Sunday, January 20, 2008

Buku: Budi Darma dan Pisau Bermata Dua

-- Lan Fang*

MENANDAI 70 tahun kiprah Budi Darma di belantika bahasa dan sastra—juga seni dan budaya—Universitas Negeri Surabaya bekerja sama dengan JP Books menerbitkan Bahasa, Sastra dan Budi Darma.

Bila selama ini Budi Darma dikenal piawai menjungkirbalikkan tokoh-tokohnya dalam Olenka, Orang- Orang Bloomington, dan prosa-prosanya yang lain. Tetapi di dalam buku ini, ia tampil sedikit berbeda. Pembaca akan dibawa ke dalam kejernihan berpikir dan kerangka logika seseorang yang sudah sekian lama malang melintang menggauli bahasa, sastra sekaligus seni dan budaya.

Dari total 242 halaman yang berisi 15 esai Budi Darma, ada sebuah alinea yang menjadi titik berat pembacaan saya. Suatu faktor yang sering dilupakan dalam hampir semua aspek kehidupan adalah faktor intuisi, demikian pula dalam kreativitas. Dan intuisi adalah bakat. Pendidikan atau latihan hanya bersifat menambah ketajaman intuisi (hal 109). Alinea ini terdapat pada esainya yang berjudul Kritik Sastra dan Karya Sastra.

Rupanya, faktor intuisi adalah hal yang penting bagi Budi Darma. Kesan ini semakin terasa kuat ketika membaca Kisah Sebuah Odise. Esai ini yang dipergunakan sebagai pidato pengukuhannya sebagai guru besar sastra di IKIP Surabaya (sekarang Unesa). Yang ditulisnya pada 21 Agustus 1990 dan dibaca 14 Mei 1991. Ia menulis bahwa kekuatan intuitif pada hakikatnya adalah transendental, yaitu kekuatan common sense atau akal sehat tanpa penggunaan seperangkat teori dalam pengertian yang formal (hal 73).

Tidak tanggung-tanggung, diambilnya pesulap spektakuler Houdini dan petinju legendaris, Muhammad Ali, sebagai contoh para pelaku dunia kreativitas. Bahwa kedua orang itu tidak sekadar menggunakan teori sebagai teori dalam pengertian formal. Tetapi, mereka membuka diri terhadap kehidupan dan mempelajari hal-hal lain di luar dunia sulap dan tinju. Maka hakikat kreativitas bagi Budi Darma adalah menemukan sambil berjalan, tidak dapat dibatasi oleh kerumunan teori.

Berangkat dari pentingnya intuisi, maka dapat ditarik satu simpul. Bahwa titik berat sastra (seni) adalah penghayatan. Dan untuk ini dituntut kepekaan yang tinggi. Dengan penghayatan dan kepekaan, maka seorang pelaku sastra (seni) akan mempunyai daya serap yang tinggi terhadap segala unsur kehidupan. Karena di dalam unsur kehidupan itu terkandung realita.

Akan tetapi, proses kreatif tidak hanya berhenti pada daya serap. Dibutuhkan daya susun untuk merancang segala aspek ke dalam satu grand design kehidupan yang utuh. Bila bagi seorang perupa, di sinilah ia menumpahkan garis dan warna. Untuk seorang musikus, pada area ini ia menata bunyi menjadi satu komposisi. Dan bagi sastrawan, tidak lain menjabarkan tema, plot, karakterisasi, konflik, dan lainnya ke dalam satu kebulatan abstraksi kehidupan.

Maka rasanya wajar bila Budi Darma menyamakan pekerja seni yang baik pada dasarnya juga intelektual yang baik. Karena proses kreatif seorang seniman atau pun seorang intelektual, sama- sama tidak pernah mencapai tanda titik. Selalu berada pada tanda koma atau tanda tanya. Mereka selalu bergumul dalam proses mencari, belajar, dan terus berkembang. Dan di dalam pencarian, pembelajaran, dan perkembangan itu, teori bukan lagi sekadar teori dalam arti formal. Dengan daya serap intuisi dan daya susun intelektual yang baik, maka sebuah teori bisa menciptakan teori baru. Seperti itulah, sebuah karya sastra atau karya seni lainnya, juga bisa beranak pinak untuk melahirkan karya sastra atau karya seni lainnya.

Kejernihan logika

Lalu apakah bila telah memiliki daya serap dan daya susun, maka syarat sebagai seorang seniman yang intelektual sudah terpenuhi? Ternyata Budi Darma masih menambahkan satu komponen lagi, yaitu daya seleksi.

Begitu banyak yang bisa kita serap. Dan dari yang kita serap maka kita mempunyai materi yang cukup untuk menyusun sebuah grand design. Tetapi tidak semua materi bisa dipergunakan untuk merancang bangun. Misalnya, untuk membuat sebuah rumah. Kita harus memilih semen dan pasir. Bukan memakai gula dan tepung terigu.

