-- Beni Setia*
ADA kesejajaran antara novel Zoya Herawati, Derak-derak (Ombak, 2005), dengan novel Ayu Utami, Larung (Gramedia, 2001), yang mencoba memotret perjuangan wanita kiri pada periode 1965, setelah gerakan kiri sebelumnya gagal. Celakanya, gerakan kiri ini pun gagal dan hanya melahirkan sosok pejuang wanita yang terpaksa tiarap, memakai identitas semu dan menunggu kebangkitan. Apakah ada gerakan kiri baru? Jawabannya ada, dan terbukti gagal lagi.
Yang membedakannya mungkin teknik pengungkapannya. Ayu Utami lebih simbolis dengan memilih Calon Arang, sebagai si antikemapanan yang membuat ajaran tandingan pada ajaran resmi (Mpu Barada) di zaman Airlangga. Yang dikhianati oleh anaknya, yang dipikat oleh cinta palsu murid Mpu Baradah, Mpu Bahula, yang membuatnya menyesal dan diam-diam undur sebagai Ratna Manjali yang berproses jadi Calon Arang baru. Sedikitnya ada puisi di sana, yang membuat Larung terpenggal, distortif saat digabungkan dengan prosa tentang gerakan kiri baru yang gagal.
Sementara Zoya Herawati real bercerita --meski tekniknya unik-- tentang seorang si Sulung yang orang tuanya menjadi korban pembersihan rezim militer karena pemberontakan kiri yang gagal. Tumbuh menjadi yatim yang mendendam, disubversi gerakan kiri baru, dan mendapat fasilitas pengaderan internasional karena sejak kecil didik ayahnya untuk jadi pejuang sosialis. Menjadi kader yang turun ke daerah, sebelum ditangkap dan dibantai. Akan tetapi, ia selamat dan hidup dengan identitas baru, bulik--seorang wanita Jawa pinggiran yang cuma mengabdi, padahal ia berhasil mengubah Parti, sahaya priyayi, jadi manusia baru, yang sejajar tanpa jadi kiri.
Sama seperti Larung, dalam Derak-derak ini, Zoya Herawati bercerita tentang gerakan kiri baru dengan basis kampus dan bukan kader di pinggiran, yang berkecambah dan gagal. Sama seperti Ayu Utami, Zoya Herawati pun bercerita tentang ideologi (kiri) macho yang romantis, yang (kembali) gagal. Apakah gerakan kiri tak bisa dilakukan dengan teknik yang lebih feminis dan keibuan? Bila mungkin, macam apa manifestasi gerakan kiri baru itu, yang kini dilancarkan tanpa agitasi dan propaganda itu?
**
KALAU teknik penceritaan Ayu Utami lebih simbolis puitis dengan balutan prosa semidiary sehingga Larung terkesan pecah, dan tak utuh seperti Saman --yang fragmentaris. Sementara itu, teknik penceritaan Zoya Herawati dalam Derak-derak lebih rumit meski sebenarnya sangat tradisional. Mungkin perbedaan itu disebabkan pilihan dalam merekat data-data fragmentaris, di mana Ayu Utami lebih merujuk pada suspens dan pornoaksi, sedangkan Zoya Herawati lebih pada agitasi politik meski kemungkinan ini diciptakannya sekadar buat menggoda dan bukan mengukuhkan --lihat "Dari Pengarang". Bukankah tren sastra Indonesia kini lebih pada godaan seksualitas? Kenapa tak melakukan godaan ideologis?
Meski keduanya memakai teknik penceritaan point of view orang ketiga sehingga bisa bebas menggali pikiran-pikiran tokoh novel yang ditulisnya, Zoya Herawati sesungguhnya lebih tradisional dan unik. Kenapa? Karena Zoya lebih sadar menghadirkan dirinya, yang dalam novel itu ditulis sebagai "aku" atau "Aku", untuk berdiskusi dan mengadili tokoh-tokoh yang dihadirkannya. Dari sekadar Nyono, George, Sulung, Kendro, Bendara Agung, Parti, Jendral Ru, Kiai Fakir, atau cuma pelaksana setingkat pimpinan Dandim dan Polwil, dan seterusnya. Mereka ditanya konsistensinya. Mereka ditanya nurani kemanusiaannya.
