KEKAYAAN tradisi Indonesia yang tersebar dari Sabang hingga Merauke terancam punah. Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film (NBSF), Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bersama Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) pun memberikan penghargaan kepada 27 maestro seni tradisional, berupa insentif untuk mentransfer ilmu mereka pada generasi muda.
"Penghargaan ini didasari oleh suatu keprihatinan, bahwa negara kita yang begitu luas dan memiliki banyak maestro tradisi, mulai kehilangan mereka satu persatu, karena mereka meninggal dunia," kata Dirjen NBSF, Depbudpar, Dr Mukhlis Paeni di Jakarta, akhir pekan lalu.
Penghargaan ini, jelas Mukhlis, berupa insentif sebesar Rp 1 juta per bulan. Insentif tersebut merupakan honorarium yang akan diberikan selama mereka mampu mengajarkan keahliannya kepada generasi muda di sepanjang sisa hidup mereka.
"Dengan upaya mentransfer ilmu mereka pada generasi muda, diharapkan seni tradisi kita dapat terus ada dan kelak tidak ikut punah seiring dengan kepergian para maestro ke hadapan Tuhan," ungkapnya.
Menurut Mukhlis, insentif yang diberikan tersebut dimaksudkan untuk membantu biaya hidup para maestro. Dengan demikian mereka dapat lebih fokus dalam mengajarkan ilmu mereka pada generasi muda.
Mukhlis melanjutkan, sebagian maestro memiliki sanggar di rumahnya sehingga mereka dapat mengajar di sana. Ada juga yang mentransfer ilmunya dengan kerap tampil di depan publik.
"Berbagai sekolah, kampus, maupun lembaga swadaya masyarakat dan institusi lainnya di daerah tersebut dapat memanfaatkan keahlian mereka untuk mengajarkan seni tradisi yang mereka kuasai," urainya.
Mukhlis mengatakan, selain memberikan penghargaan ini setiap tahun, Depbudpar bersama ATL juga melakukan dokumentasi dengan merekam keahlian para maestro. Selain itu juga dilakukan inventarisasi terhadap beragam seni tradisi kepada Direktorat Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa.
"Saat ini kita sudah mendaftarkan lebih dari 2000 lagu-lagu rakyat daerah Indonesia. Serta ribuan tarian dan seni lainnya yang belum terdaftar. Kita akan terus berupaya mendaftarkan hak cipta dari seni dan budaya yang kita miliki, agar tidak dicaplok bangsa lain," urainya.
Dari ribuan seni dan budaya yang dimiliki Indonesia, jelas Mukhlis, saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 300 - 400 orang maestro seni tradisi. Sebab, banyak di antara para ahli seni tradisi tersebut telah meninggal dunia.
"Maestro yang masih hidup pun rata-rata usianya sudah lanjut, sehingga upaya yang kita lakukan ini berpacu dengan waktu," ujarnya.
Para ahli seni tradisi yang dinilai pantas mendapatkan penghargaan, kata Mukhlis, adalah mereka yang memenuhi kriteria, yaitu seni dan tradisi yang dikuasai sudah langka, mereka menekuni seni tradisi tersebut dalam kurun waktu minimal 20 tahun.
"Usia maestro juga harus sudah mencapai 50 tahun atau lebih, dan mereka siap untuk mewarisi seni tradisi yang mereka kuasai. Penyebaran geografis, jadi para maestro berasal dari berbagai daerah di Indonesia," ungkapnya.
Kriteria terakhir, kata Mukhlis, maestro tersebut dinilai perlu dibantu dalam hal ekonomi, dengan demikian penghargaan yang diberikan akan membantu mereka untuk fokus pada upaya mentrasfer ilmunya.
"Selain itu, juga akan dilihat seberapa besar pengaruh sang maestro pada masyarakat sekitar dalam hal pengembangan seni tradusi yang ia kuasai," tandasnya.
Di tempat yang sama, Ketua ATL, Dr Pudentia, MPSS, MA, mengatakan, penghargaan kepada maestro seni tradisi dimaksudkan untuk mencegah kepunahan suatu jenis kebudayaan Indonesia, khususnya seni tradisional.
"Mengingat keberadaan maestro seni tradisi Indonesia kian lama kian berkurang. Penghargaan ini berarti pengakuan konkrit atas peran tradisi dalam membangun peradaban Indonesia," katanya.
Penghargaan yang baru pertama kali diberikan ini, kata Pudentia, diserahkan pada 27 seniman tradisi, yaitu Abdullah Abdul Rahman (61 tahun) penari asal Aceh Timur, Ismail Saroeng (61 tahub) menguasai musik serunai dari Banda Aceh.
Dari Sumatera Utara, penghargaan diberikan pada Alistar Nainggolan (65 tahun) menguasai musik tradisi Batak dari Pematang Siantar, Zulkaidah Boru Harahap (65 tahun) seniman opera Batak, Pematang Siantar, Sumatera Utara, Ibrahim Ahmad (61 tahun), seniman wayang bangsawan, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.
Selanjutnya HM Ali Ahmad (60 tahun) seniman pantun, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Sawir St.Sati (60 tahun) seniman syair dan musik, Padang Panjang, Sumatera Barat, Islamidar (60 tahun) seniman Sampelong, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat.
Penghargaan ini juga diberikan pada Salihin (65 tahun) pemantun gitar, Palembang, Sumatera Selatan, Saidi Kamaludin (65 tahun) seniman dulmuluk, Palembang, Sumatera Selatan, Bodong (70 tahun) seniman topeng Betawi, DKI Jakarta, H Surya Bonang (56 tahun) seniman Wayang Betawi, DKI Jakarta.
Penyanyi klasik gambang kromong asal Tangerang, Banten, Encim Masnah (75 tahun) juga mendapat penghargaan ini, bersama Dalang Taham (72 tahun) seniman Wayang Cirebon, Indramayu, Jawa Barat, dan lain-lain. [Y-6]
Sumber: Suara Pembaruan, 2 Januari 2008
No comments:
Post a Comment