Di sinilah diperlukan kejernihan logika sebagai daya seleksi. Menurut Budi Darma, logika adalah gagasan. Bukan tindakan. Dan pasti ada banyak sekali gagasan yang berseliweran menyerbu kepala manusia. Kejernihan logika membantu daya seleksi untuk berpikir kritis, memilah-milah persoalan. Lalu mengorganisasikan gerak pikiran untuk memasukkan konsep-konsep yang ada menjadi satu paduan yang harmonis.

Dalam hal ini, kita kerap menemukan ada orang yang pandai berbicara tetapi tidak mampu menulis. Atau sebaliknya, bisa menulis tetapi tidak pandai berbicara. Atau bahkan baik berbicara maupun menulis sama ruwetnya.

Sama halnya seperti kebanyakan orangtua yang lebih bangga ketika nilai matematika anaknya bagus dibandingkan dengan bila nilai bahasanya yang bagus. Bahkan beranggapan bahwa anak yang nilai matematikanya bagus lebih pandai daripada anak yang nilai bahasanya bagus.

Padahal semua itu sebenarnya mempunyai satu poros yang sama.

Bagi Budi Darma, baik bahasa ataupun matematika adalah logika. Sehingga barangsiapa logikanya buruk, maka kemampuan matematika dan bahasanya pun buruk. Kekurangmampuan menggunakan bahasa sebenarnya terletak pada kekurangmampuan menggunakan logika. Tetapi Budi Darma tidak menjamin bahwa orang yang dapat mempergunakan bahasa dengan baik adalah orang yang mempunyai logika yang baik pula. Ia juga tidak menutup kemungkinan bahwa ada kemungkinan tulisan yang menggunakan bahasa dengan baik tetapi tidak mencerminkan pikiran yang cemerlang. Dan sebaliknya bisa saja tulisan yang berwibawa justru belum tentu memakai penggunaan bahasa yang benar.

Setelah menggunakan intuisi sebagai daya serap, intelektualitas sebagai daya rancang dan kejernihan logika sebagai daya seleksi, maka Budi Darma mengunci kita pada satu kesimpulan. Bila diibaratkan seorang pedagang, maka semua itu adalah modal. Hasil yang didapat dari semua itu adalah kemampuan analisa yang baik. Dan analisa yang baik akan tertuang dalam tulisan dengan bahasa yang berfungsi baik, lincah, dan tidak kaku. Dengan kata lain, pokok-pokok pemikiran bisa sampai kepada sasarannya. Inilah yang mencerminkan kecemerlangan otak penulisnya.

Pisau bermata dua


Sublimitas yang dialami pengarang sering sangat abstrak. Karena itu, pengarang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali lari kepada dirinya sendiri (hal 113).

Apakah karena itu, maka sudah menjadi ciri khas tulisan Budi Darma selalu bermain-main dengan pisau bermata dua? Ini tidak saja bisa ditemukan dalam jumpalitan tokoh-tokoh prosanya. Tetapi juga dalam tulisan esai- esainya yang terangkum dalam buku ini.

Budi Darma bukan saja piawai mengupas teori tetapi juga lincah mengocok kata-kata. Pembaca tidak diajak begitu saja memasuki area abu-abu. Tidak sekadar menandai hitam atau putih. Bukan hanya membaca kritik sastra atau karya sastra, kualitas atau popularitas, bentuk atau isi, matematika atau bahasa, ilmu atau seni, teori deduktif atau induktif, nilai intrinsik atau nilai ekstrinsik, obyek atau subyek. Yang selama ini menjadi perdebatan klasik dan klise dengan jawaban sebenarnya yang itu-itu juga. Tetapi pembaca seakan juga diajak bermain egrang. Berusaha menimbang- nimbang, mana yang mana, dari semua itu, di mana titik beratnya, untuk mendapatkan keseimbangan.

Budi Darma dalam buku ini mengatakan menulis itu sulit. Sedangkan Arswendo Atmowiloto menulis Mengarang Itu Gampang. Lantas saya tidak bermaksud menyulit-nyulitkan Budi Darma atau menggampang-gampangkan Arswendo Atmowiloto. Atau kemudian menyulit- nyulitkan menulis dan menggampang-gampangkan mengarang.

Terlepas dari ada beberapa ejaan yang luput dari koreksi editor, secara keseluruhan, saya rasa buku ini memang perlu dibaca. Bukan saja oleh para akademisi, guru-guru bahasa, para sastrawan, tetapi juga para peminat yang lain. Karena setelah membaca buku ini, kita akan tahu dari pisau bermata dua itu, matanya yang mana akan menikam dada yang sebelah mana.

* Lan Fang, penulis tinggal di Surabaya

Sumber: Kompas, Minggu, 20 Januari 2008

No comments: