Sunday, January 13, 2008

Persona: Amrih Widodo tentang Budaya Lokal dalam Wacana Global

-- Maria Hartiningsih

PERKEMBANGAN teknologi komunikasi dan mekanisme pasar budaya kapitalisme menyebabkan produksi, penyebaran, dan pemasaran barang-barang budaya milik masyarakat adat tak bisa lagi dikontrol dalam batas negara-bangsa.

Karena itu, harus dicari ruang, waktu, dan format untuk pelibatan sebanyak-banyaknya masyarakat adat dan komunitas lokal dalam proses produksi dan penyebarannya, agar pemilik asal produk itu tidak kehilangan Hak Cipta dan implikasi ekonomi yang ditimbulkannya," ujar Amrih Widodo (51).

Perbincangan di Jakarta pekan lalu itu terkait dengan komodifikasi dan penyebaran barang budaya seni tradisi Indonesia di pasar global, dihubungkan dengan kondisi ekonomi subsisten seniman tradisi.

Sebagai peneliti yang selama 20 tahun berkutat dengan isu seni tradisi dan seni pertunjukan, antropolog dari the Australian National University (ANU) di Canberra, Australia, ini mengatakan, perkembangan yang terjadi saat ini tampaknya tidak dibayangkan oleh mereka yang waktu itu terlibat dalam pembuatan produk budaya tersebut.

"Saya kira waktu itu intensinya murni preservasi, tak ada pikiran tentang pasar," ujar Amrih, "Pemasaran produk, apalagi lewat download, tidak terbayangkan."

Cepatnya perkembangan di pasar budaya global itu juga membuat pemerintah, para aktivis organisasi nonpemerintah, selain masyarakat daerah dan komunitas adat yang masih berkutat dengan soal representasi, gagap menyikapinya.

Menurut Amrih, wacana yang diangkat mengenai masalah ini sebenarnya berada pada dua aras, yakni auratic culture dan democratic culture, yang menjadi inti perdebatan para ahli teori modernitas.

"Adorno percaya bahwa makna berada pada saat produksi. Karena itu, ia mengutuk modernisasi. Bagi dia, keaslian terkait dengan auranya, dengan rohnya, yang dihidupi masyarakat di sekitarnya. Di sini pemahaman kebudayaan dan mekanismenya tak dipikirkan," ujar Amrih.

Sementara Walter Benjamin melihat makna pada konsumsi. Ketika suatu produk budaya keluar dari komunitasnya melalui reproduksi secara mekanis, artinya menjadi sangat lain. Itulah yang disebut sebagai democratic culture. "Hierarki dalam komunitas tidak ada lagi," sambungnya.

Pendapat Leo Ching lebih jauh lagi. Ilmuwan kajian kebudayaan Timur-Barat dari Duke University California menyatakan, di pasar budaya global, yang keluar dari komunitas bukan lagi seninya, tetapi "penanda" dari seni itu.

Inilah yang direproduksi oleh mekanisme komodifikasi kapitalisme. Seperti kata Amrih, "Jawa, Banyuwangi, Temu, dan lain-lain hanya sebagai referensi, tak terlibat dalam pertukaran komoditas budaya. Pasar itu adalah pasar dari penanda saja."

Penanda bahwa barang di suatu tempat punya referensi ke tempat lain, mungkin dengan Asmat di Papua, dengan Ainu di Jepang, dan lain-lain, dibutuhkan dalam struktur kapitalisme yang merasa memberi warna pada produk-produknya.

Penanda tak lagi berisi secara esensial apa yang disebut sebagai kesenian tradisi, sehingga ketika lagu-lagu dari suatu komunitas tradisi di-download, lagu itu tidak mengacu lagi pada komunitas asalnya. "Mau dipakai untuk apa tak ada hubungannya dengan bagaimana seharusnya dipakai," lanjut Amrih.

Konteks sejarah

Menurut Amrih, isu masyarakat adat menguat dalam konteks geopolitik dan geo-ekonomi global. Globalisasi ekonomi dan politik yang semakin masif mulai akhir tahun 1980-an membuat konsep negara-bangsa yang berjaya sejak setelah Perang Dunia II, melemah.

Salah satu implikasi adalah munculnya gerakan sosial baru yang tidak lagi mendasarkan pada kekuatan-kekuatan klasik seperti kelas, tetapi lebih mengandalkan pada teknologi komunikasi sehingga gerakan-gerakan di Kalimantan, Afrika, dan Amerika Latin dapat saling berhubungan.

Itulah saat di mana aktivis NGO mencoba membantu masyarakat adat, masyarakat terpencil dan minoritas menyetarakan kekuatan yang bisa dipakai untuk berurusan dengan dua kekuatan besar, yaitu negara dan modal, seiring merangseknya korporasi transnasional dan multinasional (TNCs dan MNCs). Konteksnya adalah perebutan kekuatan politik dan sumber daya.

"Orang-orang yang genuinely concern terhadap pemahaman pluralitas negara-bangsa berupaya memperkenalkan tradisi dan budaya masing-masing lokalitas ketika semua bagian dari negara Indonesia terlanda modernitas," ujar Amrih.

Upaya itu, pada tingkat yang cukup tinggi adalah preservasi, selain bertujuan membuat masing-masing kelompok budaya dalam negara-bangsa itu berkomunikasi. Prakarsa Gubernur DKI Ali Sadikin membuat Taman Ismail Marzuki pada tahun 1970-an merupakan bagian dari upaya itu. "Kemudian juga lembaga internasional seperti the Ford Foundation yang membuat proyek filantropi musik daerah," lanjutnya.

Bagaimana menghubungkan proyek filantropi dengan pasar global?

Proyek-proyek filantropi itu sebenarnya tidak membayangkan produk mereka akan menjadi komoditas pasar karena ide awalnya bukan itu. Mitra mereka, yakni musisi-musisi lokal yang bekerja dengan mereka juga tidak membayangkan itu.

Tetapi yang terjadi, di Indonesia khususnya, tampak jelas berlakunya semacam dual economy. Masyarakat umum masih hidup di tingkat subsisten, sedangkan lapisan ekonomi lain, yaitu ekspatriat dan orang-orang Indonesia yang menjadi bagiannya, masuk ke dalam ekonomi internasional, ekonomi negara maju.

Intensi-intensi filantropis, penyelamatan tradisi dan budaya bekerja di dalam dua sistem ini. Dari luar akan mudah menimbulkan asumsi, bahwa yang satu hidup sangat layak dengan sumber daya tak terbatas, sementara seniman, di mana pun, apalagi di Indonesia, bukan sebuah proses permanen. Penari tayub, misalnya, kalau sudah berumur 30 tahun akan semakin sulit bersaing.

Mencari jalan keluar

Lalu bagaimana implikasi penyebaran produk budaya lokal di pasar global?

"Persoalannya adalah bagaimana kita berpacu dengan kecepatan komunikasi di pasar budaya global. Ini tempat di mana Hak Cipta sangat berguna," tegas Amrih, "Tugas jurnalis dan peneliti adalah mengingatkan produk dan asalnya, karena kalau secara mekanis direproduksi, hubungan itu tak ada lagi."

Caranya?

Ada dua jalur. Yang satu terkait dengan implikasi moneternya, sedangkan yang lain lebih ke indikasi, semacam menghidupkan kembali auratic culture, meskipun hanya pada tahap persepsi. Ada semacam Hak Budaya dan Hak Cipta.

Lagu-lagu Gandrung Banyuwangi yang diciptakan Temu, misalnya. Ini seharusnya dipandu oleh pemerintah maupun masyarakat seni pertunjukan, untuk menghubungkan bahwa pengarangnya adalah Temu, sehingga Temu juga merasakan bahwa ia pemiliknya. Sebaliknya mereka yang men-download juga tahu, itu punya Temu. Ini menciptakan sebuah wacana melalui media, melalui teknologi yang menghubungkan pencipta dan produknya.

Karena ada implikasi moneternya, maka seharusnya ada royalti dan lain-lain yang harus dikembalikan pada si pencipta. Untuk itu harus ada kerja sama antara lembaga kita, masyarakat seni pertunjukan dan kelompok penekan seperti peneliti dan jurnalis.

Saya sudah bicara tentang gerakan sosial baru yang melibatkan berbagai institusi di berbagai tingkatan dan tempat. Jadi garis perjuangannya harus lewat berbagai cara dan jalan.

Dalam kasus Gandrung Banyuwangi, misalnya, dapat dilakukan pressure terhadap Smithsonian yang proyeknya dikerjakan the Ford Foundation di Indonesia, lalu persuasi terhadap mereka yang terlibat di sini, kemudian juga komunitas seni pertunjukan di Indonesia.

Tetapi yang terpenting, kodifikasi mengenai Hak Budaya dan Hak Cipta harus dibikin dulu. Tetapi gagasan kodifikasi dari Hak Budaya dan Hak Cipta itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi melindungi, tetapi di sisi lain bisa terjadi esensialisasi identitas berdasarkan etnisitas dan berpotensi memunculkan etnonasionalisme.

Pada saat bersamaan, harus secara aktif mencari ruang, waktu, dan format bagi pelibatan sebanyak mungkin masyarakat lokal pada tingkat produksi. Dengan demikian, yang terpenting bukan produknya, melainkan prosesnya, yakni keterlibatan mereka ketika berproduksi, dan sebanyak-banyaknya terlibat dalam wacana global, sehingga mereka tak lagi menjadi hanya obyek yang dibayar seperti dalam proyek filantropi.

Jangan Meratapi Seni Tradisi

Setelah hampir 20 tahun mengikuti masyarakat Samin, Amrih mengamati masyarakat Samin berjalan jauh lebih cepat, lebih tahan, lebih elastis, dan lebih kuat dibandingkan bayangan banyak orang.

Dalam salah satu karyanya, "The Indigenous People Shoots Back", ia menunjukkan bagaimana masyarakat adat dapat berbicara secara setara di arena publik dengan menggunakan bahasa dan teknologi yang biasa dipakai untuk membicarakan dan mewakili (yang berarti menguasai) mereka. Judul tulisan itu merupakan plesetan dari judul buku ahli kajian post-kolonial, Bill Ascroft, The Empire Strikes Back.

Amrih menunjukkan proses pembuatan film dokumenter mengenai masyarakat Samin, yang merupakan bagian dari proyek pelatihan pembuatan film dokumenter Indocs untuk anak-anak muda. "Idenya mirip pembuatan musik daerah oleh Smithsonian," ujar Amrih.

Karena menghormati hak kultural masyarakat Samin, selama 1,5 bulan, Sobirin, anak muda yang ingin membuat film tentang masyarakat Samin itu bernegosiasi untuk mendapatkan izin. Kata Amrih, proses itu kalau direkam dapat menjadi dokumenter tersendiri.

"Ia mendapati masyarakat Samin bukan sebagai masyarakat komunal dengan hak-hak komunal seperti yang digambarkan. Ia harus berbicara dengan setiap individu karena hak individu sangat penting di dalam masyarakat yang dianggap komunal itu," lanjut Amrih.

Penemuan ini sangat mencerahkan karena memberikan pemahaman baru mengenai masyarakat lokal yang masyarakat adat yang selalu digambarkan sebagai anti modernitas, atau cenderung menentang modernitas dan menolak barang-barang teknologi baru.

"Kita diajari oleh orang Samin untuk menyikapi modernitas dalam tingkatan abstrak maupun barang-barang teknologi," kata Amrih. "Aktivis kerja budaya dari komunitas Samin, Gunretno, mengatakan, masyarakat adat sebenarnya tak pernah lepas nasibnya sebagai obyek media, selain obyek pemerintah."

Karena itu, mereka mau merekam sendiri agar representasi mereka tak dikontrol orang lain.

Ketika film hendak dibuat, masyarakat ikut dalam seluruh proses, menjadi produser, menentukan story line, sampai pengambilan gambar, karena setahun sebelumnya mereka sudah memiliki kamera digital.

Persoalannya, ketika film Kulo Ndiko Sami selesai dibuat, CD yang sudah jadi, disediakan untuk dibeli siapa saja. "Lakunya tak banyak, tetapi fakta bahwa orang Samin tak punya kontrol terhadap distribusi ini memperlihatkan bagaimana sistem kapitalisme memisahkan mereka dari mekanisme yang ada," sambung Amrih.

Itu sifat alamiah dari kapitalisme ya?

Begini, filantropi sebenarnya adalah bagian dari kapitalisme. Tak ada orang yang bisa melepaskan dari kapitalisme saat ini. Kalau mau cari alternatif, pada awalnya bisa terjadi, itu pun hanya pada tingkat simbolik. Tetapi kemudian struktur ekonomi kapitalisme mencaploknya lagi.

Karena itu kapitalisme tak cari musuh. Diversifikasi produk justru membantu berkembangnya kapitalisme, dan diversifikasi itu memenuhi segala jenis kebutuhan, termasuk kebutuhan dari ideologi yang menolak kapitalisme.

Kapitalisme sekarang ini tidak galak, baunya harum, ideologinya sangat benar, karena sepertinya berpihak pada yang lemah dan dilemahkan. Tetapi sebenarnya jahatnya sama, karena esensi kapitalisme adalah eksploitasi. Celakanya kita merasa punya ruang, padahal ruang itu hanya pada tingkat simbolis, oposisi simbolis. (MH)

Nama: Amrih Widodo

Tempat dan Tanggal Lahir: Wonogiri, 15 September 1956

Pekerjaan: Dosen tetap pada Departemen Kajian Asia, Australian National University, Canberra, Australia, mengajar mata kuliah kebudayaan pop di Asia Tenggara, seni pertunjukan Asia, bahasa dan kebudayaan Indonesia.

Istri: dr Inez Nimpuno MA, MPS

Anak: Kilau Setanggi Timur (13)


Sumber: Kompas, Minggu, 13 Januari 2008

No comments: