Jakarta, Kompas - Kebudayaan sering diartikan secara sempit dengan pendekatan birokratis yang memaknainya sebagai adat-istiadat dan kesenian semata-mata. Tetapi, bentuk-bentuk ekspresi intelektual seperti pemikiran filsafat dan keagamaan, wacana ilmiah, dan kesusastraan luput dari perhatian.
Demikian diungkapkan Abdul Hadi WM dalam pidato kebudayaan awal tahun 2008 berjudul "Kebudayaan, Kekuasaan, dan Krisis" di Jakarta pada Rabu (9/1) malam.
Menurut dia, persoalan terkait kebudayaan juga dinilai kurang menarik dan aktual dibandingkan dengan persoalan yang menyangkut kehidupan ekonomi atau politik. Akibatnya, tujuan kebudayaan untuk mengangkat martabat bangsa dengan meninggikan kecerdasan, kebajikan, dan kreativitas masyarakat menjadi terabaikan yang mengarah pada krisis kebudayaan yang akut.
Lembaga pendidikan, lanjutnya, tak bisa hanya mementingkan ilmu pasti dan pengetahuan alam. Ilmu-ilmu humaniora seperti sejarah, bahasa, sejarah kebudayaan, antropologi, dan kesusastraan juga memainkan peranan penting.
"Pemerintah harus menyusun dan melaksanakan strategi dan politik kebudayaan yang bebas dari kepentingan politik praktis dan sesaat," katanya.
Pidato yang disampaikan penyair sufistik sekaligus dosen falsafah dan agama Universitas Paramadina ini merupakan rangkaian dari perayaan 10 tahun dan peluncuran konfigurasi logo baru perguruan tinggi yang didirikan tokoh Muslim (alm) Nurcholis Madjid alias Cak Nur itu.
Menurut dia, bangsa ini bercita-cita menjadi bangsa religius, humanis, bersatu, demokratis, dan berkeadilan sosial dengan mengakui kenyataan antropologis bangsa yang multietnik, multibudaya, dan multiagama.
"Tetapi kenyataan yang ada, sampai sekarang bangsa ini belum mampu menghentikan kebiasaan membuat dikotomi seperti dikotomi kebudayaan modern dan tradisional, nasional dan daerah, kosmopolitanisme dan modernisme, nasionalitas dan etnisitas, Islam dan nasionalis, Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya," kata Abdul.
Guna menyelesaikan krisis kebudayaan bangsa ini, Abdul mengatakan, pemimpin harus mampu berperan sebagai negarawan dan legislator yang baik, dan pertama-tama harus menciptakan masyarakat madani. "Kebudayaan berkembang jika ada suasana komunikatif dalam masyarakat, suasana dialog yang bebas, yang hanya mungkin jika ada jaminan hukum dan politik dari negara," kata Abdul. (ELN)
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Januari 2008
No comments:
Post a Comment