PANTUN Anak Ayam (Pustaka Jaya, 2006) merupakan kumpulan puisi terakhir, yang selama ini terbit dari tangan Ajip Rosidi. Kumpulan puisi ini ditulis Ajip ketika masih tinggal di Jepang. Saya yakin, dalam memasuki usianya yang ke-70 di tahun 2008, Ajip masih menulis puisi. Namun puisi tersebut belum sempat diterbitkan, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk publikasi di media massa cetak, seperti koran dan majalah.
Seluruh puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi ini menggunakan pola pengucapan lama, yakni pola puisi pantun yang di dalamnya terdapat sampiran dan isi. Ajip menyebut puisi seperti itu adalah puisi asli nusantara. Di dalam sastra Sunda, puisi semacam ini disebut sisindiran. Berkait an dengan itu, pola penulisan puisi yang terdapat dalam Pantun Anak Ayam, sangat berbeda dengan pola penulisan puisi yang ditulis Ajip Rosidi dalam kumpulan puisi Surat Cinta Enday Rasidin kumpulan puisi ke tiga Ajip Rosidi yang terbit pada tahun 1960, setelah kumpulan puisinya yang ke dua, yang diberi judul Cari Muatan (1957) dan kumpulan puisi pertama, Pesta (1956) yang terbit tunggal. Dalam tiga kumpulan puisinya ini, dan kumpulan puisi lainnya, Ajip menggunakan pola penulisan puisi modern, yang meninggalkan gaya pengucapan pantun seperti yang terdapat dalam antologi puisi Pantun Anak Ayam.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ulrich Kratz (1988) salah seorang peneliti sastra Indonesia asal Barat sana, hingga tahun 1983, Ajip adalah pengarang puisi dan cerita pendek yang paling produktif, yang telah menghasilkan 326 judul karya yang dipublikasikannya dalam 22 majalah, seperti majalah sastra Horison, Kisah, Zenith, Mimbar Indonesia, dan Budaya Jaya. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai penyair, Ajip dikenal pula sebagai penulis cerita pendek, novel, dan naskah drama, yang ditulisnya tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa Sunda.
Sejumlah puisi lainnya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, antara lain dibukukan dalam antologi Jeram (1970), Ular dan Kabut (1973), Sajak-sajak Anak Matahari (1979), Nama dan Makna (1988), dan Terkenang Topeng Cirebon (1993). Kumpulan puisi tersebut belum termasuk yang dimuat dalam sejumlah antologi bersama, seperti dalam antologi Laut Biru Langit Biru, dan Ketemu di Jalan.
Sebagai penyair, sebagaimana dikatakan penyair Rendra, teman seangkatannya, Ajip mempunyai ciri yang mandiri dalam menulis puisi-puisinya, yang tidak segan-segan mengangkat nilai-nilai lokal Sunda secara mendalam. Hal itu dikatakan pula oleh seorang peneliti sastra asal Belanda, Prof. Dr. A. Teeuw. Salah satu puisi Ajip yang terkenal, yang sering dibacakan orang dalam berbagai acara sastra, yang dinilai para kritikus sastra mengandung nilai-nilai kearifan lokal itu adalah puisi Jante Arkidam. Puisi ini oleh Ajip Rosidi ditulis juga dalam bahasa Sunda, yang dimuat dalam antologi puisi Jante Arkidam (1967)
Penyair kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938 ini, mulai menulis kegiatannya dalam bidang sastra sejak usia belasan tahun. Pendidikan yang ditempuhnya hanya sampai tingkat SMA, itu pun tidak tamat. Walaupun demikian, Ajip mampu mengembangkan dirinya hingga mencapai tingkat yang cukup mengagumkan dan mencengangkan banyak pihak, yang ditempuhnya secara autodidak. Maka dari itu, tidak aneh kalau dalam perkembangannya Ajip dikenal sebagai salah seorang cendekiawan Indonesia terkemuka dalam bidang seni dan budaya di negeri ini.
**
SEBELUMNYA disebutkan bahwa selain dikenal sebagai penyair dalam penulisan sastra Indonesia modern, Ajip pun dikenal sebagai penulis cerita pendek, novel, naskah drama, dan esai. Kumpulan cerita pendeknya yang pertama terbit diberi judul Tahun-tahun Kematian (1955). Kumpulan cerpen tersebut lahir setelah Ajip memulai kariernya dalam bidang tulis-menulis pada tahun 1952. Hingga kini, jumlah buku yang ditulis oleh Ajip Rosidi lebih dari 110 judul, yang mencakup kumpulan puisi, drama, esai, cerita pendek, novel, dan biografi. Termasuk buku terbarunya, Hidup Tanpa Ijazah yang tebalnya lebih dari 1300 halaman.
Kumpulan cerita pendeknya yang lain adalah, Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957), Pertemuan Kembali (1961), Sunda Shigishi hi no yume (1988, diterjemahkan oleh T. Kasuya ke dalam bahasa Jepang), dan Mimpi Masa Silam (2000). Sedangkan novel yang sudah diterbitkannya antara lain, Perjalanan Penganten (1958) dan Anak Tanah Air (1985). Selain itu, naskah drama yang ditulisnya berjudul Masyitoh (1967) yang juga ditulis dalam bahasa Sunda. Selebihnya adalah puluhan buku esai, antolog puisi bersama, bacaan anak, memoar, biografi, dan sejumlah cerita rakyat Sunda yang ditulis ulang, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Sunda.
Melihat hal itu, maka jelas kemampuan Ajip dalam menulis tidak hanya menguasai satu bidang, tetapi banyak bidang. Namun demikian, orang mengenal Ajip tetap sebagai penyair yang pernah mendapat Hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) pada tahun 1955-1956 untuk kumpulan puisi yang ditulisnya, Pesta. Hadiah yang sama juga diterimanya pada 1967-1968 untuk kumpulan cerita pendek yang ditulisnya, yang diberi judul Sebuah Rumah Buat Hari Tua.
Dari para pengarang seangkatannya ini, hanya Ajip Rosidi lah yang paling produktif dalam menulis esai, selain menulis karya sastra. Esai-esai yang ditulis Ajip belakangan ini lebih banyak bicara soal Sunda dan nilai-nilai kesundaan. (Soni Farid Maulana/"PR")
Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 30 Januari 2008
No comments:
Post a Comment