Teknik ini, yang dipilih Zoya untuk menguji motif tindakan setiap orang --yang cenderung egoistik cari untung penuh vested interest-- membuat novel agak tersendat. Akan tetapi, bisa dipahami kalau mengembalikan novel Zoya Herawati sebagai sebuah transkripsi sebuah cerita tutur. Ini mirip pementasan wayang, di mana cerita dikonkretkan dengan penghadiran wayang (golek atau kulit) oleh si dalang, yang bebas berkomentar dan berimprovisasi. Teknik ini mempersyaratkan semua orang tahu pakem cerita, paham karakter wayang saat dalang menghadirkan cerita rekaan baru, karenanya apresiator bisa membedakan mana yang hanya komentar dan improvisasi dalang dan mana yang sesuai garis cerita.
Kondisi itu yang sebenarnya tidak terdapat pada novel Zoya Herawati. Sesuatu yang membuat pembaca terbata-bata. Sesuatu yang membuat pembaca jadi mirip tukang intip, yang cuma bisa menangkap bagian permukaan dari pembicaraan yang dilisankan, tanpa bisa memahami konteks pembicaraan yang cuma dipahami oleh orang-orang yang terlibat dan kini bertukar cerita. Mungkin di sana gunanya sebuah catatan kaki. Mungkin di sana gunanya "Kata Pengantar" yang dalam Derak-derak ditulis Lina Purwanti, Unair. Tanpa rambu ini, kita bisa menduga kalau setting novel ini terjadi pasca-1998, selepas huru-hara Reformasi, meski sebenarnya merujuk ke September 1965 setelah pemberontakan PKI yang gagal di Madiun.
**
NOVEL Larung bercerita tentang kegagalan gerakan kiri baru karena para simpatisannya --belum kader-- hidup dengan romantisme macho yang selalu butuh panggung, penonton perempuan, dan penaklukan. Sementara Derak-derak merujuk pada simpati anak muda yang sembrono oleh anggapan kalau corak peperangan telah berubah karena bantuan kemudahan teknologi dan adanya jaringan. Sehingga tak mau belajar dari sejarah, dengan cuma jadi si tukang intip tanpa mendalami konteks. Tidak mampu memahami kalau pertarungan ideologi itu tak pernah murni ideologik karena selalu dimasuki oleh tokoh-tokoh oportunis yang mencari keuntungan dengan memancing di air keruh.
Di titik ini, kapitalisme mungkin telah jadi nilai moral utama, yang berhasil mengubah insting setiap orang. Jadi si pengidap egoistik, yang bergaul dengan motif-motif keuntungan pribadi dan golongan, dan karenanya sangat liberalian --menganggap setiap hal potensial jadi komoditas yang bisa dijual atau ditarik fee jasa pelayanannya. Tapi kemenangan kapitalisme ini bermakna keruntuhan kemanusiaan. Celakanya, di Indonesia, pada saat bersamaan gerakan kiri--dari yang tekstualistik Marxisme, sampai ke agresif komunisme atau yang di level tengah sosialisme-- seperti dilumpuhkan. Lantas apakah jawaban semua itu ada dalam gerakan keagamaan?
Jawabannya jadi rumit karena pengerasan keagamaan, dalam Islam, terkadang cuma melahirkan fundamentalisme yang destruktif. Sepertinya kita tidak punya pilihan lain selain berenang di kolam kapitalisme, dan jadi ikan anomalistik yang tak sadar mengadopsi akomodasi palsu yang diciptakan pemilik modal dan kekuasaan di Barat. Memang.***
* Beni Setia, Pengarang
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Januari 2008
No comments:
Post a Comment