Ajip agar tetap energetik dalam usianya yang tujuh puluh tahun.

***

SALAH satu obsesi Ajip Rosidi adalah menjadikan bahasa Sunda sebagai wahana penyebaran ilmu pengetahuan. Tegasnya, bahasa Sunda harus mampu dipakai untuk penulisan karya-karya ilmiah. Tetapi kenyataannya, seperti kata Ajip sendiri, "Nepi ka ayeuna basa Sunda tacan bisa dipaké nulis karya ilmiah, da tacan aya nu nyoba nuliskeun élmu ku basa Sunda." (Cupumanik No.3, Oktober 2003). Pada tulisannya yang lain, "Sanajan réa urang Sunda anu jadi sarjana tatanén, kadokteran, farmasi, arsitéktur, téknik sipil, ékonomi, élmu politik, jllna, tapi tacan aya anu nulis buku dina basa Sunda ngeunaan widang kaélmuanana. Padahal lamun réa nu nulis dina basa Sunda, tanwandé harkat basa Sunda téh baris unggah." (Cupumanik No.26, September 2005).

Saya merasa tertantang oleh tulisan-tulisan Ajip di atas, sehingga memberanikan diri menulis beberapa tulisan ilmiah populer dalam bahasa Sunda untuk dimuat di majalah Cupumanik. Ternyata, hal itu tidaklah sederhana seperti semula saya duga. Saya mengalami kesulitan dalam menyundakan istilah-istilah ilmiah. Teman-teman seprofesi tidak mampu membantu, bahkan ada yang menganggap saya mengada-ada. Apa boleh buat, saya terpaksa melakukan "ijtihad" membuat istilah-istilah sendiri berdasarkan Kamoes Basa Soenda karya Satjadibrata (1948) dan Sundanese English Dictionary karya Rabindranat Hardjadibrata (2003).

Maka, dalam beberapa tulisan di majalah Cupumanik saya mencoba memperkenalkan istilah-istilah ilmiah dalam bahasa Sunda, seperti wiati (atmosfer), beledug rongkah (dentuman akbar, big bang), gagancang (kecepatan, velocity), panjang galura (panjang gelombang), beubeungeut (permukaan), kabeueusan (kelembaban), renggenek (tetapan, konstanta), panceg (stabil), réaksi gigir (reaksi samping, side reaction), simpay hidrogén (ikatan hidrogen), walatra (distribusi), titik kimpel (titik beku), dan sebagainya.

Sudah tentu saya hanya mampu menekuni istilah ilmiah yang berhubungan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam sesuai dengan latar belakang pendidikan saya. Adapun istilah ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial sudah sewajarnya ditangani oleh para pakar di bidang tersebut. Itulah sebabnya, pada ulang tahun ke-70 Ajip Rosidi sekarang, kita mengimbau Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini Dinas Pendidikan serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, agar segera menyelenggarakan suatu pertemuan ilmiah yang dihadiri para ilmuwan Sunda dari berbagai disiplin ilmu untuk membakukan istilah-istilah ilmiah dalam bahasa Sunda.

Jika kita telah punya semacam kamus istilah ilmiah bahasa Sunda, mudah-mudahan banyak ilmuwan yang terstimulasi untuk menyebarkan pengetahuan dalam bahasa Sunda. Dengan demikian, salah satu cita-cita Ajip Rosidi (dan tentunya cita-cita kita semua) untuk menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa ilmiah insya Allah akan tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama. ***

* Irfan Anshory, Aktif di Pusat Studi Sunda

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Januari 2008

Khazanah: Memorabilia Kiri dan September Hitam

-- Beni Setia*

ADA kesejajaran antara novel Zoya Herawati, Derak-derak (Ombak, 2005), dengan novel Ayu Utami, Larung (Gramedia, 2001), yang mencoba memotret perjuangan wanita kiri pada periode 1965, setelah gerakan kiri sebelumnya gagal. Celakanya, gerakan kiri ini pun gagal dan hanya melahirkan sosok pejuang wanita yang terpaksa tiarap, memakai identitas semu dan menunggu kebangkitan. Apakah ada gerakan kiri baru? Jawabannya ada, dan terbukti gagal lagi.

Yang membedakannya mungkin teknik pengungkapannya. Ayu Utami lebih simbolis dengan memilih Calon Arang, sebagai si antikemapanan yang membuat ajaran tandingan pada ajaran resmi (Mpu Barada) di zaman Airlangga. Yang dikhianati oleh anaknya, yang dipikat oleh cinta palsu murid Mpu Baradah, Mpu Bahula, yang membuatnya menyesal dan diam-diam undur sebagai Ratna Manjali yang berproses jadi Calon Arang baru. Sedikitnya ada puisi di sana, yang membuat Larung terpenggal, distortif saat digabungkan dengan prosa tentang gerakan kiri baru yang gagal.

Sementara Zoya Herawati real bercerita --meski tekniknya unik-- tentang seorang si Sulung yang orang tuanya menjadi korban pembersihan rezim militer karena pemberontakan kiri yang gagal. Tumbuh menjadi yatim yang mendendam, disubversi gerakan kiri baru, dan mendapat fasilitas pengaderan internasional karena sejak kecil didik ayahnya untuk jadi pejuang sosialis. Menjadi kader yang turun ke daerah, sebelum ditangkap dan dibantai. Akan tetapi, ia selamat dan hidup dengan identitas baru, bulik--seorang wanita Jawa pinggiran yang cuma mengabdi, padahal ia berhasil mengubah Parti, sahaya priyayi, jadi manusia baru, yang sejajar tanpa jadi kiri.

Sama seperti Larung, dalam Derak-derak ini, Zoya Herawati bercerita tentang gerakan kiri baru dengan basis kampus dan bukan kader di pinggiran, yang berkecambah dan gagal. Sama seperti Ayu Utami, Zoya Herawati pun bercerita tentang ideologi (kiri) macho yang romantis, yang (kembali) gagal. Apakah gerakan kiri tak bisa dilakukan dengan teknik yang lebih feminis dan keibuan? Bila mungkin, macam apa manifestasi gerakan kiri baru itu, yang kini dilancarkan tanpa agitasi dan propaganda itu?

**

KALAU teknik penceritaan Ayu Utami lebih simbolis puitis dengan balutan prosa semidiary sehingga Larung terkesan pecah, dan tak utuh seperti Saman --yang fragmentaris. Sementara itu, teknik penceritaan Zoya Herawati dalam Derak-derak lebih rumit meski sebenarnya sangat tradisional. Mungkin perbedaan itu disebabkan pilihan dalam merekat data-data fragmentaris, di mana Ayu Utami lebih merujuk pada suspens dan pornoaksi, sedangkan Zoya Herawati lebih pada agitasi politik meski kemungkinan ini diciptakannya sekadar buat menggoda dan bukan mengukuhkan --lihat "Dari Pengarang". Bukankah tren sastra Indonesia kini lebih pada godaan seksualitas? Kenapa tak melakukan godaan ideologis?

Meski keduanya memakai teknik penceritaan point of view orang ketiga sehingga bisa bebas menggali pikiran-pikiran tokoh novel yang ditulisnya, Zoya Herawati sesungguhnya lebih tradisional dan unik. Kenapa? Karena Zoya lebih sadar menghadirkan dirinya, yang dalam novel itu ditulis sebagai "aku" atau "Aku", untuk berdiskusi dan mengadili tokoh-tokoh yang dihadirkannya. Dari sekadar Nyono, George, Sulung, Kendro, Bendara Agung, Parti, Jendral Ru, Kiai Fakir, atau cuma pelaksana setingkat pimpinan Dandim dan Polwil, dan seterusnya. Mereka ditanya konsistensinya. Mereka ditanya nurani kemanusiaannya.

Teknik ini, yang dipilih Zoya untuk menguji motif tindakan setiap orang --yang cenderung egoistik cari untung penuh vested interest-- membuat novel agak tersendat. Akan tetapi, bisa dipahami kalau mengembalikan novel Zoya Herawati sebagai sebuah transkripsi sebuah cerita tutur. Ini mirip pementasan wayang, di mana cerita dikonkretkan dengan penghadiran wayang (golek atau kulit) oleh si dalang, yang bebas berkomentar dan berimprovisasi. Teknik ini mempersyaratkan semua orang tahu pakem cerita, paham karakter wayang saat dalang menghadirkan cerita rekaan baru, karenanya apresiator bisa membedakan mana yang hanya komentar dan improvisasi dalang dan mana yang sesuai garis cerita.

Kondisi itu yang sebenarnya tidak terdapat pada novel Zoya Herawati. Sesuatu yang membuat pembaca terbata-bata. Sesuatu yang membuat pembaca jadi mirip tukang intip, yang cuma bisa menangkap bagian permukaan dari pembicaraan yang dilisankan, tanpa bisa memahami konteks pembicaraan yang cuma dipahami oleh orang-orang yang terlibat dan kini bertukar cerita. Mungkin di sana gunanya sebuah catatan kaki. Mungkin di sana gunanya "Kata Pengantar" yang dalam Derak-derak ditulis Lina Purwanti, Unair. Tanpa rambu ini, kita bisa menduga kalau setting novel ini terjadi pasca-1998, selepas huru-hara Reformasi, meski sebenarnya merujuk ke September 1965 setelah pemberontakan PKI yang gagal di Madiun.

**

NOVEL Larung bercerita tentang kegagalan gerakan kiri baru karena para simpatisannya --belum kader-- hidup dengan romantisme macho yang selalu butuh panggung, penonton perempuan, dan penaklukan. Sementara Derak-derak merujuk pada simpati anak muda yang sembrono oleh anggapan kalau corak peperangan telah berubah karena bantuan kemudahan teknologi dan adanya jaringan. Sehingga tak mau belajar dari sejarah, dengan cuma jadi si tukang intip tanpa mendalami konteks. Tidak mampu memahami kalau pertarungan ideologi itu tak pernah murni ideologik karena selalu dimasuki oleh tokoh-tokoh oportunis yang mencari keuntungan dengan memancing di air keruh.

Di titik ini, kapitalisme mungkin telah jadi nilai moral utama, yang berhasil mengubah insting setiap orang. Jadi si pengidap egoistik, yang bergaul dengan motif-motif keuntungan pribadi dan golongan, dan karenanya sangat liberalian --menganggap setiap hal potensial jadi komoditas yang bisa dijual atau ditarik fee jasa pelayanannya. Tapi kemenangan kapitalisme ini bermakna keruntuhan kemanusiaan. Celakanya, di Indonesia, pada saat bersamaan gerakan kiri--dari yang tekstualistik Marxisme, sampai ke agresif komunisme atau yang di level tengah sosialisme-- seperti dilumpuhkan. Lantas apakah jawaban semua itu ada dalam gerakan keagamaan?

Jawabannya jadi rumit karena pengerasan keagamaan, dalam Islam, terkadang cuma melahirkan fundamentalisme yang destruktif. Sepertinya kita tidak punya pilihan lain selain berenang di kolam kapitalisme, dan jadi ikan anomalistik yang tak sadar mengadopsi akomodasi palsu yang diciptakan pemilik modal dan kekuasaan di Barat. Memang.***

* Beni Setia, Pengarang

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Januari 2008

Khazanah: FLP dan Pendidikan Sastra

-- Kurniasih*

"FLP, Sastra Islam, dan Seni Tinggi" yang ditulis oleh Topik Mulyana (15/12/07) ditujukan untuk merespons "Wajah Sastra Islam" yang saya tulis. Sekadar informasi, tulisan tersebut adalah makalah pada diskusi Lembaga Pengkajian Islam, Ramadhan lalu, di Masjid Salman ITB. Informasi ini penting karena pada acara itu, audiensnya adalah mahasiswa sekaligus aktivis masjid. Beragam pendapat mengalir setelah saya membawakan makalah tersebut. Poin paling penting yang muncul saat itu adalah betapa mereka resah dengan buku fiksi Islam yang membanjir sedemikian rupa, juga saya.

Mengapa resah? Karena sastra Islam yang secara sejarah memang panjang itu, seperti ditulis Topik, tiba-tiba mengerucut hanya pada FLP. Oleh karena itu, saya memberi judul makalah tersebut "Wajah Sastra Islam". Wajah itu berarti bukan hanya hidung, tetapi ada mata, bibir, kening, pipi, dan lain-lain. Saya memperluasnya dengan tujuan mengingatkan bahwa sastra Islam itu meliputi pula sastra profetik dan sastra suluk (atau disebut pula sebagai sastra sufi).

Keresahan saya juga dipicu oleh liputan sebuah majalah perbukuan yang menampilkan tema sastra Islam, namun yang dibahas semata buku-buku yang bermerek FLP. Tentu saja hal itu bisa membodohi pembaca karena sastra Islam, sekali lagi, bukan hanya FLP, tetapi banyak jenis lainnya. Perjalanannya sudah sedemikian panjang. A. Teeuw dengan sangat meyakinkan menguraikan bahwa Hamzah Fansuri, sufi besar Sumatra pada paruh kedua abad ke-16, adalah sang pemula puisi Indonesia.

Namun, apabila ingin lebih memahami puisinya, bukan sekadar menikmati, diperlukan pengetahuan luas ihwal bahasa dan kebudayaan Arab-Parsi, dan lebih khusus lagi adalah aspek tasawufnya. Oleh karena itu, ketika diminta membawakan tema sastra Islam, saya merasa perlu untuk mengingatkan bahwa sastra Islam tidak bisa dikerucutkan pada satu bagian wajah saja, yang baru muncul pada tahun ’90-an itu.

Kaum elite dan demokratisasi pasar


Manusia punya berbagai peran dan identitas yang dijalaninya. Dia menjadi anak bagi orang tuanya, menjadi suami bagi istrinya dan sebaliknya, menjadi karyawan di kantornya, menjadi tetangga di lingkungannya, menjadi anggota di organisasinya, dan demikian seterusnya. Peran dan identitas seperti itu merupakan bagian dari identitas rizomatik. Gilles Deleuze & Claire Parnet menyatakan bahwa manusia, secara individual maupun kelompok, dibentuk oleh garis segmenter. Dia punya beraneka ragam peran dan identitas yang harus dijalaninya. Tidak tunggal atau monolitik.

Bagaimana dengan atribut kaum elite yang dinisbatkan kepada saya? Jauh-jauh hari, Wildan Yatim pernah menuliskan bahwa kaum terpelajar, pemuka masyarakat, dan pemerintahan adalah produk sistem pengajaran bahasa yang terbengkalai sejak zaman Jepang. Mereka adalah angkatan yang tak biasa membaca, tak kenal sastrawan, tidak mengikuti apa yang ditulis sastrawan. Wildan Yatim menyebut mereka sebagai kaum elite. Apakah saya kaum elite?

Saya pun manusia yang memiliki identitas garis segmenter. Sejak masih menjadi mahasiswi Sastra Inggris, saya diwajibkan membaca karya para sastrawan kanon. Setelah membacanya, saya diwajibkan berlatih membuat kritik sastra. Di luar buku wajib, sebagai perempuan yang butuh "teman berdialog", saya merambah ke N.H. Dini, Ayu Utami, Susanna Tamaro, Laksmi Pamuntjak, atau Milan Kundera. Atau ketika hidup terasa begitu mencekik, saya tak segan-segan melalap berbagai chiklit trendi seperti trilogi karya Sofia Kinsella, Helen Fielding atau Icha Rahmanti (karena saya tidak mengidap "arogansi elite terselubung" yang meremehkan chiklit dan teenlit).

Selain itu, entah kenapa kita sering merasa terganggu oleh hierarki. Padahal hidup itu sendiri telah memperlihatkan bahwa hierarki itu alamiah. Bahwa balita itu lebih muda dibandingkan dengan mayoritas pembaca Khazanah, bahwa Bill Gates jauh lebih kaya raya daripada mayoritas bangsa kita, dan sebagainya.

Namun, kaum feminis akan meradang ketika perempuan dikategorikan sebagai second sex. Edward Said memecah kebekuan kategorisasi antara Barat dan Timur. Kali ini Topik Mulyana tidak terima FLP dikategorikan sebagai bagian dari budaya massa atau gerakan industrialisasi. Toh hierarki itu tetap ada, sepaket dengan geliat resistensi di dalamnya.

Tak peduli atas nama demokratisasi pasar atau bahkan selera sekalipun, kalau kita berniat mengkaji, hierarki itu tetap saja ada. Tindakan yang harus dilakukan kemudian --apabila tidak setuju-- masing-masing pihak harus mau menegosiasikan apakah hierarki itu tepat atau tidak. Hal terpenting adalah argumentasi logis, bukan defensif. Sambil kita pun tetap kritis terhadap yang mengamini hierarki tersebut.

Kalau saya menyatakan setuju bahwa Ayat-Ayat Cinta merupakan bagian gerakan industrialisasi, saya punya alasannya. Toh saya juga yakin alasan yang sudah dituliskan dalam "Wajah Sastra Islam" itu tidak akan mengganggu angka royalti fantastis yang diterima sang pengarang senilai 100 juta rupiah per bulan.

Pengalaman tekstual dalam pendidikan sastra


Sebenarnya, ada hal mendasar yang patut membuat resah dalam dunia literasi kita saat ini. Asingnya buku atau karya sastra (serius) itu bukanlah tanpa kesalahan. Pengajaran sastra di sekolah-sekolah kita sering dikritik belum berjalan sesuai dengan harapan. Alergi terhadap sastra adalah bagian dari hal tersebut. Taufik Ismail pernah membuat wawancara dengan sejumlah orang dari berbagai negara untuk ditanya mengenai pengajaran sastra yang pernah diterimanya di sekolah. Ada 13 negara yang dijadikan sasaran. Fakta pengajaran sastra di Indonesia dibandingkan dengan sekolah di berbagai negara tersebut adalah bahwa siswa tidak punya keharusan membaca satu pun karya sampai tamat. Kategorisasi ciri-ciri aliran sastra hanya dijadikan hafalan semata, tanpa kewajiban untuk merasakan karya-karya sastra seutuhnya. Tentu saja akibatnya adalah apresiasi terhadap karya sastra sangat rendah.

Dalam film yang diangkat dari sebuah kisah nyata, "The Freedom Writer", anak-anak SMU yang liar, frustrasi, dianggap rusak, dan memusingkan guru-gurunya sekalipun tetap saja diperkenalkan pada karya-karya seperti Shakespeare, Virginia Woolf, atau James Joice sekalipun karena sistem pengajaran kesusastraan sudah sangat mapan. Sehingga karya-karya sastra yang oleh Topik dituding sebagai elite itu tetap dicicipi oleh mereka. Sehingga bila kemudian di luar sekolah mereka membaca buku sastra pop, mereka sudah mencicipi karya para sastrawan yang diakui sebagai kanon. Tidaklah masalah kalau mereka membaca Sidney Seldon karena karya Jane Austen pun sudah dibaca.

Dalam kanon sastra, terlepas dari politis atau tidak, memang terdapat genealogi keberkaryaan yang sangat jelas. Kita bisa mengerti kompleksitas batin manusia dari abad ke abad, masa ke masa, karena karya sastra itu menjadi rekamannya. Milan Kundera dalam Art of Novel menegaskan bahwa "Karya sastra sedikit demi sedikit menemukan berbagai macam eksistensi: bersama Cervantes dan yang sezamannya, karya sastra menyelidiki dunia petualangan; bersama Richardson, mulai dipelajari ‘apa yang terjadi di dalam’, menyingkap rahasia kehidupan perasaan; Balzac, menemukan keberakaran manusia dalam sejarah; Flaubert, mengeksploitasi daerah yang sebelumnya tak dikenal dalam kehidupan sehari-hari; dengan Tolstoy, ia memusatkan diri pada kekacauan irasional tingkah laku dan keputusan-keputusan manusia."

Semakin beragam karya sastra yang dibaca, maka geliat batin yang dialami oleh manusia bisa disaksikan, berbagai kompleksitas pengalaman bisa diraba, kemudian kita bisa memilih dengan bebas untuk berindentifikasi terhadapnya. Bahkan dalam chiklit dan teenlit sekalipun. Oleh karena itu, tentulah sangat meresahkan ketika masyarakat literasi kita hanya tahu mencicipi karya-karya yang sedang menjadi tren tanpa tahu bahwa di belakang sana, karya sastra yang menjadi puncak peradaban itu sedemikian kayanya. Bahwa dengan menoleh kepada sejarah, kita akan tahu bahwa kehidupan siapa pun jauh lebih kompleks ketimbang kisah (keagamaan) ala sinetron.

Belum berhasilnya pendidikan sastra di sekolah-sekolah pun diperparah dengan lompatan langsung dari praliterasi kepada posliterasi. Sebelum membaca menjadi kebiasaan yang terbentuk di masyarakat, televisi keburu merebut perhatian. Sehingga, media hiburan pun menjadi "bintang" yang diidamkan. Karya sastra keburu dicap "sulit" atau bahkan dianggap elite. Kemudian muncul kalangan baru yang nyinyir bahkan arogan. Masyarakat dibuai oleh kebahagiaan yang hanya terletak pada keberuntungan materil, harga diri, heroisme murahan, dan kedangkalan spiritualitas. Mereka dilatih memanjangkan angan-angan sambil menutup mata dari kehidupan nyata.

Menggalakkan membaca adalah satu hal yang penting, tetapi sekadar resisten terhadap aliran lain yang dicap hedonis dan materialis hanya akan berdampak pada ketiadaan visi untuk menghasilkan karya yang menginspirasi. Apabila kehadiran chiklit dan teenlit dirasa mencemaskan, merespons dengan berkarya sekadar untuk menandinginya hanya akan menjebak pada eksplorasi tak mendasar dan cangkokan. Eksistensinya akan menjadi bayang-bayang penanding saja, tidak untuk menampilkan atau mengeksplorasi kekayaan pengalaman batin manusia dan autentisitas sang pengarang. Karya apa pun yang ditujukan untuk (sekadar) menandingi keberadaan karya lain berarti abai pada aspek manusianya --padahal itulah yang utama.

Tidak ada yang mengatakan bahwa keberadaan buku-buku FLP itu merugikan sastra Indonesia. Tidak ada! Hal terpenting yang dibela di sini adalah sejauh mana karya-karya itu mampu membuka mata pembaca. Seberapa dalam nilai-nilai Islam yang ditawarkan di dalamnya. Kalau yang diutamakan adalah sebanyak-banyaknya pembaca yang hendak diraih, itu memang khas industri penerbit sebagai bagian budaya massa.

Kisah-kisah heroik buatan Hollywood, seperti Batman, Superman, Spiderman dan sebagainya, tetap punya keterbatasan dan sisi manusiawi. Kenapa tiba-tiba kita sekarang disodori oleh sosok sempurna sedemikian rupa? Ini tak beda dengan sinetron yang menampilkan puncak keberhasilan, bukan pada berdarah-darahnya pencapaiannya.

Kritik dianggap anti

Setiap penulis, dari zaman dulu hingga sekarang, tidak akan pernah sepi dari respons. Ia bisa dipuja atau dicaci. Pada satu masa Joseph Conrad dipuja-puja atas karya Heart of Darkness-nya. Kemudian muncullah Chinua Achebe yang menjabarkan bahwa karya Conrad tersebut sangat rasis. Sastrawan sekaliber Conrad saja mendapatkan kritik filosofis. Lalu mengapa kita begitu defensif terhadap kritik? Kalau tidak mau dikritik, jangan berkarya secara publik.

Nasib kritik sastra di negeri ini memang memusingkan sejak dulu. Kritik dianggap sebagai anti dan tidak konstruktif. Kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan, penguraian (analisis), dan penilaian (evaluasi) karya sastra.

Dalam kritik yang saya tulis, saya pun telah menganjurkan agar melihat kepada kompleksitas kisah para nabi yang jatuh bangun dan tak jarang diperintahkan Tuhan melakukan perbuatan ganjil di mata masyarakat. Namun, tampaknya pengenalan apa itu kritik sastra harus terus diupayakan, agar tidak dianggap sebagai tindakan tak bertanggung jawab.

Dalam masyarakat kapitalistik, materi dijadikan ukuran segalanya. Kritik dianggap tidak mendukung atau menghakimi. Pemikiran mendalam dianggap melangit, tidak memiliki nilai jual, dan sia-sia. Berbeda jauh dengan para pengarang besar yang hidupnya penuh dengan keresahan akan pemikiran dan kehidupan yang lebih manusiawi. Tolstoy, yang memimpikan tujuan sejati dirinya dalam hidup, memilih meninggalkan semua hasil ketenarannya menjadi seorang pengarang. Tolstoy meninggal dunia dengan membawa kekecewaan bila fiksi hanya dijadikan hiburan semata, bukan pada moralitas. Bagaimana dengan para penulis Muslim kontemporer?

* Kurniasih, Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Januari 2008

Friday, January 25, 2008

Wacana: Menjawab Kebutuhan Lewat Komunitas Sastra (Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)

-- Iwan Gunadi*

KALAU kita juga menghitung komunitas teater, atau komunitas seni lainnya, juga sering mengadakan kegiatan sastra, maka jumlah 'komunitas sastra' akan lebih banyak lagi. Maklum, jumlah aktivitas sastra seolah tak pernah menyusut. Penyelenggaranya tak hanya komunitas sastra, tapi juga komunitas seni yang lain atau bahkan komunitas nonseni yang punya perhatian atau minat terhadap sastra.

Apalagi, tak sedikit pekerja sastra yang juga berteater, berseni rupa, atau menggeluti, sekurangnya meminati cabang kesenian lain, berarati tak sedikit orang di luar pekerja sastra yang menggeluti atau sekurangnya meminati sastra. Kenyataan tersebut juga menambah deret panjang 'komunitas sastra'.

Sebagai bukti, tengok saja buku Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000. Dari 3.869 komunitas seni budaya di Indonesia yang berhasil dicacat hingga 1995, komunitas yang melakukan aktivitas sastra melebihi angka taksiran Melani tadi. Mereka bukan hanya komunitas sastra, tapi komunitas cabang kesenian yang lain, komunitas seni secara umum, atau bahkan komunitas budaya.

Data yang mencengangkan dapat dilihat pada hasil Susenas Model 2003 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS). Selama 1993-2003, BPS mencatat keberadaan 89.658 organisasi kesenian dari 26 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut meliputi organsasi kesenian di bidang musik, seni tari, seni rupa, karawitan, pedalangan, teater, hingga sastra.

Organisasi kesenian di bidang sastra mencapai 4.699 atau 5,24% dari jumlah total organisasi kesenian itu. Lima besar provinsi pemilik organisasi kesenian di bidang kesusastraan adalah Jawa Tengah (2.419), Jawa Timur (512), Sumatra Barat (472), Daerah Istimewa Yogyakarta (396), Bali (312), dan Bengkulu (232). Sejumlah provinsi hanya memiliki paling banyak empat organisasi kesenian di bidang sastra. Mereka adalah Sulawesi Utara (4), Sumatra Utara (3), Jambi (3), Irian Jaya (3), Sulawesi Tengah (2), Sulawesi Tenggara (2), dan Maluku (1).

Namun, data BPS itu tak menyebutkan angka untuk Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan. Apakah hal itu berarti bahwa tak ada organisasi kesenian di bidang sastra yang ditemukan BPS di kedua provinsi tersebut selama 1993-2003? Tak dapat dipastikan sebagaimana tak dapat dipastikan pula apa yang dimaksud dengan organisasi kesenian pada sensus nasional tersebut. Yang jelas, penelusuran saya menunjukkan fakta sebaliknya. Jumlah komunitas sastra yang dapat ditelusuri di Kalimantan Tengah memang sedikit, tapi di Sulawesi Selatan, jumlahnya lumayan banyak. Sebagian di antaranya sudah hadir selama rentang waktu survei BPS itu.

Kalau rentang waktunya diperpanjang hingga jauh ke belakang, misalnya sejak Chairil Anwar dan kawan-kawan menggelindingkan Gelanggang Seniman Merdeka pada 1949, kita tentu akan menemukan deret panjang komunitas sastra atau komunitas seni atau nonseni yang meminati sastra. Kalau mau dilacak lebih jauh lagi, tentu saja cikal-bakal komunitas sastra atau komunitas seni secara umum tak berhenti sampai pada upaya Chairil Anwar dan sejumlah koleganya itu.

Kita tentu dapat menduga, apa yang ditandai sebagai Angkatan Balai Pustaka tak mungkin muncul tanpa adanya dukungan komunitas sastra atau komunitas seni, walau mungkin kita belum pernah mendengar bahwa pada saat itu ada proklamasi kelahiran suatu komunitas sastra atau komunitas seni lengkap dengan nama dan orientasi perjuangannya. Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menggagas tradisi kesusastraan Melayu yang baru di Hindia Belanda di bawah pengaruh kebudayaan Barat untuk menandingi Angkatan Balai Pustaka, Takdir menyatakan pentingnya dibentuk organisasi pengarang yang siap mendukung dan menyebarluaskan gagasan itu.

Bahkan, sebelumnya, pada akhir abad ke-19, di Pulau Penyengat, Riau, sudah ada komunitas sastra lengkap dengan namanya, yakni Rusdiyah Klab, forum bersama untuk pengembangan sastra Melayu yang beranggotakan intelektual dan sastrawan Melayu. Demikian juga pada era kerajaan-kerajaan, kita sering mendengar mitos, atau fakta sejarah, bahwa para raja memiliki pujangga yang menulis berdasarkan keinginan raja. Artinya, di keraton pun, tanpa ada dukungan komunitas sastra, perangkat kerajaan itu tak akan bertahan lama. Belum lagi tradisi pembacaan karya sastra di hadapan khalayak lazim digelar sejak dulu. Jadi, komunitas sastra sesungguhnya bukan fenomena baru.

Runtutan sejarah


Kalau begitu, bagaimana persisnya runtutan sejarah komunitas sastra di negeri ini? Apa sesungguhnya komunitas sastra itu? Apa tujuan kehadiran mereka? Bagaimana bentuk organisasinya? Siapa saja anggotanya? Apa saja kegiatannya? Bagaimana pembiayaan kegiatannya?

Nah, dalam deretan panjang komunitas sastra tadi, banyak sastrawan berkarya. Mereka begitu bergairah menghasilkan karya sastra, terutama puisi. Bahkan, saking banyaknya, ada yang mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia sedang mengalami inflasi penyair dan booming puisi.

Karena banyak orang menciptakan puisi, predikat "penyair" pun disandang banyak orang. Boleh dikatakan, puisi, penyair, dan komunitas sastra, mengalami booming serempak selama 1990-an. Booming muncul lantaran adanya keterkaitan kuat di antara ketiganya.

Pemetaan yang dilakukan KSI tadi menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek saja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual. Forum Lingkar Pena (FLP) saja selama sepuluh tahun kiprahnya (1997-2007) pernah mengklaim telah menerbitkan sekitar 500 buku. Apalagi kalau digabung dengan buku-buku terbitan banyak komunitas lain dan pribadi-pribadi dalam banyak komunitas itu.

Bagaimana penyebaran buku-buku itu? Apakah kegiatan komunitas sastra hanya menerbitkan buku? Apakah karya sastra mereka berbeda dengan karya sastra yang dihasilkan pekerja sastra yang tidak terlibat dalam komunitas sastra? Tegasnya, adakah sastra komunitas itu?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang layak dijawab dalam seminar Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia yang diselenggarakan KSI di Kudus tadi. Saya akui, dalam cakupan yang lebih sempit, pertanyaan-pertanyaan seperti itu pernah dijawab pemetaan yang dilakukan KSI sebelumnya. Tapi, jawaban-jawaban itu hanya berlaku untuk komunitas-komunitas sastra di Jabotabek. Tidak untuk fenomena yang menasional.

Jawaban-jawaban itu pun belum mengakomodasi perkembangan-perkembangan setelah pemetaan itu dilakukan, seperti komunitas sibersastra. Nah, semoga seminar komunitas sastra itu mampu meluaskan cakupan sekaligus menindaklanjuti atau melengkapi jawaban-jawaban yang belum diberikan.

* Iwan Gunadi, Pemerhati komunitas sastra

Sumber: Republika, Minggu, 20 Januari 2008